Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bahaya Politisasi Sepak Bola Kita

Politisasi dan politik uang diduga marak dalam pemilihan Ketua Umum PSSI. Kehilangan momentum koreksi pasca-tragedi Kanjuruhan.

12 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tragedi Kanjuruan di Malang mendorong kongres luar biasa PSSI.

  • Sepak bola Indonesia tak akan ke mana-mana sepanjang kepentingan politik menunggangi organisasinya.

  • Menteri BUMN Erick Thohir makin tak terbendung.

SEPAK terjang sejumlah kandidat Ketua Umum PSSI atau Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia menjelang kongres luar biasa pada 16 Februari mendatang menerbitkan kekhawatiran soal masa depan sepak bola nasional. Jika politisasi dan politik uang tak terkendali, kecil kemungkinan pimpinan asosiasi yang terpilih mampu memperbaiki prestasi sepak bola kita yang makin terpuruk. Reformasi sepak bola Indonesia harus dimulai dari proses pemilihan pengelola olahraga yang adil dan berbasis meritokrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua kandidat terkuat untuk posisi Ketua Umum PSSI adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mattalitti. Sepekan menjelang pemilihan, keduanya dikabarkan gencar menggelar berbagai pertemuan dengan calon pemilih. Isu politik uang pun merebak kencang. Sebuah video viral di media sosial menunjukkan aksi obral janji La Nyalla kepada para pengurus asosiasi sepak bola di tingkat provinsi. Dia disebut menjanjikan pembagian dana Rp 1 miliar untuk setiap provinsi pada tahun pertama menjabat. Dengan iming-iming fulus semacam itu, jelas komitmen sang kandidat untuk memberantas mafia sepak bola jadi tak bermakna. Padahal, tanpa kompetisi yang bersih, mustahil kita punya tim nasional dan klub yang trengginas dan disegani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepak terjang Erick juga bermasalah. Dia menggandeng pemilik klub bola dari kalangan selebritas seperti Raffi Ahmad (RANS Nusantara) dan Atta Halilintar (FC Bekasi City) untuk menggalang dukungan. Putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang menjadi pemilik saham sekaligus Direktur Utama PT Persis Solo Saestu (klub Persis Solo) juga ada dalam barisan penyokong Erick. Kaesang mengelola klub itu bersama Mahendra Agakhan Thohir, anak Erick.

Dukungan masif para elite mengundang kecurigaan bahwa pencalonan Erick hanya bagian dari kampanye politik untuk mengangkat kans keterpilihan sang Menteri dalam bursa calon presiden dan wakil presiden 2024. Jika dugaan itu benar, patut disayangkan pemilihan orang paling penting dalam pengelolaan sepak bola Indonesia lebih diwarnai kalkulasi politik elektoral dibanding pertimbangan rasional mengenai upaya memajukan olahraga paling populer di negeri ini.

Kita tidak boleh lupa bahwa Kongres Luar Biasa PSSI digelar sebagai buntut tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. Seusai pertandingan Liga 1 antara Arema dan Persebaya di Kanjuruhan, puluhan orang cedera dan sedikitnya 135 nyawa melayang akibat kericuhan antara suporter dan polisi. Tembakan gas air mata dari polisi ketika stadion penuh sesak dan akses keluar yang amat terbatas memicu bencana memilukan yang jadi catatan hitam dunia sepak bola Indonesia. Kematian ratusan fan sepak bola fanatik seperti yang terjadi di Malang itu tak boleh lagi terjadi di negeri ini.


Artikel:


Untuk menemukan apa dan siapa yang bersalah atas kematian massal di Kanjuruhan, Presiden Joko Widodo lalu membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. Salah satu rekomendasi tim tersebut adalah pergantian jajaran pimpinan PSSI sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas terjadinya tragedi tersebut.

Dengan kata lain, pemilihan Ketua Umum PSSI pekan depan seharusnya merupakan koreksi atas kesalahan pengelolaan olahraga ini. Gencarnya politisasi dan maraknya politik uang yang kini mewarnai proses pemilihan Ketua Umum PSSI bisa membuat koreksi tersebut urung terlaksana. Dunia sepak bola pun kehilangan momentum untuk memperbaiki dirinya sendiri.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus