LOKAKARYA penanggulangan polusi air telah lama diadakan, tetapi
pelaksanaannya belum kunjung datang. Inilah salah satu kelemahan
kita.
Kurang lebih lima belas tahun lalu, tepatnya 10 Juni 1961, di
mingguan Star Weekl (edisi no 806), saya memperingatkan Kota
Praja Jakarta Raya akan bahayanya polusi air. Yaitu air kotor
yang disebabkan oleh air buangan pabrik-pabrik dan perusahaan
industri lainnya, yang dapat menimbulkan kerugian pada
perikanan, peternakan, pertanian dan kesehatan rakyat pada
umumnya. Peringatan ini rupanya kurang diperhatikan, dan
sekarang polusi air di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya sudah
mencapai tingkat kritis.
Air sungai-sungai yang melintasi DKI sudah berwarna
kehitam-hitaman, dan pula berbau. Tidak saja di tengah kota
tetapi pula di pinggiran. Kita bisa menjumpai jika kita pergi ke
arah Tangerang: umpamanya Kalideres atau Cengkareng, yang dahulu
airnya kebening-beningan, sekarang telah menjadi hitam biru.
Sungguh menyedihkan bahwa yang berwajib belum - atau belum
berhasil - mengambil tindakan-tindakan yang memuaskan.
Zaman sekarang ini sebetulnya pabrik-pabrik dan perusahaan
mdustri lainnya harus menyediakan tempat untuk mengolah air
buangan menjadi air bersih - atau sekurang-kurangnya tidak
membahayakan kepentingan umum - sebelum dapat disalurkan ke
sungai-sungai atau jaringan-jaringan air dalam kota. Jika
melalaikan hal ini mereka dapat didenda oleh yang berwajib. Atau
dipungut pajak daripadanya menurut besar-kecilnya kadar
pengotoran - jadi salah satu cara mengisi kas pemerintahan
setempat.
Manusia membutuhkan makan dan minum. Dan yang akan diminum tentu
air bersih. Mulai sekarang sudah harus difikirkan cara-cara
mensuplai air di masa datang - umpamanya di tahun 2000 di mana
Pulau Jawa akan menjadi "Kota Jawa".
Sebetulnya perguruan-perguruan tinggi teknologi bisa banyak
membantu. Sebab di sini berkumpul banyak tenaga ahli,
pemikir-pemikir, dan dapat berkumpul setiap waktu untuk bertukar
fikiran - sehingga lokakarya atau seminar-seminar, yang banyak
menelan uang, tidak absolut diadakan. Tetapi rupanya di
perguruan tinggi teknologi, banyak pengajar belum berpengalaman
praktis. Begitu mendapat gelar terus menjadi pengajar. Dengan
demikian the applied sciences kurang mendapat perhatian.
Seorang dosen kimia dari ITB pernah mengeluh: ke mana harus
ditampung lulusan-lulusannya, yang kebanyakan mendapat
teori-teori melulu. Lama-kelamaan badan-badan yang bisa
menampung mereka akan jenuh, dan kalau tidak ada akal untuk
berdiri sendiri mereka bisa jadi penganggur. Yang saya ketahui,
seorang sarjana teknik kimia di Jakarta menjadi pemborong
bangunan untuk mempertahankan hidup. Seorang sarjana kimia
membuka toko, yang berlainan sekali dengan pengetahuan yang ia
pelajari.
Sebetulnya "Kota Jawa" di tahun 2000 tidak usah takut mengenai
suplai air ini. Air laut begitu melimpah. Cuma sekarang
bagaimana caranya mengambil manfaat sebesar-besarnya
daripadanya.
Negara kepulauan hta tidak saja dikelilingi air laut, tetapi
mendapat anugerah panas matahari sepanjang masa. Akan dapatkah
putera-putera Indonesia membuat alat-alat yang dapat
memanfaatkan anugerah matahari ini? Untuk sementara, alat-alat
yang dapat menampung panas matahari untuk keperluan
masak-memasak saja dahulu, sehingga dapat menggantikan minyak
(gas) bumi atau kayu sebagai bahan bakar. Keuntungannya: tidak
ada polusi.
Hal-hal di atas sudah harus difikirkan, mulai sekarang.
SOHARJONO, Dipl. Chem.
Jl. Telukbetung 21,
Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini