Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Bukan cuma bimas

Keadaan desa kotogadang dewasa ini menyedihkan. tak ada kemajuan pembangunan yang berarti. emil salim, ketika pulang kampung menganjurkan supaya menyusun program negeri yang jelas. (ds)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI potret Kotagedang sekarang. Desa yang terletak di seberang kota Bukittinggi itu, dewasa uni terbilang berwajah pucat. Mungkin bisa difahami, bila dari 10 ribu penduduknya, cuma seperlima yang menetap di kampung. Sedangkan dari jumlah itu hanya sekitar 600 orang yang bisa disebut tenaga muda, seperti diungkapkan Walinegari A. Hamid Dt Marabangso kepada Muchlis Sulin. Tapi dibanding desa lainnya di Sumatera Barat, yang sebagian besar penduduknya juga mengirah sayap ke perantauan, Kotagedang yang pernah tersohor sebagai "gudang orang pintar" itu nampaknya tak mengalami kemajuan pembangunan yang berarti. Ada yang menyebut alasan "lesu darah" ini karena Kotagedang kurang mendapat perhatian. "Coba lihat Kamang, banyak dibantu. Banyak proyek Inpres di situ", kata Rangkayo Royat. Itu dikemukakan kepada Emil Salim, yang rupanya sempat mudik sehabis melakukan perjalanan kampanye di Sumatera Barat menjelang akhir Maret lalu. "Kotagedang pasti dapat", sahut Emil, "asal ada swadaya untuk memancing". Nah, dalam perkara memancing ini barangkali Kotagedang perlu mengusut sejauh mana upaya yang pernah dikerjakan. Maka Emilpun bertanya, "Apa program negari? Bagaimana Bimas?" Jelas itu bukan pertanyaan baru, tapi apa boleh buat, Emil rada terkesiap juga ketika seorang pengurus KUD menjawab,"Tidak jalan". Percakapan yang berlangsung sehabis sembahyang Maghrib di masjid. Tapi itu, nyaris bergalau. Sebab di samping menuding kurangnya tenaga kerja untuk intensifikasi pertanian, disebut juga. "Kita tak punya kerbau untuk membajak". Tentu saja hadirin dan hadirat tertawa mendengarnya. Tak Satupun Tapi yang tak jalan di Kotagedang bukan cuma Bimas. Air ledeng juga sedang ngadat. Ledeng di kampung ini sudah ada sejak tahun 1935. Karena tak cukup pemeliharaan, seperti diakui kaum ninik-mamak sendiri. Apa sebabnya? "Banyak yang menunggak", kata seorang pemuda. "Kalau begitu tak satupun yang bisa jalan di sini", komentar Emil, sembari membayangkan mungkin orang rantau di Jakarta bisa membantu untuk investasi. Tapi Menteri Emil menyangsikan manfaatnya yang jelas bila terbentur pada soal pemeliharaan ini. "Barangkali di situ soalnya", kata Bupati Agam A. Syahdin yang juga hadir. Perkara donasi dari warga kampung di rantau kabarnya tak banyak kesulitan, meski mereka bukan orang yang keliwat berlebihan uang. Tapi pernah mereka kecewa lantaran jalannya uang itu sering kurang mulus. Sehingga ada yang mengambil prakarsa untuk membawa barang jadi saja ke kampung, dengai pertimbangan prioritasnya. Misalnya, beberapa waktu lalu setelah terkumpul sumbangan di Jakarta, dibelikan alat pengeras suara untuk sebuah surau. Mungkin cara ini lebih bermanfaat buat memajukan kampung. Kembali pada obrolan dengan Emil Salim tadi, setelah melihat dan mendengar keadaannya, Emil lalu menyodorkan beberapa hal. "Disiplin perlu ada", katanya, "kewajiban mesti dibayar". Dan sembari memandang arah anak-anak muda Emil menunjuk, "Itu anakanak muda, jangan dibiarkan cuma menganggur". Kesimpulannya: program negari harus jelas. Orang Kotagedang yang hadir itupun terangguk-angguk. Seperti diketahui semenjak dua tahun belakangan ini dalam pemerintahan desa di Sumatera Barat, Lembaga Kerapatan Negari telah dihidupkan lagi. Lembaga itu dulu paling efektif menyusun tata pemerintahan pedesaan. Tapi pernah dihapus dan diganti dengan DPR Negari, dan ternyata kurang jalan. Sebah unsur ninik-mamak dianggap kurang telwakili. Lalu gubernur Sumatera Bara mengembalikan fungsi LKN itu, dan DPR-N hapus. Namun setelah LKN didudukkan seperti semula lagi, "banya juga yang tak jalan", kata seorang pejabat ahli di gubernuran. Musababnya konsep program negari yang jelas belun ada. Tapi di Kotagedang, memang tak seluruhnya jelek. Irigasi bagus. Listrik tak ada soal. Tapi mungkin juga tak ada jeleknya menyimak anjuran Emil Salim tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus