INI potret Kotagedang sekarang. Desa yang terletak di seberang
kota Bukittinggi itu, dewasa uni terbilang berwajah pucat.
Mungkin bisa difahami, bila dari 10 ribu penduduknya, cuma
seperlima yang menetap di kampung. Sedangkan dari jumlah itu
hanya sekitar 600 orang yang bisa disebut tenaga muda, seperti
diungkapkan Walinegari A. Hamid Dt Marabangso kepada Muchlis
Sulin.
Tapi dibanding desa lainnya di Sumatera Barat, yang sebagian
besar penduduknya juga mengirah sayap ke perantauan, Kotagedang
yang pernah tersohor sebagai "gudang orang pintar" itu
nampaknya tak mengalami kemajuan pembangunan yang berarti.
Ada yang menyebut alasan "lesu darah" ini karena Kotagedang
kurang mendapat perhatian. "Coba lihat Kamang, banyak dibantu.
Banyak proyek Inpres di situ", kata Rangkayo Royat. Itu
dikemukakan kepada Emil Salim, yang rupanya sempat mudik sehabis
melakukan perjalanan kampanye di Sumatera Barat menjelang akhir
Maret lalu. "Kotagedang pasti dapat", sahut Emil, "asal ada
swadaya untuk memancing".
Nah, dalam perkara memancing ini barangkali Kotagedang perlu
mengusut sejauh mana upaya yang pernah dikerjakan. Maka Emilpun
bertanya, "Apa program negari? Bagaimana Bimas?" Jelas itu bukan
pertanyaan baru, tapi apa boleh buat, Emil rada terkesiap juga
ketika seorang pengurus KUD menjawab,"Tidak jalan". Percakapan
yang berlangsung sehabis sembahyang Maghrib di masjid. Tapi itu,
nyaris bergalau. Sebab di samping menuding kurangnya tenaga
kerja untuk intensifikasi pertanian, disebut juga. "Kita tak
punya kerbau untuk membajak". Tentu saja hadirin dan hadirat
tertawa mendengarnya.
Tak Satupun
Tapi yang tak jalan di Kotagedang bukan cuma Bimas. Air ledeng
juga sedang ngadat. Ledeng di kampung ini sudah ada sejak tahun
1935. Karena tak cukup pemeliharaan, seperti diakui kaum
ninik-mamak sendiri. Apa sebabnya? "Banyak yang menunggak", kata
seorang pemuda. "Kalau begitu tak satupun yang bisa jalan di
sini", komentar Emil, sembari membayangkan mungkin orang rantau
di Jakarta bisa membantu untuk investasi. Tapi Menteri Emil
menyangsikan manfaatnya yang jelas bila terbentur pada soal
pemeliharaan ini. "Barangkali di situ soalnya", kata Bupati Agam
A. Syahdin yang juga hadir.
Perkara donasi dari warga kampung di rantau kabarnya tak banyak
kesulitan, meski mereka bukan orang yang keliwat berlebihan
uang. Tapi pernah mereka kecewa lantaran jalannya uang itu
sering kurang mulus. Sehingga ada yang mengambil prakarsa untuk
membawa barang jadi saja ke kampung, dengai pertimbangan
prioritasnya. Misalnya, beberapa waktu lalu setelah terkumpul
sumbangan di Jakarta, dibelikan alat pengeras suara untuk sebuah
surau. Mungkin cara ini lebih bermanfaat buat memajukan kampung.
Kembali pada obrolan dengan Emil Salim tadi, setelah melihat dan
mendengar keadaannya, Emil lalu menyodorkan beberapa hal.
"Disiplin perlu ada", katanya, "kewajiban mesti dibayar". Dan
sembari memandang arah anak-anak muda Emil menunjuk, "Itu
anakanak muda, jangan dibiarkan cuma menganggur".
Kesimpulannya: program negari harus jelas. Orang Kotagedang yang
hadir itupun terangguk-angguk.
Seperti diketahui semenjak dua tahun belakangan ini dalam
pemerintahan desa di Sumatera Barat, Lembaga Kerapatan Negari
telah dihidupkan lagi. Lembaga itu dulu paling efektif menyusun
tata pemerintahan pedesaan. Tapi pernah dihapus dan diganti
dengan DPR Negari, dan ternyata kurang jalan. Sebah unsur
ninik-mamak dianggap kurang telwakili. Lalu gubernur Sumatera
Bara mengembalikan fungsi LKN itu, dan DPR-N hapus. Namun
setelah LKN didudukkan seperti semula lagi, "banya juga yang
tak jalan", kata seorang pejabat ahli di gubernuran. Musababnya
konsep program negari yang jelas belun ada. Tapi di Kotagedang,
memang tak seluruhnya jelek. Irigasi bagus. Listrik tak ada
soal. Tapi mungkin juga tak ada jeleknya menyimak anjuran Emil
Salim tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini