SEBELUM Riau sibuk mengurus tanaman pangan, terutama buat
berswasembada beras. daerah ini sudah lama dikenal sebagai
tempat perkebunan-perkebunan besar. Petani-petani Riau, seperti
pernah diakui oleh ir. Anrin Kahar, Kepala Dinas Pertanian
Rakyat Riau, umumnya adalah petani karet dan kelapa. Tak heran
kalau kemudian daerah yang melimpah ruah minyak bumi ini,
mengantongi juga areal perkebunan cukup luas. Hampir 437 ribu
hektar perkebunan rakyat, dan sekitar 69 ribu perkebunan besar.
Sektor perkebunan ini merupakan sumber penghasilan yang tak
kecil -ula. Menduduki tangga ke-3 sebagai komoditi ekspor Riau,
sesudah minyak dan kayu. Malahan tahun-tahun terakhir ini, dari
karet, volume ekspor semakin meningkat. Tahun 76 lalu, tercatat
60,5 ribu ton dengan nilai 37,3 juta US dollar atau 42% dari
seluruh nilai ekspor.
Terlantar
Namun, luas areal bukan berarti produksi telah memadai Contohnya
sektor karet. Tercatat 265 ribu hektar karet rakyat. Menurut
hitungan pihak Dinas Perkebunan Rakyat Riau, mestinya tiap
hektar per tahun menghasilkan 400 kg. Jadi, dari Riau bisa
diperoleh hampir 100 ribu ton. Belum dari perkebunan besar yang
arealnya 17 ribu hektar dengan hasil per hektar yang tentu
lebih besar. Tapi dari angka-angka ekspor saja, bisa disimak
kalau baru 30-40% saja dari areal itu yang berproduksi.
Mengapa demikian? "Karena sebagian besar tanamannya sudah tua
dan perkebunan itu tak terpelihara", begitu ujar Gubernur Riau
Arifin Akhmad, 12 Maret 77 lalu, ketika menerima limpahan
wewenang sebahagian urusan perkebunan besar dari Departemen
Pertanian, yang penandatanganannya diwakili oleh Inspektur
Jendral Pertanian, Idham Dana. Makanya, meskipun serah terima
itu kedengarannya hebat dan Gubernur bakal lebih mudah mengatur
perkara perkebunan di wilayahnya, namun kentara kalau Gubernur
Arifin, yang tak lama lagi akan mengakhiri masa jabatannya yang
ke-II, tak begitu gembira.
Sebab bagaimana pun, yang diserahterimakan itu sebagian adalah
belantara. Perkebunan-perkebunan besar misalnya, 95% mempunyai
luas di bawah 1000 hektar. Yaitu kebun-kebun yang sudah uzur dan
sulit dikembangkan lagi. Malahan, sebagian sudah tak menentu
statusnya. Seperti eks Perkebunan Negara Riau yang kemudian
diserahkan pengelolaannya kepada PT. Gedung Putih. Sebagian
sudah terjual berikut rumah-rumah karyawan.
Di lain pihak, perkebunan rakyat sendiri bukan pula beban kecil.
Gubernur mengakui kalau usaha peremajaan dan penanaman kembali
dengan menggunakan bibit unggul, berjalan lambat. Perkebunan
karet, sejak Pelita I baru terbenahi 7,5% dari areal 265 hektar.
Sedang kelapa, baru 10% dari 158 ribu hektar. Pihak Dinas
Perkebunan Rakyat Riau yang dihubungi TEMPO mengakui, bahwa itu
berpuncak dari tipisnya anggaran yang ada.
Memang dari kantong Badan Urusan Cess Daerah (BUCD) Riau ada
juga dikucurkan biaya buat kerja membenahi perkebunan rakyat,
terutama karet dan kelapa. Berapa persisnya biaya itu tak jelas.
Tapi liwat proyek Managemen Unit (PMU) untuk kelapa misalnya,
yang sampai kini ada 27 unit masing-masing 3000 Hektar.
Sementara karet baru kebagian 1 proyek berupa pengolahan
berencana, 3 unit, masing-masing 2500 hektar. Dari APBD daerah
sendiri, seperti dikatakan Arif Nurdin, baru terbatas kepada
pemberian secara gratis bibit-bibit unggul dan usaha penyuluhan.
Jadi, kalau dalam hal perkebunan rakyat saja sudah demikian
kusutnya beban Pemda Riau, bagaimana nanti dengan beban
tambahan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini