BANYAK pelukis pribumi yang tangkas belasan tahun yang lalu,
kini produktivitas mereka menyedihkan. Menyaksikan pameran para
pelukis itu di TIM - 9 s/d 15 April - kita jadi tak habis fikir.
53 buah lukisan dari 13 orang - milik Museum Pusat Departemen P
dan K (Gedung Gajah) -- hadir dengan segala corak yang
membayangkan berbagi kecenderungan. Kini nama-nama itu memang
masih dianggap pelukis, meskipun ada di antaranya yang lebih
banyak memperhatikan bidang lain. Barangkali bakat mereka memang
ditakdirkan meledak singkat, lalu loyo. Walaupun, siapa tahu,
masa kosong mereka kini justru persiapan untuk masa depan.
Affandi
Danarto dan Sri Widodo, dalam kesempatan itu muncul
masing-masing dengan sebuah karya: Membangun Keluarga dan
Menunggu Nelayan Pulang. Keduanya menunjukkan kemungkinan yang
segar. Kalau Danarto tampak kaya penuh imaji dalam goresannya,
Widodo menangkap suasana dramatik dengan peka dan romantis.
Kedu lukisan itu membayangkan jiwa yang sedang bergelora. Kini,
Danarto lebih terkenal sebagai penulis cerita pendek. Sedang
Widodo, di samping diam-diam masih melukis, sibuk mengatur rumah
tangganya.
Pelukis-pelukis yang kini masih menyala, di sini dapat kita
lihat awal-awal langkah mereka dahulu. Misainya Zaini, yang kini
mencapai teknik cat minyak yang sanggup memindahkan efek yang
bisa dicapai pastel dalam pameran ini tampak masih meraba-raba
bentuk yang kini dimilikinya. Sementara Abbas Alibasyah yang
kini menjurus pada seni dekoratif, di sini masih melukis wadag
Barong dan menunjukkan lukisan abstrak (Perang). Demikian juga
Fadjar Sidik, yang kini termasuk salah seorang pendukung seni
abstrak, di sini muncul dengan Perahu di Pantai, Nenek dan
cucu, Perahu Ganrung, Semesta Alam semacam persiapan ke arah
bentuknya yang sekarang.
Di antara nama-nama yang beken (Amri Yahya, Dos Laksono,
Sidharta, Hendra, Hendro, Isa, Tusan, Ida Hadjar, Kusnadi
Mulyadi, Mardian, Nasyah Djamin, Nashar, Nyoam Gunarsa, OE,
Srihadi, Suharto, Saptoto, Trisni Surnardjo, Tatang Ganar,
Trubus, Herman, Widayat, Wardoyo), barangkali Affandi yang
tampak tetap saja. Dengan 4 buah karya (Potret Diri, Kawah
Tangkuban Perahu, Orang Tua Duduk, Parang Tritis), dedengkot
ini sudah ngubek kemahiran melemparkan garis. Kreativitasnya
mungkin kini terletak pada pasal: bagaimana melukis obyek yang
sama, dengan cara yang sama, dalam suasana yang sama, tetapi
tetap dapat dirasakan sebagai karya yang lain.
Nostalgia
Beberapa pelukis, kalau dibandingkan dengan karya-karya mereka
yang mutakhir, tampak mendapat kemajuan teknis dan pendalaman
konsep. Misalnya saja Nashar, OE, Mulyadi, Fadjar Sidik,
Srihadi, Zaini. Sementara yang mengalami kemunduran misalnya
Tusan dan Hendra. Kemajuan yang tampak terutama sekali dalam
soal teknik penampilan. Sedang kemunduran terlihat dalam soal
dedikasi pada kehidupan.
Karya-karya lama tersebut terasa jernih, tidak kebanyakan gincu,
tidak mencari efek. Juga tidak terlalu rasionil dan keren. Ada
kesederhanaan yang ramah, sehingga kesenian tiba-tiba terasa
akrab dengan kehidupan. Hal itu kini sering berbalik: seniman
sering membuat kesenian seperti memberontak hidup - karena
menganggap seni "sudah terbengkalai", sehingga perlu prioritas
istimewa.
Harta milik Museum Pusat ini, pantas segera mendapat gedung
permanen. Ia telah tidak sia-sia terkumpul. Ia bisa banyak
bercerita, antara lain menyangkut warna-warna sosial yang telah
hilang. Terutama sekali tentang kemantapan, ketekunan,
kegairahan, yang kadang terasa sulit dijumpai kini. Entah kalau
hidup sudah semakin rasionil praktis dan penuh taktik. Ataukah
ini hanya semacam nostalgia.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini