Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sardono W. Kusumo dan Hanindawan mementaskan sastra panggung Penggali Timah.
Mereka mengadaptasinya dari naskah drama Penggali Intan dan Penggali Kapur karya Kirdjomuljo.
Ada sisipan interlud, selingan oleh seseorang yang menyampaikan pesan yang terkandung dalam cerita.
BIJIH timah tak lagi ditemukan, biarpun lahan digali hingga porak-poranda, biarpun jatuh korban nyawa. Keserakahan menyingkirkan segalanya, termasuk kasih sayang dua manusia. Mengalunlah nyanyian “Ibu Pertiwi” yang merintih dan berdoa, terkenang hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan yang dijarah dengan semena-mena.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penutup pertunjukan yang disebut “sastra panggung” dengan senandung “Ibu Pertiwi” itu terasa menyampaikan “sari pati” lakon Penggali Timah—bukan secara prosais, melainkan liris. Ia mempersilakan penonton menafsirkan sandiwara satu jam ini menurut rasa, pemahaman, pengetahuan, dan pengalaman masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lakon ini ditulis oleh Hanindawan dan merupakan adaptasi dari dua naskah drama Kirdjomuljo (1930-2000), Penggali Intan dan Penggali Kapur. Adaptasi yang dilakukan sutradara yang lahir pada 1959 itu agaknya bertujuan mengubah naskah Kirdjomuljo yang “kronologis” menjadi naskah yang urutan adegannya membaurkan waktu: dimulai dari masa kini, disusul masa lalu, berganti-ganti.
Bangunan naskah yang “ulang-alik” memungkinkan sebuah pentas yang hanya dengan tiga pelaku bisa menyampaikan masalah tidak sederhana dalam waktu pendek, menjauhkan rasa jemu: sebelum dialog terasa perlu “penjelasan” adegan berganti ke masa lalu atau masa depan.
Ini pementasan drama yang jarang ditampilkan dengan adanya Sardono W. Kusumo sebagai dramaturg. Kerja sama sutradara (Hanindawan) dengan dramaturg menjadikan pementasan ini bukan hanya kata-kata.
Pada awalnya, ketika penonton mulai masuk, di arena ada seorang lelaki mencangkul gundukan pasir dan tanah. Lampu padam. Pada saat arena kembali terang-temaram, seorang perempuan menyeret sesuatu yang ternyata jasad manusia. Perempuan itu pun menimbun jasad tersebut dengan tanah dan pasir. Itulah jasad Sakir, penggali timah korban keserakahan yang meruap di kawasan penambangan.
Halaman studio yg diporakporandakan menjadi "tambang timah" dalam pentas “Penggali Timah” di Mas Don Art Center, Surakarta, 22 Februari 2025. Tempo/Bambang Bujono
Perempuan itu pergi, lalu muncul seorang lelaki, yang nanti diketahui bernama Sanyoto, sahabat Sakir. “Malam ini saya ingin memberi penghormatan kepadamu, Kir,” kata lelaki itu. “Di tempat ini dulu kita sering ngobrol, memaki-maki, tertawa, sakit hati, sambil menghabiskan berbatang-batang rokok.”
“Penghormatan” dilakukan Sanyoto di atas kubur Sakir karena ia tak jadi melaksanakan rencana awal. Dulu ia berniat membawa tulang-tulang Sakir ke kampung halaman dan dimakamkan dengan khidmat, bukan diseret seperti jasad hewan. Tapi itu hanya niat. Sanyoto tahu tekad Sakir yang “demi Mirat ingin abadi di sini”.
Gambaran dunia pertambangan yang kelam tersampaikan pada pementasan ini, yang sepenuhnya dilakukan lewat dialog-dialog Sakir dan Sanyoto, Sakir dan Mirat, serta Mirat dan Sanyoto. Sebagian besar dialog itu berpusat pada cinta Sakir yang tulus dan Mirat yang berubah karena Muklis. Sedangkan sosok Muklis, perebut Mirat dari Sakir, tidak terlihat di arena. Penambang yang dikatakan sukses ini hadir hanya lewat dialog tiga pemeran tersebut. Ini sebuah naskah adaptasi yang efisien.
Dialog-dialog itu memang kelam. “Dia sudah merampas, merampok, menyedot darah orang-orang di sini untuk menggali tanah, menggali pasir.” Lalu, “Sudah berapa orang yang mati tertimbun galian?” Dan Muklis sesungguhnya adalah yang “jauh-jauh datang ke sini hanya untuk mencari kekayaan”. Karena itu, “Laki-laki itu tidak lebih berharga dari limbah timah yang setiap hari jadi rebutan orang.”
Namun di mata Mirat yang sudah berubah, Muklis adalah sosok harapan karena, “Dia mengenal kemiskinan, mengenal penderitaan yang setiap waktu menekan warga. Dan dia ingin menolongnya.” Juga, Muklis “ingin membantu anak-anak yang terserang penyakit” dan “berpikir agar tempat ini dibangun menjadi tempat wisata.”
Ketiga pemain tampak tanpa susah payah menghadirkan suasana pertambangan yang porak-poranda. Pergelaran ini memang terbantu oleh desain arena, tempat pertunjukan. Arena itu merupakan halaman studio Mas Don Art Center di Surakarta, Jawa Tengah, yang digali, ditumpuki tanah dan pasir, serta dikelilingi sisa-sisa tembok bangunan yang dihancurkan sebagian. Masih tampak tulang-tulang besi kerangka tembok di sana.
Tempat duduk penonton pun “apa adanya”, yakni beberapa tingkat teratak papan kayu dan kursi-kursi yang sekadar ditaruh begitu saja di tempat tanpa teratak. Bukankah teater rakyat di desa-desa pun memanfaatkan “yang ada” untuk sebuah sandiwara yang pemain dan penontonnya adalah satu?
Pada Penggali Timah, kesatuan pemain dan penonton pun terjadi: tempat duduk yang apa adanya itu bersanding dengan arena yang diporak-porandakan. Ihwal terakhir ini berawal dari usulan seorang desainer yang besar di Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, Vicky Saputra. Ia datang berkunjung ke “lahan dan bangunan” Mas Don Art Center dan diajak mengobrol tentang gagasan mementaskan Penggali Timah.
Hanindawan sebagai Sanyoto dalam pentas “Sang Penggali Timah”. Foto: Adrian
Adegan-adegan drama yang ulang-alik ini, yang di setiap adegan relatif pendek, dengan sendirinya membantu imaji awal yang terbangun oleh lelaki yang mencangkul tanah dan pasir serta perempuan yang menyeret jasad. Dialog memang membantu terbentuknya suasana, terutama yang datang dari Hanindawan, pemeran Sanyoto. Lafal dan intonasi tersampaikan sedemikian rupa sehingga makna kata dan kalimat tidak hanya mudah dipahami, tapi juga enak didengar.
Dalam naskah, Sanyoto memang tokoh utama. Dua yang lain, Sakir dan Mirat, adalah pengejawantahan kisah yang disampaikan Sanyoto. Sakir, yang diperankan oleh Djarot Darsono, alumnus Teater Gapit yang pernah populer, serasa mengikuti naskah setepat mungkin. Adapun Mirat, yang diperankan Galuh Sari, seorang penari, meluncurkan dialog yang terdengar setengah tergesa. Apa pun itu, paduan ketiga pemain terasa kompak dan tak saling “merugikan”.
Pergelaran Penggali Timah memasukkan interlud, sebuah selingan oleh seseorang yang menyampaikan pesan yang terkandung dalam cerita. Sardono tampil di antara adegan. Ia membacakan teks yang ditulis oleh Linda Christanty, sastrawan yang lahir di Bangka pada 1970. Teks itu berkisah tentang orang Bangka masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tak semuanya dia bacakan dalam interlud ini. Hanya beberapa alinea yang kira-kira terkait dengan tambang timah di Bangka. “Selingan” ini, untunglah, tidak terlalu panjang dan, syukurlah, masih relevan dengan Penggali Timah.
Menjelang akhir, tampil adegan seorang model dengan seorang juru foto yang memanfaatkan bekas tambang sebagai tempat pemotretan. Penonton bisa menafsirkan bahwa model itu adalah Mirat. Ada dialog Sanyoto dengan yang sudah tiada, Sakir: “Mirat juga sudah lama pindah ke Jakarta, entah siapa yang memilikinya. Saya tidak tahu. Apalagi kamu.”
Terselip sedikit humor kelabu. Sanyoto bercerita kepada Sakir cara memikat seorang gadis. Misalnya tirakat tidur di kuburan selama satu minggu. “Berhasil?” Sakir bertanya. “Saya salah memilih kuburan,” demikian jawaban Sanyoto.
Humor itu semestinya melekat dalam ingatan penonton. Namun “Ibu Pertiwi” yang berlinang air mata karena hutan, gunung, sawah, dan lautan serta simpanan kekayaan telah dijarah lebih kontekstual dengan keseluruhan pertunjukan.
Otto Sidharta, musikus dan komponis, memasukkan lagu ini agaknya bukan sebagai sekadar ilustrasi. Itu memang sebuah pesan. Kata “penggali” yang hanya dimaknai sebagai penggalian intan, timah, dan nikel atau penggalian material belaka dan bukan penggalian gagasan atau semangat jiwa adalah malapetaka. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Ibu Pertiwi dan Tanah Air yang Kaya Raya