Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni
Aduh Aduh Aduh

Berita Tempo Plus

Lakon Aduh dalam Pentas Teater Mandiri Putu Wijaya

Pentas teranyar lakon Aduh digelar kembali di Taman Ismail Marzuki. Putu Wijaya menolak anggapan drama absurd. 

 

2 Maret 2025 | 08.30 WIB

Pentas Teater "Aduh" di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 20 Februari 2025. Tempo/Indra Wijaya
Perbesar
Pentas Teater "Aduh" di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 20 Februari 2025. Tempo/Indra Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Teater Mandiri mementaskan kembali naskah 'Aduh' karya Putu Wijaya.

  • Naskah 'Aduh' memenangi sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1973.

  • Putu Wijaya menolak anggapan bahwa 'Aduh' adalah drama absurd.

SUARA sirene meraung di dalam Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 20 Februari 2025. Nuansa gelap di dalam studio membuat suasana mencekam. Dari lorong masuk penonton, puluhan orang berlari naik ke panggung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka lantas berebut mengibaskan kain besar berkelir hitam yang sangat lebar menutup bagian belakang panggung. Tiba-tiba muncul seorang pria dengan kostum koboi di atas panggung. Setengah badannya menyembul di atas layar hitam. Sembari membawa megafon ia meneriakkan yel-yel penyemangat. “Kerja, kerja! Hari sudah siang. Ayo, pergi kerja!”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puluhan orang itu seperti kesetanan. Mereka makin bersemangat mengibarkan kain. Bahkan beberapa dari mereka sampai jatuh terjengkang di atas panggung.

Itulah adegan pembuka pentas teater berlakon Aduh yang dibawakan Teater MandiriAduh karya sastrawan senior sekaligus pendiri Teater Mandiri, Putu Wijaya. Ia menulis naskah tersebut pada 1973 dan memenangi sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta pada tahun tersebut. Setahun kemudian, naskah itu dipentaskan pertama kali oleh Teater Mandiri di Teater Arena Taman Ismail Marzuki.

Kembali ke pertunjukan, kegaduhan kembali terjadi saat seorang pria yang hanya memakai celana cokelat dan selimut putih datang. Pria itu tampak sangat kesakitan. Ia mengerang tanpa henti. Entah berapa kali ia mengaduh sembari bergerak ke berbagai arah. Ia berdiri, terjatuh, terduduk, berdiri lagi, dan jatuh lagi.

Pentas Teater "Aduh" di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 20 Februari 2025. Tempo/Indra Wijaya

Seketika kehebohan pria sakit itu menarik perhatian enam pekerja yang tersisa di atas panggung. Seperti lalat, mereka mengerubungi si sakit. Alih-alih bergegas membawanya ke rumah sakit, mereka justru memberondong si sakit dengan pertanyaan basa-basi.

Si sakit yang sekarat hanya bisa merintih saat ditanya: “Kenapa? Sakit, ya? Sakit apa? Apanya yang sakit? Masuk angin, ya? Pusing kepala?”. Lucunya, dua perempuan malah mengambil kesimpulan si sakit itu menderita ayan alias epilepsi.

Yang lebih konyol adalah ketika salah satu dari mereka meminta si sakit berterus terang tentang sakit apa yang ia derita. “Terus terang saja, kami akan menolong. Jangan malu-malu,” katanya. Ada juga celetukan kocak, “Kasihan, mukanya sudah tua sekali. Mungkin terlalu banyak bekerja.”

Lelah bertanya tanpa jawaban, orang-orang ini malah menuduh si sakit manja, cuma haus perhatian. Mereka pun mengusir si sakit. Yang lebih jahat, mereka meminta si sakit mengemis belas kasih ke tempat lain.

Namun suara sinis itu berubah menjadi tegang ketika tubuh si sakit tiba-tiba terbujur kaku. Rohnya sudah dicabut oleh malaikat maut. Orang-orang itu gemetar khawatir disalahkan polisi karena tidak membantu si sakit. Lagi-lagi perdebatan panjang terjadi sehingga mereka memutuskan menguburkan mayat itu tanpa melapor ke polisi.

Sudah sepakat untuk menguburkan si mayat, mereka terus saja berdebat kusir. Dari soal identitas si mayat tersebut laki-laki atau perempuan—padahal secara bentuk tubuh sudah pasti laki-laki—hingga cara menguburkan jenazah itu.

Belum lagi perkara bau busuk yang begitu cepat menguar dari jenazah. Perdebatan terjadi lagi, kali ini soal penggunaan balsam untuk menyelamatkan indra penghidu dari aroma busuk yang menusuk.

Selesai membungkus mayat dengan kain, masalah lain muncul. Jasad kurus itu teramat berat untuk diangkat. Beragam cara dan gaya sudah dijajal untuk mengangkat si mayat, tapi tetap saja susah.

Celakanya, saat proses mengangkat, kepala si mayat—yang sudah digantikan boneka—malah copot. Kengerian pun meruap. Walhasil, mereka memutuskan rehat sejenak. Eh, ternyata, setelah beristirahat, mereka bisa mengangkat mayat. Bahkan terasa sangat ringan.

Selanjutnya mayat itu dimasukkan ke celah kain hitam yang selama ini menjadi latar panggung dan dikibas-kibaskan para pelakon. Dari balik kain hitam itu pula muncul beragam misteri, dari sosok hantu sampai suara seram. Kain itu juga terasa sangat universal, bisa jadi sungai, bukit, sampai kota. Imajinasi para penonton bisa terbang bebas mengartikan kain hitam tersebut.

Problem selanjutnya adalah kemunculan anjing-anjing liar yang mengintai mereka bahkan sejak mayat itu hendak dikebumikan. Mereka semula menduga bau busuk si mayat yang menyiksa hidung anjing-anjing itu.

Beragam cara mereka lakukan untuk mengusir gerombolan anjing yang ditampakkan tanpa wujud dan sekadar suara gonggong itu. Sekelompok orang tersebut melempar batu sampai menendang anjing-anjing itu. Pergulatan orang melawan anjing tersebut divisualisasikan lewat kain putih yang sejak awal ditaruh memanjang di depan panggung.

Kain putih panjang itu ditarik, lalu ditendang oleh para pelakon yang sejak awal tidak diberi nama oleh sang sutradara. Bukannya reda, konflik malah makin pelik. Buktinya, gonggongan anjing-anjing itu makin kencang.

Seseorang dari kelompok itu pun bertanya mengapa anjing-anjing tersebut tetap mengejar mereka. Ada yang menjawab mungkin anjing-anjing tersebut lapar, tapi ada juga celetukan bahwa anjing-anjing itu masih mencium aroma busuk. Keenam pelakon itu bingung bagaimana mungkin bau busuk masih tercium, sementara jenazah sudah tak lagi mereka bawa.

Keributan terjadi lagi ketika mereka mencium bau busuk dari tubuh mereka sendiri. Ada yang bilang tangannya berbau busuk. Ada juga yang menyebut kaki dan sikunya berbau busuk juga. Yang paling konyol, seseorang mengatakan telinganya ikut berbau busuk. Bagaimana bisa seseorang mencium bau dari telinganya sendiri?

Di tengah perdebatan anggota tubuh mana yang ikut berbau busuk, seseorang merasa lapar dan mengeluarkan sebuah mentimun dari sakunya. Bukannya “nurut” diajak masuk ke mulut, mentimun itu malah meloncat seperti punya kaki sendiri. Entah dapat teori dari mana, orang-orang konyol itu lantas mengambil kesimpulan bahwa roh si sakit masih enggan pergi.

Mendengar hipotesis itu, salah satu dari mereka mengamuk kepada roh si sakit. Ia merasa dijaili habis-habisan oleh si sakit sejak ia datang mengaduh, susah diangkat ketika menjadi jenazah, sampai meninggalkan jejak bau busuk. Saat sudah menjadi hantu pun si sakit masih merepotkan.

Suara sirene kembali muncul disertai serbuan puluhan orang ke atas panggung. Seperti adegan awal, puluhan orang itu bergelut dengan kain hitam. Yel-yel “Kerja, kerja, kerja!” juga terdengar lagi.

Pentas Teater "Aduh" di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 20 Februari 2025. Tempo/Indra Wijaya

Setelah beberapa menit, keributan mereda hingga menyisakan enam pelakon di atas panggung. Namun siapa sangka, muncul lagi orang sakit yang mengerang dari balik kain hitam itu. Lagi-lagi keenam orang itu melontarkan pertanyaan basa-basi, “Kenapa? Sakit ya? Sakit apa? Apanya yang sakit? Masuk angin? Panas? Pusing kepala?”.

Lalu pentas yang dibintangi aktor teater kawakan seperti Bambang Ismantoro, Jose Rizal Manua, Laila Uliel Elna'ma, Ari Sumitro, Rukoyah Chan, Widi Dwinanda, Taksu Wljaya, Penny Moehaji, Agung H.S., Khariul Fiqih Firmansyah “Achong”, dan Imron Rosyadi itu pun selesai.

Teater Kecil yang mampu menampung 240 penonton itu seketika riuh setelah pentas berakhir. Tepuk tangan meriah menggema. Semua pemain, sutradara, penata rias, dan anggota panitia berdiri berjajar di atas panggung memberikan salam penghormatan.

Sang pemilik cerita, Putu Wijaya, ikut naik ke panggung dengan kursi roda. Tepuk tangan penonton heboh saat nama pria 80 tahun itu dipanggil oleh pemandu acara. Putu Wijaya dikenal sebagai seniman serba bisa. Ia menulis naskah drama, cerita pendek, novel, sampai esai.

Pria bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya itu lahir pada 11 April 1944 di Tabanan, Bali. Ia menulis karya drama Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), dan Bila Malam Bertambah Malam (1970). Namun naskah Aduh yang menjadi tiang pancang karier Putu Wijaya.

Sejak naskah itu dipentaskan pertama kali pada 1974, publik mengenal Putu Wijaya sebagai seniman yang mementaskan teater absurd di Indonesia. Setelah mementaskan Aduh, ia menggarap drama berjudul Dag Dig Dug (1977) dan Gerr (1986) yang juga tergolong drama absurd.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menjadi tamu agung di pentas Aduh malam itu juga memberikan pujian kepada Putu Wijaya. Ia menyebut Putu Wijaya sebagai aset budaya Indonesia dan drama Aduh sebagai salah satu karya drama terbaik.

“Ini bagian dari teater absurd yang merefleksikan eksistensi manusia yang berbeda-beda. Pak Putu termasuk orang yang membawa genre ini ke Indonesia dengan pementasan yang menggugah dan berbeda,” tutur Fadli malam itu.

Namun Putu Wijaya menolak anggapan bahwa Aduh adalah drama absurd seperti yang selama ini dilekatkan padanya. Menurut dia, Aduh justru merupakan wujud realitas di Indonesia. Sebagai contoh, adegan orang-orang melontarkan beragam pertanyaan kepada orang sakit adalah representasi kelompok atau komunitas sosial yang bimbang bersikap dalam situasi tertentu. Mereka tak sanggup mencapai kata sepakat untuk menyelamatkan nyawa orang sakit.

Namun Putu enggan memvonis orang-orang yang selama ini salah menilai drama yang ia tulis. Ia menduga penggunaan konsep eksperimental seperti pemakaian set dan peralatan berbau imajinatif dianggap terlalu baru dan tak sesuai dengan kebiasaan pada masa lalu. “Saya mencoba mementaskan untuk menjelaskan bahwa sebetulnya ini tidak segawat yang dipikirkan orang,” ujar Putu.

Sebagai aktor yang ikut dalam pentas perdana drama Aduh pada 1974, Jose Rizal Manua tahu betul makna lakon tersebut. Ya, menurut aktor 70 tahun itu, penilaian drama Aduh sebagai drama absurd ibarat jauh panggang dari api.

Jose Rizal mengatakan hal yang dimaksud absurd menurut pakem negara-negara Barat belum tentu sama bila dilihat dengan kacamata budaya ketimuran seperti di Indonesia. Sebab, menurut budaya ketimuran, cerita Aduh lebih dekat dengan kehidupan nyata.

“Peristiwa di dalam lakon Aduh adalah realitas, kenyataan di masyarakat kita,” ucap Jose Rizal ketika dihubungi pada Rabu, 26 Februari 2025.

Drama Aduh sejatinya bisa diartikan sebagai gambaran kondisi individu yang berhadapan dengan komunitas sosial atau mungkin juga sebaliknya. Terdapat semacam gesekan yang muncul dari keduanya. Lakon Aduh juga bisa juga dinilai bermuatan kerja sama atau gotong-royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Penyangkalan Aduh Putu Wijaya

Indra Wijaya

Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus