UNTUK orang Amerika, presiden ialah semacam Superpappa -- sumber segala hal yang baik kalau the going is good dan menjadi kambing hitam segala hal yang jelek kalau kurs dolar mulai turun. Pappa yang mahamulya tahu segala hal, dan setiap unsur hidupnya dilukiskan panjang lebar dalam surat kabar. Waktu Presiden Johnson dioperasi, semua orang Yankee bisa melihat gambaran dalam dan luar perut sang presiden. Menjadi presiden dari negara yang masih paling kuat di dunia bukan hal yang gampang. Tapi lebih sulit mempertahankan kedudukan atas tahta kepresidenan. Meskipun cukup banyak orang Amerika mengeluh sistemnya tidak lagi membawa orang paling baik menuju Washington, pasti benar juga bahwa seorang yang berhasil mencapai puncak bukan orang bodoh atau tolol. Yang jelas, penilaian bekas presiden sangat berbeda. Contoh yang masyhur ialah Harry Truman. Dalam suatu karangan pada The Times of London, sang Truman dilukiskan sebagai pelayan toko pakaian untuk pria (memang benar) yang dingin dan borjuis, dan mulai dengan hampir semua hal jelek yang menguasai dunia sekarang: dia memakai bom atom dan mulai proliferasi tenaga nuklir dia menolong perkembangan negara Israel, dia memecat MacArthur dengan kasar, dan mendirikan CIA semacam kumpulan pembunuh yang dibayar pemerintah. Memang jelas Truman tidak menyukai jenderal. Menurut dia, baik MacArthur maupun Eisenhower tidak mempunyai otak. Dan, katanya, dalam seorang jenderal hal itu bukan dosa besar. Waktu ditanya mengapa dia memecat MacArthur jawabannya cukup pendek, "I fired him because he wouldn't respect the authority of the President." Truman menjadi masyhur sebagai orang terus terang -- shooting from the hip. Waktu anaknya, Margareth, dikritik surat kabar sesudah menyanyi dalam semacam konser, Harry Truman menulis surat untuk redaksi, yang isi dan nadanya sangat cocok untuk penjual ikan atau kusir yang marah. Truman the Haberdasher, the from the hip-shooter, dan pelempar bom atom yang membunuh ratusan ribu orang, itulah gambaran yang muncul dalam karangan dalam The Times of London. Lain pula lukisan yang diberikan Merle Miller dalam biografi berdasarkan wawancara lama dan panjang dengan Harry Truman. Dalam buku Miller, Truman muncul sebagai orang yang sama sekali lain. Dengan heran kita membaca bahwa Truman seorang ahli di bidang sejarah, baik sejarah Amerika maupun sejarah dunia. Dia asyik membaca Plutarchus, tahu tentang sejarah Yunani dan Roma, dan bisa omong berdasarkan keahlian mengenai teori kuasa dari Plato dan Aristoteles. Dia seorang yang terus terang, tapi juga sangat sabar mendengar omongan orang lain. Mengerti apa yang dikatakan dan ingat apa yang dimaksudkan. Yang menarik perhatian ialah kesanggupannya mengambil keputusan, dan tidak lagi memikirkan akibat keputusan itu. Tidak satu menit pun dia menyesal keputusan menjatuhkan bom atom, karena pembunuhan masal di Horoshima dan Nagasaki menyelamatkan hidup ratusan ribu tentara Amerika. Tidak satu hari pun dia memikirkan akibat pencopotan MacArthur. Jenderal yang tidak tahu kepatuhan pada kepala negara harus pergi. Dalam buku Miller terdapat suatu wawancara dengan Dean Acheson, menlu Amerika pada zaman Truman. Miller bertanya: bagaimana perbedaan antara Truman di muka umum dan Truman di rumah bersama anak dan istrinya. Acheson menjawab dengan memperbandingkan Truman dan Jenderal Marshall. Waktu Marshall masuk kamar, setiap orang merasa ada orang yang masuk. Kuasa dan kewibaan sangat nyata. Suaranya rendah, staccato, memaksa orang ikut dan melakukan perintah. There was no military glamour. Marshall sederhana, tapi sangat mengesankan. Dia menguasai dirinya, seperti dia menguasai orang lain: an iron self discipline. Lain Truman. Bekas pelayan toko bisa menjadi marah, maki-maki, dan melukai jiwa sampai inti. Sinis, kasar, dan tajam. Tapi jujur dan terus terang. Dia tidak hanya sanggup mengambil keputusan dengan tegas dan cepat, tapi dia tak pernah memikirkan akibat terhadap popularitas atau kemungkinan dipilih kembali. Kata Dean Achcson: ego is a great deflector of aim. Dan Truman tidak menderita ego yang penuh angin. Dalam pemikiran dan pengambilan keputusan, tidak ada pengaruh ambisi atau kepentingan diri. Hanya satu hal yang penting, yaitu kemakmuran dan kesejahteraan negara. Of all men Truman was the most remarkable, the most extraordinary. Yang muncul dalam wawancara antara Miller dan Truman ialah bahwa Truman seorang bapak rumah tangga biasa dan sederhana, yang kebetulan mencapai tempat paling penting di dunia. Dia pintar, berani, dan terus terang. Dia cukup kritis. Waktu ditanya apakah dia pernah membuat kesalahan yang menimbulkan rasa menyesal dia tidak menyebut pencopotan MacArthur atau pengeboman Nagasaki, tapi mempersoalkan pengangkatan Thomas C. Clark menjadi anggota The Supreme Court. Clark tidak bisa banyak: the main thing is . . . well it isn 't so much that he is a bad man. It's just that he is such a dumb son of a bitch. Clark, kata Truman, adalah orang paling bodoh yang pernah dijumpainya. Masih ada beberapa orang bodoh lain, dan mereka hampir semua militer. Tidak terdapat bakat cinta dari Truman untuk pimpinan ketentaraan, kecuali pada Jenderal Marshall. Bom atom NATO, Israel, Berlin Airlift, dan Marshall plan semua keputusan yang hebat tidak menimbulkan pemikiran kedua dalam otak sang Truman. Hanya satu hal yang disesali: pengangkatan seorang hakim, yang nyata the dumbest man I have over run across. Bagi seorang yang bukan Yankee, sulit mengambil keputusan benci atau mengagumi Harry S. Truman. Dia raksasa dan menentukan nasib dunia sesudah Roosevelt sampai hari ini. Mengapa dia tidah setingkat Washington atau Lincoln? Ada sesuatu dalam wataknya yang mengerikan. Truman merasa bersimpati untuk Joseph Stalin. Tidak untuk hal yang dibuatnya, tapi untuk orangnya. Kita heran bagaimana seorang Kristen (dan Truman tidak hanya membaca Injil, tapi juga mengerti isinya) bisa merasa simpati pada seorang tukang potong yang membunuh 14 juta tani sebelum Perang Dunia II dan 40 juta orang sesudah Perang Dunia II selesai? Truman mungkin seorang negarawan yang hebat, jujur, terus terang, dan rajin. Tapi, dia dingin dan cold blooded. Bila dalam salju tidak ada harapan, lebih baik lari menuju matahari sumber cinta kita. Masa mendatang makin suram. Mungkin makin suram karena nasib dunia sering jatuh dalam tangan orang yang darahnya dingin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini