ROESLAN Abdulgani dalam menyoroti patriotisme bertolak dari rasa cinta tanah air. Dari apa yang disebutnya "patriotisme kuno" yang romantis-herois dalam melawan penjajahan, pengertian patriotisme itu dikembangkan dan diperluasnya menjadi membaktikan diri kepada kejayaan tanah air, kemakmuran rakyat, kebesaran negara dan bangsa, yang kesemuanya merupakan kepentingan nasional. Agaknya, pengertian patriotisme itu perlu dilengkapi dengan pengertian nasionalisme serta saling keterkaitannya, sesuatu yang tidak beliau singgung. Cinta tanah air barangkali sudah merupakan kodrat manusia. Manusia mempunyai rasa keterikatan dengan tempat kelahiran dan kaumnya. Rasa keterikatan ini menumbuhkan perasaan pada dirinya bahwa ia harus loyal kepada kampung halaman dan kaumnya itu. Dalam pertumbuhan selanjutnya, loyalitas primordial ini berkembang menjadi loyalitas kepada tanah air dan bangsa, kepada negara kebangsaan (nation-state). Inilah esensi nasionalisme. Patriotisme dan nasionalisme merupakan bahan ramuan dasar bagi pembentukan semangat dan kekuatan bangsa, yang diperlukan dalam kehidupan antarbangsa yang penuh persaingan dan konflik. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang. Nasionalisme memberikan arah dan tujuan kepada patriotisme, sedangkan patriotisme merupakan sumber daya bagi nasionalisme. Semangat dan kekuatan bangsa ini diuji kadarnya dalam menghadapi krisis, terutama yang mempertaruhkan eksistensi atau kelanjutan hidup bangsa dan negara, yakni perang. Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 merupakan ujian terberat dalam sejarah Indonesia. Ia mencetuskan revolusi nasional sebagai wujud ledakan patriotisme pemuda Indonesia, yang bertujuan menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan serta membangun bangsa dan masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua tujuan itu belum pernah ada di bumi persada ini. Barangkali tak seorang pun, waktu itu, dapat mengatakan kapan bahkan apakah akan, dapat diraih. Untuk itu diperlukan usaha luar biasa yang disertai pengorbanan. Semua halangan dan rintangan harus disingkirkan, tanpa kompromi, tanpa banyak pikir. Seluruh suasana dan kegairahan perjuangan membakar emosi, penuh dengan romantika dan heroisme, kendati juga banyak terjadi ekses. Inilah yang sekarang menimbulkan rasa nostalgia pada mereka yang pernah mengalaminya. Sekarang keadaan sudah berubah. Kemerdekaan dan kedaulatan sudah di tangan sendiri. Negara Republik Indonesia sudah berdiri. Kepentingan nasional tertinggi, Pembangunan Nasional, menghendaki bentuk dan corak patriotisme dan nasionalisme yang berbeda. Rasio, pertimbangan, perhitungan, dan penalaran semakin penting. Efisiensi dalam mengelola kekayaan alam bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa dan negara semakin menjadi keharusan. Modernisasi perlu ditumbuhkan. Modernisasi pada hakikatnya adalah sekularisasi -- dalam arti bahwa aktivitas individu dan masyarakat diatur secara rasional berdasarkan nilai dan pola yang impersonal dan memberi kegunaan, dan bukan berdasarkan nilai dan pola tradisional, seremonial, atau emosional. Namun, masyarakat modern itu tetap memerlukan landasan moral. Bagi kita, moral itu bersumber dari Pancasila. Masyarakat yang modern adalah masyarakat yang mampu menyerap ilmu pengetahuan dan menerapkannya ke dalam teknologi yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran bersama, serta tercapainya efisiensi yang setinggi mungkin. Ciri-ciri masyarakat modern antara lain ialah perubahan dan dinamika, yang menimbulkan berbagai konflik. Konflik-konflik ini hanya dapat dikendalikan oleh suatu sistem politik yang dibangun di landasan nasionalisme modern -- dalam arti bahwa loyalitas kepada rakyat, bangsa, dan negara melebihi segala macam loyalitas lainnya. Perbedaan pendapat diselesaikan melalui musyawarah yang mengutamakan adu pikiran, dan bukan adu emosi, nafsu, apalagi adu kekuatan, atau berdasarkan kekuasaan belaka. Tepat sekali ungkapan Roeslan Abdulgani mengenai relevansi sinyalemen orang-orang tua kita dulu dan sinyalemen Lord Acton dengan masalah kekuasaan dalam alam kita sekarang. Roeslan Abdulgani berpendapat bahwa patriotisme sekarang ini perlu dibersihkan dengan mengikis habis pragmatisme dan materialisme. Saya kurang sependapat dengan pandangan itu. Seorang patriot dan nasionalis sekarang harus seorang realis (bukan materialis) dan pragmatis, tanpa meninggalkan idealisme, demi keberhasilan pembangunan nasional. Perjuangan nasional yang hanya dilandasi idealisme, heroisme, dan romantisme laksana petualangan ala Don Quixote, seperti digambarkan Miguel de Cervantes pada permulaan abad ke-17. Kita pernah mengalami masa petualangan demikian, atas nama nasionalisme, tetapi yang sesungguhnya adalah suatu "universalisme nasionalistis", yakni ingin memaksakan nilai, persepsi, dan ukuran sendiri kepada bangsa lain di dunia, tanpa mengindahkan kenyataan yang ada di dunia dan pada diri sendiri. Akhirnya, para pemegang kekuasaan pada semua tingkat memainkan peranan yang menentukan dalam menumbuhkan jiwa patriotisme dan nasionalisme ke segenap lapisan masyarakat. Berhasil atau tidaknya usaha ini akan sangat bergantung pada kadar patriotisme dan nasionalisme para penguasa itu sendiri. Pendekatan birokratis yang terlalu berlebihan, penyalahgunaan kedudukan dan kekuasaan, akan melemahkan semangat juang, semangat bersaing, dan menghilangkan inisiatif masyarakat. Semuanya itu justru merupakan sifat-sifat yang membentuk patriotisme dan nasionalisme, dua syarat mutlak yang memberi kemampuan bagi suatu bangsa untuk mengatasi ancaman dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini