JAYA Suprana sedang banyak menangis. Itu aneh. Orang begitu kocak, kok, bisa menangis? Bukan karena ia memecahkan rekor menangis agar dapat mencatatkan namanya dalam Guinness Book of World Records. Bukan pula karena ia baru kehilangan ibunya yang meninggal pertengahan bulan ini. "Bagaimana tidak menangis?" tanyanya balik. Lalu, ketahuanlah pasalnya. Baru-baru ini, ia dipaksa mengubah beberapa nama produknya. Anti-Nik, mungkin singkatan dari antinikotin, jamu untuk para perokok, kini, harus diganti namanya menjadi A-Nik. Alasannya, "anti" adalah bahasa asing. Lho, A-Nik 'kan juga nama bagus? Nama gadis Jawa yang manis ? "Ya, tetapi, selama ini, produk itu sudah dikenal dengan nama Anti-Nik", kata Jaya Suprana di tengah sesenggukannya. "Produk itu juga sangat laku di Malaysia, Singapura dan Belanda.' Jaya Suprana tentulah belum akan menangis kalau hanya Anti-Nik yang kena gebuk. Ternyata, banyak juga yang terikat. Sari Rapat, misalnya, disediai nama baru: Citra Wanita. Alasannya? Sari Rapat itu porno. Jaya Suprana tentu saja kelimpungan. Yang nama-nya jamu Sari Rapat itu 'kan sudah puluhan tahun di-"paten"-kan, dan mendapat tempat khusus bagi wanita yang perlu menjaga citranya. Dengan alasan pornografis pula jamu Sehat Lelaki dan Kuat Lelaki harus dicarikan nama lain. "Baru sekarang inilah saya tahu bahwa 'kuat' itu porno. Mereka bilang 'lelaki' juga porno," kata Jaya Suprana menghantam jidatnya, yang makin lebar itu. Jamu Urat Saraf -- entah karena alasan apa pula -- tiba-tiba harus diganti namanya menjadi Jamu Penenang. Jamu Peluntur yang diambil dari nama tradisional -- pun dipersilakan ganti nama. Jaya Suprana memang tak sendiri. Semua industri jamu, yang sedang bertumbuh dan sedang giat mengembangkan pasar ekspor ini, kena getah penertiban. Ada jamu yang diberi nama Kuat Janoko yang harus masuk kotak, karena dianggap kurang sopan dan menjurus berahi. Nama Amor dan Surga pun harus dikubur. Sebuah gejala yang patut dipertanyakan. Perubahan nama tentu akan menimbulkan implikasi luas. Nomor pendaftaran harus diurus lagi. Label baru harus dicetak. Dan pabrik-pabrik jamu harus menginformasikan hal itu seluas-luasnya kepada masyarakat. Kecuali bila memang untuk itulah peraturan baru ini diarahkan, tampaknya, dana itu lebih diperlukan industri jamu untuk mengembangkan produk baru dan menyelamatkan karyawannya dari PHK. Bukan itu saja. Memperkenalkan nama baru pun mengandung risiko kegagalan yang cukup besar. Ketika Chevrolet memasarkan mobil baru di Puerto Rico, Nova, produk itu tak mendapat tarikan pasar. Soalnya, no va dalam bahasa Spanyol berarti tidak bisa jalan. Setelah diganti nama, menjadi Caribe, tiba-tiba pemasarannya laju. Pabrik mobil lain menemukan masalah serupa ketika memasarkan mobil dengan nama Randan di Jepang. Randan, dalam bahasa Jepang, berarti orang sinting. Jadi, Anda masih akan mengatakan bahwa nama dan merk adalah masalah yang sederhana? Dan mengganti nama sesederhana mengganti pakaian ? Tetapi, mengapa pemerintah makin heavy handed untuk mengatur rumah tangga swasta sampai sedemikian jauh? Kabarnya, dulu majalah Matra mau diberi nama Trend. Nama itu ditolak Departemen Penerangan karena dianggap asing. Padahal, begitu banyak nama asing yang dipakai media massa Indonesia. Lalu, bagaimana misalnya dengan nama asing yang berkonotasi buruk dalam kultur kita? Jangan-jangan nanti pemantik api merk Tokai pun akan dipaksa ganti nama hanya karena dalam bahasa prokem ia bisa berarti sangat jorok. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini