Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA diibaratkan sakit, hubungan diplomatik Indonesia-Amerika Serikat belum bisa disebut demam. Barangkali baru tingkat meriang saja. Panasnya sedikit di atas rata-rata, tetapi belum sampai mendidih. Tak ada usir-mengusir duta besar. Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Robert S. Gelbard, yang diusulkan banyak kalangan supaya diusiristilah halusnya persona non-gratasudah cukup banyak dikecam karena dinilai terlalu sering campur tangan pada urusan dalam negeri Indonesia. Menteri Luar Negeri Alwi Shihab pun sudah condong menyalahkan Gelbard, dan karena itu dia sudah memanggilnya. Tapi, Presiden Abdurrahman Wahid di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Sabtu pekan lalu jelas-jelas menyebutkan, Gelbard tak perlu diusir. Bahkan, Gus Dur cenderung membela Gelbard. Di Jakarta, juru bicara presiden, Wimar Witoelar, juga membantah bahwa ada mata-mata AS di sini.
Apa masalahnya? Kok, bolak-balik tidak keruan? Dubes Gelbard dinilai banyak pejabat di Indonesia terlalu "kreatif". Ia, misalnya, ditengarai menghalangi pertemuan Menteri Pertahanan AS dengan Menteri Pertahanan Indonesia. Negara yang diwakilinya juga disebutkan banyak mencampuri urusan dalam negeri, misalnya pengangkatan KSAD. Nah, kebetulan dalam situasi-situasi seperti itu ada wisatawan AS yang tertangkap di Wamena. Menteri Pertahanan Mahfud M.D. langsung menuduh wisatawan itu, Aaron Ward Maness, sebagai mata-mata. Tentu saja Gelbard membantah semuanya. Antara Gelbard dan Mahfud lalu terjadi "perang pernyataan". Dan Mahfud dibela para petinggi di sini. Maklum, selain ini menyangkut nasionalisme, Gelbard memang terlalu "kreatif", seperti yang sudah disebutkan tadi.
Kreativitas Gelbard meningkat dengan menutup pelayanan umum Kedutaan Besar AS di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Puluhan pencari visa kecele karena tak ada pengumuman apa-apa soal penutupan itu. Alasan Gelbard adalah karena ada ancaman dan ada perasaan anti-Amerika yang diakibatkan oleh pernyataan para petinggi Indonesia. Washington menyetujui penutupan ini karena memang termasuk dalam kerangka "kewaspadaan global bagi warga AS dan berbagai fasilitasnya". Kewaspadaan itu muncul bukan karena kasus-kasus di Jakarta, melainkan aksi bom bunuh diri di atas kapal perusak AS, USS Cole, di Yaman.
Centang-perenang dan semuanya jadi punya andil dalam kesalahan. Gelbard, yang mewakili negara dengan demokrasi yang sudah demikian maju dan kuat, mestinya bisa lebih arif lagi dalam meletakkan hubungan diplomatik yang sudah begitu baik antara AS dan Indonesia. Sesungguhnya di antara rakyat AS dan Indonesia tak terjadi apa-apa. Kalaupun ada demo di depan Kedubes AS yang dilakukan mahasiswa, itu hanya riak kecil yang mesti disikapi bukan dalam kategori ancaman.
Sebaliknya, para petinggi Indonesia janganlah terlalu cepat mengambil kesimpulan dan mengumbar pernyataan yang bisa merenggangkan hubungan baik Indonesia-AS. Memang, sebagian besar petinggi kita baru dalam "proses belajar". Tapi, apakah perlu ketidak-kompakan itu dipamerkan secara telanjang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo