Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ban bin bun

Pertentangan batin seorang adik pada kakaknya. kakak yang ingin mensubyeki dirinya & siap mensubyeki dunia & sejarah, yang mencintai nasib umat & anti karier pribadi. ia tak bisa menyikapi hasil sekolah.

10 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA tak kurang dari 20 tahun saya hormati dan kagumi kakak kandung saya, sedemikian rupa sehingga sekarang saya memutuskan untuk memberontak kepadanya. Saya seorang wanita tulen: oleh karena itu, saya tahu untuk belajar memiliki kejantanan yang tak dimiliki oleh kakak kandung saya yang lelaki itu. Sudah pasti. Saya ambil keputusan untuk bilang tidak dan telah saya siapkan diri untuk mereguk risikonya. Seseorang yang berbakat untuk ditindas biasanya menambahkan kalimat itu dengan " . . . meskipun saya wanita" tetapi tambahan dari saya ialah "justru karena saya wanita". Waktu kanak-kanak, betapa bangga saya melihat kakak saya itu paling pintar mengaji tetapi juga memimpin teman-temannya mencuri mangga di kebun siapa saja. Waktu di sekolah menengah saya merasa kenakalan kakak saya sama penting dengan kecerdasannya. Kemajuan dunia akan lamban dan keindahannya akan berkurang apabila kenakalan semacam itu tak diperbolehkan ada. Dan kemudian ketika ia memasuki universitas, jadilah ia seorang muslim yang patuh dan keras. Matanya berbinar-binar membicarakan ratusan juta muslimin yang disebutnya bodoh, terbelakang, dan tertindas. Tangannya berkibar-kibar mengecam susunan-susunan keadaan politik atau ketidakadilan kerajaan ekonomi dunia dan peng-"kelas"-an sosial budaya yang meletakkan saudara-saudaranya seiman di selangkangan kaki kekuasaan sejarah. Kakak saya bercita-cita merintis berbagai bentuk kebangkitan Islam dan kalau bisa ia akan kasih lapangan kerja kepada seluruh penganggur muslim di seantero bumi. Pada pendapatnya, kaum Muslimin harus mengubah posisi ban dan bin menjadi bun. Dalam bahasa Arab, b-an itu obyek, b-in itu dibawahkan. Dan b-un ialah subyek. Maka, kakak kandung tercinta saya itu berangkatlah mensubyeki dirinya sendiri, untuk akhirnya siap mensubyeki dunia dan sejarah. Dan langkah pertama yang ia lakukan ialah keluar dari universitas. Sistem persekolahan dipandangnya sebagai rumah pegadaian tempat anak-anak bangsa dihimpun untuk mengabdi kepada perusahaan peradaban yang seolah sengaja menghancurkan tetes demi tetes kemanusiaan. Dengan bersekolah anak-anak manusia digiring untuk menjual murah dirinya kepada mesin dan toko-toko kekuasaan politik ekonomi yang secara perlahan tapi pasti membawa umat manusia lebih cepat memasuki kuburan hari depannya. Sejarah begitu gelap di mata kakak saya. Sehingga, kalau saja Tuhan bersedia mengubah tempo lakon yang dimaui-Nya, kakak saya ingin merombak kegalauan itu dalam waktu satu atau dua bulan. Cinta kakak saya kepada perbaikan nasib umat manusia melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Perbaikan sejarah sudah menjadi cita-cita pribadinya dan hampir tak ia sisakan lagi ruang untuk cita-cita yang menyangkut dirinya sendiri. Ia anti-karier pribadi. Ia mengabdi kepada proses masyarakat. Ia tidak pernah berbicara bahwa ia ingin menjadi apa pun di masa depannya. Ia menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial keagamaan, bahkan merintis jemaah-jemaah ekonomi umat, yang dipandangnya akan bisa menumbuhkan daya kuasa politik dan kebudayaan dalam jangka jauh. Setiap gejolak peri lakunya merupakan semacam sub-versi di bawah versi-versi nilai yang menggelombang di permukaan sejarah. Ia cenderung bersikap sangat keras terhadap setiap kemapanan, dan saya kira ia tidak cukup hati-hati karena terlalu mengandalkan Allah swt. untuk menjadi aktor pengaman dirinya di tengah tentakel-tentakel kekuasaan. Ayah kami yang makin uzur usia hanya pasrah kepadanya dan Ibunda di kubur entah apa yang dibatininya. Kakak saya memimpin seluruh situasi rumah, juga kendali ekonominya. Kakak saya tidak bekerja dan memang memilih tidak membudakkan dirinya terhadap perusahaan ekonomi atau politik sekularistik apa pun. Ia rajin bikin proposal kegiatan-kegiatan, memperoleh dana dari luar negeri, dan tampaknya kami menumpang hidup dari dana kemelaratan umat manusia itu. Atau lebih tepat disebut kami makin bergantung kepadanya, meskipun belum bisa disebut kami menjadi kaya raya berkat komoditi kemiskinan itu. Hal terakhir ini makin menggelisahkan saya, meskipun sejauh ini saya hanyalah segumpal ketidakberdayaan. Oleh sebab itu, saya membayangkan kemungkinan langkah yang agak berbeda dengan kakak saya. Sudah lama saya mematuhi kakak saya. Sejak di sekolah menengah saya berjilbab. Ada sesuatu di dalam diri saya maupun di luar diri saya yang membutuhkan saringan dan kontrol: untuk beberapa hal, bisa saya pasrahkan kepada jilbab. Dengan demikian, jilbab justru menjamin kemungkinan saya untuk mengembangkan kepribadian dan pilihan nilau-nilai yang saya anut. Tetapi mungkin saya berkeyakinan kakak saya agak berlebihan dan ia tak cukup sabar berhadapan dengan langgam perubahan dunia. Kakak saya makin berkembang menjadi pemimpin. Ia tentukan kepada siapa saya boleh berkawan atau berpacaran. Ia buang buku-buku atau koran yang katanya tak baik untuk saya baca. Ia kontrol setiap langkah keseharian maupun setiap gejala keputusan hidup saya. Saya sedang menunggu kapan ia mulai mengatur bagaimana sebaiknya saya menyungging senyum, berapa kali sehan saya mandi serta berapa kali mulut saya harus mengunyah sebiji pisang goreng. Tetapi instruksi terakhir yang saya peroleh ialah bahwa saya harus berhenti kuliah. Pertama, agar saya terhindar dari dosa-dosa struktural. Kedua kakak tercinta itu telah memprogram saya di dalam berbagai kegiatan, misalnya training pembebasan, sosialisasi ideologi, atau proyek pemberian susu bagi penduduk miskin. Saya katakan tidak. Sebab, hubungan kami adalah hubungan pengertian dan anjuran. Tidak seorang pun berhak menentukan diri saya kecuali keyakinan saya sendiri. Tidak sebuah pihak pun berwenang mengatur langkah kaki saya kecuali kesadaran perhitungan saya sendiri. Bagi saya yang penting bukan bagaimana tidak bersekolah, tapi bagaimana menyikapi hasil sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

PODCAST REKOMENDASI TEMPO

  • Podcast Terkait
  • Podcast Terbaru
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus