Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Radar Gelap Perlu Dijernihkan

Pemain bridge, manoppo bersaudara diduga memakai "radar gelap" sewaktu bertanding di manila. world bridge federation tengah menjernihkan masalah yang telah menjadi isu tersebut.

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK diduga, Ketua Far East Bridge Federation (FEBF), J. Reyes, mencari-cari delegasi Indonesia di Kejuaraan Bridge Timur Jauh di Manila, akhir tahun lalu. Setelah Ketua delegasi Indonesia, Manai Sophian tiba, maka duduk soalnya pun jelas, yaitu mengenai laporan World Bridge Federation (WBF) tentang kasus 'radar gelap' Manoppo Bersaudara. Kemudian disepakati, bahwa soal ini tidak akan dibawa ke pertemuan delegasi FEBF, akan tetapi diselesaikan sendiri terlebin dahulu di Indonesia. Laporan WBF itu berisi 77 buah distribusi yang pernah dimainkan Manoppo Bersaudara di Kejuaraan Timur Jauh Manila tahun 1974, khusus soal lead Permainan Manila ini dibandingkan juga dengan permainan Manoppo Bersaudara di kejuaraan dunia Bermuda Bowl 1975. Di Manila tidak pakai tirai. Sedang di Bermuda pakai tirai. Laporan itu cenderung menyimpulkan, bahwa permainan di Manila unsual sedangkan di ermuda praktis 'biasa' bahkan di bawah rata-rata pemain dunia. Analog dengan itu, prestasi Manoppo Bersaudara di Indonesia hampir sama. Bahkan kini, dengan adanya sistim tirai, prestasi Manoppo menurun terus. Dalam Invitasi Nasional terakhir tahun 1977 lalu, Manoppo Bersaudara masuk kotak dan menempati urutan ke 6 dari enam regu peserta. Namun, layak dicatat, bahwa dengan tirai, Manoppo Bersaudara pernah menjadi juara pasangan Kejuaraan Nasional 1974 di Ban jarmasin. Oleh sebab itu saya lebih cenderung mengatakan, bahwa kini memang kebolehan Manoppo Bersaudara sudah menurun sekali. Yan Gelap Di Manila, Manai Sophian mengatakan, bahwa saatnya sekarang bahwa soal Manoppo Bersaudara ini perlu dijernihkan. Indonesia tidak menginginkan seperti apa yang dilaku kan WBF kepada Federasi Bridge Italia. Mereka diskor sebab tidak mengambil satu sikap atas 'kecurangan' Regu Biru Italia yang belasan tahun jadi juara dunia. Dari penielasan Reyes, Patino (Ketua WBF) dan Benno (Sekretaris EBF), bahwa masalah yang dihadapi dengan Indonesia hanyalah soal Manoppo Bersaudara dan bukan mengenai regu nasional. Sebab, dari tiga pasangan regu nasional, cuma satu pasang yang diduga menggunakan 'radar gelap', sehingga tidak perlu mengorbankan dua pasangan lainnya. Bicara soal gelap-gelapan ini, WBF telah mengambil langkah-langkah tegas. Tindakan terhadap yang curang sudah diambil (TEMPO, 22 Oktober 1977). Sementara itu Pengda Gabsi Jaya baru-baru ini juga telah melakukan skorsing 2 tahun kepada pasangan Ismet/Marahlaut. karena pasangan ini terbukti main curang. Dan pasangarl Eddy Manoppo (salah seorang dari Manoppo Bersaudara)/Lasut (yang juga turut di Manila tahun 1974) pernah diskor oleh Gabungan Bridge Manado di tahun 1969 karena adanya indikasi lain. Agak lain dengan soal itu, masalah 'radar gelap' Manoppo Bersaudara sejak tahun 1971 di Indonesia telah dijadikan isyu ramai. Pro dan kontra akhirnya tidak menyelesaikan kasus ini. Sehingga secara formil Manoppo Bersaudara tidak dianggap telah melakukan hal-hal yang mencurigakam Bahkan ia selalu diundang dan turut serta di dalam kegiatan PB Gabsi. Oleh sebab itulah, memang saatnya kini menilai kembali, setidak-tidaknya dengan meneliti ulang laporan dari WBF itu. Bila komisi peneliti PB Gabsi menyimpulkan sesuai dengan laporan WBF itu, maka putusan pun dijatuhkan. Bila tidal cocok, 'leareazce' pun perlu. Yang Protes Setelah delegasi Indonesia dapat mengatasi masalah laporan WBF tersebut, cobaan bagi Indonesia masih juga muncud di gelnggang Kejuaraan Timur Jauh 1977 ini. Pertama datangnya dari Australia dan yang kedua dari India. Australia memprotes pasangan Fransz/Karamoy karena infonnas yang diberikan Franz tidak sesuai dengan kenyataan. India memprotes duduhya pasangan ini, karena konvensi Fransz/Karamoy terlalu ruwet dan belum ada waktu mempelajarinya. Selain itu juga defensif bidding Fransz tidak dilampirkan. Pimpinan Pertandingan Manila ini ialah Harold. Franklin. Ia seialu siap dengan Law of Duplicate Bridge 197S berikut peraturan tambahan dari FEBF. Setelah mendengar protes, ia juga minta keterangan dari yang diprotes. Tak lama ia pun memutuskan dengan memperlihatkan Law-nya. Dan protes itu semua diterima oleh Franklin, sehingga delegasi Indonesia yang berusaha untuk menolak atau mengeleminir protes itu tak berkutik sama sekali. Habis, Franklin cuma kasih lihat buku peraturan sedangkan delegasi Indonesia cenderung meminta kebijaksanaan. Yang menarik di sini ialah soal tidak diterimakan kartu konvensi. Padahal hampir semua negara peserta tidak menerima kartu konvensi, kecuali pada saat akan bertanding. Peraturannya mengatakan mesti dikirim ke setiap negara peserta. Panitia meminta dikirim ke tempat bertanding. Karena terjadi kekeliruan, apakah kebijaksanaan tak jalan? Jawabannya: sudah salah kok menyeret orang lain ikut salah. Letak soalnya sebetulnya sederhana. Masyarakat bridge negara Barat dan beberapa negara lainnya sudah tidak menghendaki konvensi artifisial, apalagi artifisial penuh ala Frans ini. Di Amerika Serikat dan sebagian Eropa, telah dicantumkan aturan, banwa penggunaan artifisial tidak diperkenankan dalam pertandingan pasangan. Relevan dengan ini, PB Gabsi sudah harus pula mempertimbangkan soal konvensi, agar kejadian dengan Fransz/Karamoy ini tidak terulang. Yang Bengong Sepulangnya dari Auckland tahun lalu. saya menulis bahwa di Sana setiap pemain memahami dan mematuhi aturan. Bukan cuma pemain, tapi seluruh warga dan aparatnya. Di sini, kita tahu hukum tapi belum seluruhnya dipatuhi. Di dalam menghadapi kasus Manoppo Bersaudara di Manila, nasionalisme dalam diri setiap anggota rombongan tumbuh dengan segar, bahkan soal right or wrong my country jadi semacam pegangan. Begitu juga dalam menghadapi protes yang terjadi Namun sesampainya di Indonesia, apalagi prinsip itu masih dapat dipertahankan? Di Manila, dan saya fikir di mana pun peraturan dijalankan dan diikuti dengan baik. Kita masih fleksibel bahkan bisa menyimpang, sebab nasib lebih enak berbijak-bijak, alias bijaksana. Tak heran bila seorang rekan mengomentari: soal kita sekarang, tak tegaknya rule of law sudan merupakan postulat. Kalau begini, pantas juga kita jadi bengong. Wah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus