TAK diduga, Ketua Far East Bridge Federation (FEBF), J. Reyes,
mencari-cari delegasi Indonesia di Kejuaraan Bridge Timur Jauh
di Manila, akhir tahun lalu. Setelah Ketua delegasi Indonesia,
Manai Sophian tiba, maka duduk soalnya pun jelas, yaitu mengenai
laporan World Bridge Federation (WBF) tentang kasus 'radar
gelap' Manoppo Bersaudara. Kemudian disepakati, bahwa soal ini
tidak akan dibawa ke pertemuan delegasi FEBF, akan tetapi
diselesaikan sendiri terlebin dahulu di Indonesia.
Laporan WBF itu berisi 77 buah distribusi yang pernah dimainkan
Manoppo Bersaudara di Kejuaraan Timur Jauh Manila tahun 1974,
khusus soal lead Permainan Manila ini dibandingkan juga dengan
permainan Manoppo Bersaudara di kejuaraan dunia Bermuda Bowl
1975. Di Manila tidak pakai tirai. Sedang di Bermuda pakai
tirai. Laporan itu cenderung menyimpulkan, bahwa permainan di
Manila unsual sedangkan di ermuda praktis 'biasa' bahkan di
bawah rata-rata pemain dunia.
Analog dengan itu, prestasi Manoppo Bersaudara di Indonesia
hampir sama. Bahkan kini, dengan adanya sistim tirai, prestasi
Manoppo menurun terus. Dalam Invitasi Nasional terakhir tahun
1977 lalu, Manoppo Bersaudara masuk kotak dan menempati urutan
ke 6 dari enam regu peserta. Namun, layak dicatat, bahwa dengan
tirai, Manoppo Bersaudara pernah menjadi juara pasangan
Kejuaraan Nasional 1974 di Ban jarmasin. Oleh sebab itu saya
lebih cenderung mengatakan, bahwa kini memang kebolehan Manoppo
Bersaudara sudah menurun sekali.
Yan Gelap
Di Manila, Manai Sophian mengatakan, bahwa saatnya sekarang
bahwa soal Manoppo Bersaudara ini perlu dijernihkan. Indonesia
tidak menginginkan seperti apa yang dilaku kan WBF kepada
Federasi Bridge Italia. Mereka diskor sebab tidak mengambil satu
sikap atas 'kecurangan' Regu Biru Italia yang belasan tahun jadi
juara dunia.
Dari penielasan Reyes, Patino (Ketua WBF) dan Benno (Sekretaris
EBF), bahwa masalah yang dihadapi dengan Indonesia hanyalah
soal Manoppo Bersaudara dan bukan mengenai regu nasional. Sebab,
dari tiga pasangan regu nasional, cuma satu pasang yang diduga
menggunakan 'radar gelap', sehingga tidak perlu mengorbankan dua
pasangan lainnya.
Bicara soal gelap-gelapan ini, WBF telah mengambil
langkah-langkah tegas. Tindakan terhadap yang curang sudah
diambil (TEMPO, 22 Oktober 1977).
Sementara itu Pengda Gabsi Jaya baru-baru ini juga telah
melakukan skorsing 2 tahun kepada pasangan Ismet/Marahlaut.
karena pasangan ini terbukti main curang. Dan pasangarl Eddy
Manoppo (salah seorang dari Manoppo Bersaudara)/Lasut (yang juga
turut di Manila tahun 1974) pernah diskor oleh Gabungan Bridge
Manado di tahun 1969 karena adanya indikasi lain.
Agak lain dengan soal itu, masalah 'radar gelap' Manoppo
Bersaudara sejak tahun 1971 di Indonesia telah dijadikan isyu
ramai. Pro dan kontra akhirnya tidak menyelesaikan kasus ini.
Sehingga secara formil Manoppo Bersaudara tidak dianggap telah
melakukan hal-hal yang mencurigakam Bahkan ia selalu diundang
dan turut serta di dalam kegiatan PB Gabsi.
Oleh sebab itulah, memang saatnya kini menilai kembali,
setidak-tidaknya dengan meneliti ulang laporan dari WBF itu.
Bila komisi peneliti PB Gabsi menyimpulkan sesuai dengan laporan
WBF itu, maka putusan pun dijatuhkan. Bila tidal cocok,
'leareazce' pun perlu.
Yang Protes
Setelah delegasi Indonesia dapat mengatasi masalah laporan WBF
tersebut, cobaan bagi Indonesia masih juga muncud di gelnggang
Kejuaraan Timur Jauh 1977 ini. Pertama datangnya dari Australia
dan yang kedua dari India. Australia memprotes pasangan
Fransz/Karamoy karena infonnas yang diberikan Franz tidak
sesuai dengan kenyataan. India memprotes duduhya pasangan ini,
karena konvensi Fransz/Karamoy terlalu ruwet dan belum ada waktu
mempelajarinya. Selain itu juga defensif bidding Fransz tidak
dilampirkan.
Pimpinan Pertandingan Manila ini ialah Harold. Franklin. Ia
seialu siap dengan Law of Duplicate Bridge 197S berikut
peraturan tambahan dari FEBF. Setelah mendengar protes, ia juga
minta keterangan dari yang diprotes. Tak lama ia pun memutuskan
dengan memperlihatkan Law-nya. Dan protes itu semua diterima
oleh Franklin, sehingga delegasi Indonesia yang berusaha untuk
menolak atau mengeleminir protes itu tak berkutik sama sekali.
Habis, Franklin cuma kasih lihat buku peraturan sedangkan
delegasi Indonesia cenderung meminta kebijaksanaan.
Yang menarik di sini ialah soal tidak diterimakan kartu
konvensi. Padahal hampir semua negara peserta tidak menerima
kartu konvensi, kecuali pada saat akan bertanding. Peraturannya
mengatakan mesti dikirim ke setiap negara peserta. Panitia
meminta dikirim ke tempat bertanding. Karena terjadi kekeliruan,
apakah kebijaksanaan tak jalan? Jawabannya: sudah salah kok
menyeret orang lain ikut salah.
Letak soalnya sebetulnya sederhana. Masyarakat bridge negara
Barat dan beberapa negara lainnya sudah tidak menghendaki
konvensi artifisial, apalagi artifisial penuh ala Frans ini. Di
Amerika Serikat dan sebagian Eropa, telah dicantumkan aturan,
banwa penggunaan artifisial tidak diperkenankan dalam
pertandingan pasangan. Relevan dengan ini, PB Gabsi sudah harus
pula mempertimbangkan soal konvensi, agar kejadian dengan
Fransz/Karamoy ini tidak terulang.
Yang Bengong
Sepulangnya dari Auckland tahun lalu. saya menulis bahwa di Sana
setiap pemain memahami dan mematuhi aturan. Bukan cuma pemain,
tapi seluruh warga dan aparatnya. Di sini, kita tahu hukum tapi
belum seluruhnya dipatuhi.
Di dalam menghadapi kasus Manoppo Bersaudara di Manila,
nasionalisme dalam diri setiap anggota rombongan tumbuh dengan
segar, bahkan soal right or wrong my country jadi semacam
pegangan. Begitu juga dalam menghadapi protes yang terjadi
Namun sesampainya di Indonesia, apalagi prinsip itu masih
dapat dipertahankan?
Di Manila, dan saya fikir di mana pun peraturan dijalankan dan
diikuti dengan baik. Kita masih fleksibel bahkan bisa
menyimpang, sebab nasib lebih enak berbijak-bijak, alias
bijaksana. Tak heran bila seorang rekan mengomentari: soal kita
sekarang, tak tegaknya rule of law sudan merupakan postulat.
Kalau begini, pantas juga kita jadi bengong. Wah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini