Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bakat Telah Dipandu, Tapi ...

Perbakin jaya mengadakan sekolah menembak untuk peremajaan atlit yang berfungsi sebagai lembaga pencarian bakat. pengiriman atlit untuk mengikuti turnamen internasional, menghambat peningkatan prestasi. (or)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADANYA jurang pemisah antara atlit senior dengan calon pengganti mereka sudah menjadi permasalahan klasik dalam dunia olahraga Indonesia. Tapi dari dulu usaha induk organisasi untuk menjembatani kedua generasi olahragawan itu tak pernah muncul dalam kalender pembinaan yang pasti. Menyadari keterlambatan proses peremajaan atlit itu, di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta pagi Minggu 8 Januari lalu, Perbakin Jaya meresmikan sekolah menembak angkatan pertama. "Sebetulnya usaha ini sudah harus dari dulu kita mulai" kata Muslimin, Ketua Bidang Target Perbakin Jaya mengakui kekurangan. Tapi "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?". Belum Ada Artinya Lambatnya kesadaran dari pembina olahraga menembak itu menemui bentuk yang padu bisa difahami, memang. Sebab cabang olahraga ini termasuk kegemaran yang menuntut duit. Untuk sebuah pistol angin saja harganya sudah 150 ribu rupiah. Belum lagi terhitung biaya latihan. Tapi jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk main golf yang harga satu set peralatannya bisa lebih 1 juta rupiah, olahraga menembak mungkin belum ada artinya. Bertolak dari kenyataan mahalnya peralatan untuk melahirkan seorang penembak. Maka untuk menggairahkan minat itu, Perbakin Jaya lalu menempuh jalan dengan meminjamkan sebagian dari peralatan latihan, seperti pistol atau senapan, kepada Siswa. "Untuk tahap pertama ini kita harus bisa menumbuhkan minat masyarakat terhadap olahraga menembak," lanjut Muslimin. Langkah yang ditempuh itu tampak cukup berhasil. Untuk angkatan pertama ini tercatat 42 siswa dari Korps Wanita ABRI, 23 orang ibu rumah tangga, serta 57 siswa remaja --berusia 23 tahun ke bawah. Adakah menggelembungnya jumlah peminat akan mengejar ketinggalan Indonesia di lapangan tembak? Untuk tingkat Asia, ketrampilan pcnembak Indonesia baru menduduki urutan keenam di bawah Korea Utara, Jepang, Korea Selatan, Muangthai dan RRC. "Kita harapkan begitu," sela dr. Salamun, Sekretaris Perbakin Jaya. Ia mengambil contoh pada pembinaan di masa sekolah menembak belum dibentuk. Untuk jangka waktu 4 tahun (periode antara PON) Perbakin Jaya cuma melahirkan 4 penembak baru dalam memperkuat regu Jakarta di PON IX, 1977 lalu. Pengadaan sekolah menembak adalah salah satu cara untuk menutupi jarak generasi penembak yang kian melebar. Adakah dalam tempo 3 bulan (jangka waktu pendidikan) pendekatan jarak pemisah itu mulai menunjukkan bentuk? Dalam arti prestasi, jawaban atas tantangan itu mungkin belum merupakan putik. Sebab, menurut Muslimin, buat mencapai prestasi minimum dibutuhkan masa pembinaan selama 1 tahun. Untuk seorang penembak pistol angin yang normal dan berbakat, tempo musim ini baru menghasilkan angka antara 350 sampai 360 dari 400 kemungkinan nilai. Tapi bukan berarti sekolah menembak tidak menjawab permasalahan dalam arti pemassalan dan melahirkan bakat baru. Apalagi, menurut Muslimin, kelan,utan sekolah ini sebagai lembaga pencarian bakat akan dipertahankan terus. Biaya Sendiri Mungkinkah prestasi penembak bisa lebih meningkat dengan bakal munculnya persaingan di antara sesama pendatang baru maupun lama? Untuk tingkat nasional masyarakat boleh belharap banyak. Tapi buat berbicara di tingkat internasional, selama pengiriman atlit ke luar negeri masih ketat seperti selama ini, harapan itu kiranya masih terlalu jauh. "Tanpa menimba pengalaman bertanding lebih banyak, sulit untuk meningkatkan apa yang disebut prestasi itu," kata Salamun. Salamun tak kurang mengecam sistim pengiriman penembak ke suatu turnamen yang selalu diukur dengan medali. "Berpartisipasi dalam suatu kejuaraan juga perlu," lanjutnya. Ia mengambil contoh dengan kehadiran tim Irak dalam Kejuaraan Menembak Asia 1975 di Kuala Lumpur. Padahal prestasi regu Irak ini sama dengan skor penembak kelas III Perbakin Jaya. Target Irak rmungkin lain dengan sasaran Indonesia. Ketatnya pengiriman penembak Indonesia ke suatu turnamen internasional mungkin disebabkan terbatasnya anggaran induk organisasi. "Bagi kita yang penting diperbolehkan," kata Salamun. "Bayar sendiri pun mau." Keinginan untuk meningkatkan pres tasi dengan kesadaran diri itu adalah usana yang terpuji. Lihatlah penembak-penembak Muangthai yang diberi kebebasan untuk berpartisipasi dengan biaya sendiri, misalnya. Hasilnya, sama sekali tidak mengecewakan. Mereka berhasil menempatkan diri di urutan pertama untuk kawasan Asia Tenggara. Juga jadi lawan yang disegani di tingkat Asia. Akankah 34 siswa yang memilih spesialisasi ke cabang senapan dan sisa lainnya untuk nomor pistol bakal mengalami hambatan yang sama nantinya? Perbakin Pusat maupun KONI Pusat agaknya perlu merenungkan kebijaksanaan masa lalu mereka. Tanpa adanya introspeksi terhadap kebijaksanaan pengiriman atlit (terutama bagi yang mau berangkat dengan biaya sendiri) ke kejuaraan internasional, usaha pengadaan sekolah menembak, tampak tak akan berhasil banyak menjawab tantangan prestasi. Bukankah seseorang dalam memilih itu mempunyai target? Begitu juga siswa sekolah menembak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus