ADANYA jurang pemisah antara atlit senior dengan calon pengganti
mereka sudah menjadi permasalahan klasik dalam dunia olahraga
Indonesia. Tapi dari dulu usaha induk organisasi untuk
menjembatani kedua generasi olahragawan itu tak pernah muncul
dalam kalender pembinaan yang pasti.
Menyadari keterlambatan proses peremajaan atlit itu, di Lapangan
Tembak Senayan, Jakarta pagi Minggu 8 Januari lalu, Perbakin
Jaya meresmikan sekolah menembak angkatan pertama. "Sebetulnya
usaha ini sudah harus dari dulu kita mulai" kata Muslimin, Ketua
Bidang Target Perbakin Jaya mengakui kekurangan. Tapi "lebih
baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?".
Belum Ada Artinya
Lambatnya kesadaran dari pembina olahraga menembak itu menemui
bentuk yang padu bisa difahami, memang. Sebab cabang olahraga
ini termasuk kegemaran yang menuntut duit. Untuk sebuah pistol
angin saja harganya sudah 150 ribu rupiah. Belum lagi terhitung
biaya latihan. Tapi jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk
main golf yang harga satu set peralatannya bisa lebih 1 juta
rupiah, olahraga menembak mungkin belum ada artinya.
Bertolak dari kenyataan mahalnya peralatan untuk melahirkan
seorang penembak. Maka untuk menggairahkan minat itu, Perbakin
Jaya lalu menempuh jalan dengan meminjamkan sebagian dari
peralatan latihan, seperti pistol atau senapan, kepada Siswa.
"Untuk tahap pertama ini kita harus bisa menumbuhkan minat
masyarakat terhadap olahraga menembak," lanjut Muslimin.
Langkah yang ditempuh itu tampak cukup berhasil. Untuk angkatan
pertama ini tercatat 42 siswa dari Korps Wanita ABRI, 23 orang
ibu rumah tangga, serta 57 siswa remaja --berusia 23 tahun ke
bawah.
Adakah menggelembungnya jumlah peminat akan mengejar ketinggalan
Indonesia di lapangan tembak? Untuk tingkat Asia, ketrampilan
pcnembak Indonesia baru menduduki urutan keenam di bawah Korea
Utara, Jepang, Korea Selatan, Muangthai dan RRC. "Kita harapkan
begitu," sela dr. Salamun, Sekretaris Perbakin Jaya. Ia
mengambil contoh pada pembinaan di masa sekolah menembak belum
dibentuk. Untuk jangka waktu 4 tahun (periode antara PON)
Perbakin Jaya cuma melahirkan 4 penembak baru dalam memperkuat
regu Jakarta di PON IX, 1977 lalu.
Pengadaan sekolah menembak adalah salah satu cara untuk menutupi
jarak generasi penembak yang kian melebar. Adakah dalam tempo 3
bulan (jangka waktu pendidikan) pendekatan jarak pemisah itu
mulai menunjukkan bentuk? Dalam arti prestasi, jawaban atas
tantangan itu mungkin belum merupakan putik. Sebab, menurut
Muslimin, buat mencapai prestasi minimum dibutuhkan masa
pembinaan selama 1 tahun. Untuk seorang penembak pistol angin
yang normal dan berbakat, tempo musim ini baru menghasilkan
angka antara 350 sampai 360 dari 400 kemungkinan nilai.
Tapi bukan berarti sekolah menembak tidak menjawab permasalahan
dalam arti pemassalan dan melahirkan bakat baru. Apalagi,
menurut Muslimin, kelan,utan sekolah ini sebagai lembaga
pencarian bakat akan dipertahankan terus.
Biaya Sendiri
Mungkinkah prestasi penembak bisa lebih meningkat dengan bakal
munculnya persaingan di antara sesama pendatang baru maupun
lama? Untuk tingkat nasional masyarakat boleh belharap banyak.
Tapi buat berbicara di tingkat internasional, selama pengiriman
atlit ke luar negeri masih ketat seperti selama ini, harapan itu
kiranya masih terlalu jauh. "Tanpa menimba pengalaman bertanding
lebih banyak, sulit untuk meningkatkan apa yang disebut prestasi
itu," kata Salamun.
Salamun tak kurang mengecam sistim pengiriman penembak ke suatu
turnamen yang selalu diukur dengan medali. "Berpartisipasi dalam
suatu kejuaraan juga perlu," lanjutnya. Ia mengambil contoh
dengan kehadiran tim Irak dalam Kejuaraan Menembak Asia 1975 di
Kuala Lumpur. Padahal prestasi regu Irak ini sama dengan skor
penembak kelas III Perbakin Jaya.
Target Irak rmungkin lain dengan sasaran Indonesia. Ketatnya
pengiriman penembak Indonesia ke suatu turnamen internasional
mungkin disebabkan terbatasnya anggaran induk organisasi. "Bagi
kita yang penting diperbolehkan," kata Salamun. "Bayar sendiri
pun mau."
Keinginan untuk meningkatkan pres tasi dengan kesadaran diri itu
adalah usana yang terpuji. Lihatlah penembak-penembak Muangthai
yang diberi kebebasan untuk berpartisipasi dengan biaya sendiri,
misalnya. Hasilnya, sama sekali tidak mengecewakan. Mereka
berhasil menempatkan diri di urutan pertama untuk kawasan Asia
Tenggara. Juga jadi lawan yang disegani di tingkat Asia.
Akankah 34 siswa yang memilih spesialisasi ke cabang senapan dan
sisa lainnya untuk nomor pistol bakal mengalami hambatan yang
sama nantinya? Perbakin Pusat maupun KONI Pusat agaknya perlu
merenungkan kebijaksanaan masa lalu mereka. Tanpa adanya
introspeksi terhadap kebijaksanaan pengiriman atlit (terutama
bagi yang mau berangkat dengan biaya sendiri) ke kejuaraan
internasional, usaha pengadaan sekolah menembak, tampak tak akan
berhasil banyak menjawab tantangan prestasi.
Bukankah seseorang dalam memilih itu mempunyai target? Begitu
juga siswa sekolah menembak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini