Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Paul, Sebuah Perjalanan

Paul Kadarisman terpilih sebagai fotografer terbaik Photo Summit Indonesia 2007. Lima tahun terakhir ini, ia dianggap memiliki konsep-konsep foto yang menarik.

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

I hate this city Its cruelness But can never, leave her

Jakarta seperti ditinggalkan oleh warganya. Kosong melompong. Ia seperti sebuah abandoned city. Satu pun manusia tak tampak. Lihat Atrium Senen, begitu sunyi. Harmoni, sama sekali tak ada orang menyeberang. Glodok, aneh sekali bisa begitu lengang. Di jalan tol Simatupang, sama sekali tak ada mobil melintas. Di Stasiun Beos, tak ada kerumunan orang. Kolam renang Senayan, airnya masih tampak bersih, tapi tanpa pengunjung. Tak ada tanda-tanda bangunan Jakarta rusak, gosong, runtuh karena banjir, kebakaran, atau gempa. Pencakar langit masih utuh.

Seperti ada sesuatu yang misterius yang terjadi di Jakarta tapi kita tak tahu apa itu. Kita terbiasa berada dalam situasi Jakarta macet, bising, trotoar penuh dengan warung makan yang berdesakan, dan mikrolet seruduk sana seruduk sini. Dan ketika tiba-tiba menyaksikan pemandangan Jakarta begitu lapang, memang melegakan. Ada nuansa indah, tapi juga mengerikan karena kekosongannya. Itulah perasaan ketika melihat rangkaian foto tentang Jakarta karya Paul Kadarisman yang diberi judul—dari salah satu lagu Pink Floyd—Wish You Were Here….

Paul, 33 tahun, terpilih sebagai fotografer terbaik Photo Summit Indonesia 2007. Sejumlah juri dari Dewan Kesenian Jakarta dan Galeri Antara menganggap lulusan Jurusan Fotografi Institut Kesenian Jakarta itu lima tahun terakhir ini menghasilkan produk yang bisa memperkaya dunia fotografi kita. ”Paul memiliki karya-karya dengan konsep menarik,” kata Firman Ihsan, ketua dewan juri.

Anak muda ini dikenal terus-menerus melakukan pencarian-pencarian. Sebagai fotografer, pengalamannya tergolong lengkap. Ia pernah membuat serangkaian foto jurnalistik (pernah memotret kehidupan keagamaan di Glodok setelah tragedi Mei 1998), foto komersial untuk iklan, foto perkawinan, dan foto esai tentang waria-waria Jakarta, memotret tokoh-tokoh, serta mendokumentasikan syuting film seperti Puisi Tak Terkuburkan karya Garin Nugroho atau Pasir Berbisik karya Nan T. Achnas. Namun, di luar itu semua, ia punya serangkaian karya dengan ”konsep-konsep” yang inovatif.

Saat menempuh tugas akhir IKJ, misalnya, ia membuat sebuah concept photo bertema sampah-sampah plastik. Namun cara menyampaikannya lain daripada yang lain. Ia menghadirkan seorang perempuan telanjang bulat di sebuah ruang yang penuh aneka serakan boneka hewan plastik seperti buaya lucu-lucu dengan warna-warna biru dan pink. Desain kamar itu sendiri khas anak muda: funky. Perempuan itu mengenakan masker gas. Perempuan itu seolah-olah membersihkan ruang dengan vacuum cleaner, kepalanya masuk ke dalam steamer—alat pemanas di salon—atau tengah mengendarai otopet.

Foto ini boleh jadi salah satu karya Paul yang paling ”nakal”. Namun, karena berhubungan dengan ketelanjangan, tentu banyak kendala. ”Saya susah memamerkan di sini. Urusannya bisa panjang nanti,” ujarnya mengeluh. Menurut Firman, saat Paul menjalani ujian, itu menjadi perdebatan tersendiri di kalangan dosen IKJ. Sebagian dosen menganggap karya Paul terlalu pop, terlalu freak. ”Tapi justru itu kekuatannya, hal-hal yang serius digambarkan dengan bermain-main,” kata Firman. ”Ia menabrak estetika yang diajarkan di IKJ.”

Karya Paul lain yang menarik tentang Monas. Ia membawa sahabat-sahabatnya yang dianggap apolitis ke Monas—lalu memotret reaksi-ekspresi mereka terhadap Monas. Juga karyanya yang bertema pluralitas kehidupan beragama—di Indonesia. Biasanya, bila seorang fotografer diminta menggarap tema hubungan antar-agama, obyeknya kemungkinan besar seputar kegiatan toleransi ibadah. Namun Paul lain. Ia memotret dirinya sendiri bersama kawan-kawan akrabnya sesama fotografer yang namanya ada Muhammadnya, antara lain Muhammad Iqbal, Muhammad Firman Ihsan, dan Muhammad Revaldi. ”Sementara nama saya kan Katolik banget,” katanya.

Terakhir Paul banyak melakukan eksperimentasi dengan menggunakan kamera digital. Menurut dia, banyak fotografer telah beralih dari kamera analog ke kamera digital tapi cara berpikirnya tetap analog. ”Di sini belum banyak dioptimalisasi kemungkinan-kemungkinan digital.” Paul tiba-tiba menyebut fotografer Jepang, Nobuyusi Haraki—yang, menurut dia, sedari menggunakan kamera analog, cara berpikirnya telah digital. ”Ia merekam sebanyak-banyaknya orang Tokyo. Semua itu kini bisa dimungkinkan dengan mudah melalui digital.” Apalagi kemampuan kamera digital menyimpan data sudah bergiga-giga.

Memang, dengan fasilitas-fasilitas kamera digital, kemungkinan eksperimen terbuka lebar. Dengan digital pula kini kamera tidak hanya eksklusif milik fotografer, tapi juga kalangan seni rupa. Kalangan seni rupa banyak menggunakan kamera sebagai medium untuk menghasilkan karya-karya yang provokatif, membuat batasan antara karya fotografi dan seni rupa lebur. Menurut Firman, yang membedakan karya Paul dengan kalangan seni rupa adalah, meski bereksperimen, Paul masih menghadirkan dirinya sebagai seorang fotografer. Caranya mempersepsikan realitas tidak meninggalkan basisnya sebagai fotografer.

Dan proyek mendokumentasikan Jakarta adalah contoh mengeksplorasi kemungkinan digital yang cerdas dari seorang fotografer. Kita melihat rangkaian seri sudut-sudut Jakarta begitu sunyi. Tempat-tempat Jakarta yang kita kenal sehari-hari tiba-tiba hening total, tak ada orang, tak ada suara….

Itu semua dilakukan Paul bukan dengan teknik menghapus orang atau kendaraan yang lalu-lalang di komputer. Untuk menemukan ”sunyi” itu, Paul harus berjibaku. Katakanlah untuk memotret sebuah lokasi di Senen. Paul dengan kamera di atas tripod akan memotret terus—berkali-kali dari posisi sudut yang sama—jalan itu sampai menemukan sedikit, sepersekian detik, jalan itu sunyi. Dengan menggunakan Photoshop—yang memiliki fasilitas super impose—foto satu ditimpa yang lain, foto jalan yang sunyi itu akan menimpa foto-foto sebelumnya.

Bisa dibayangkan, untuk satu lokasi, bisa sampai berpuluh-puluh kali jepretan dilakukan Paul. Sementara itu, ada ratusan sudut Jakarta yang menjadi target Paul. Hal yang sulit adalah misalnya di sebuah jalan ada tiga ruas jalan. Maka Paul, satu per satu, harus menjepretkan kameranya ke tiap jalan. Sebab, bila satu jalan bisa tertangkap sunyinya, di jalan lain kendaraan masih ramai. Maka memang kesabaran adalah kunci. ”Yang dikerjakan Paul cukup rumit,” komentar Firman Ihsan. Yang dilakukan memang akhirnya sebuah dokumenter—tapi bukan dokumenter murni.

Sebetulnya. ”mensunyikan” jalan bisa dilakukan kamera analog dengan teknik long exposure atau dengan speed lambat. Sehingga benda yang bergerak lebih cepat seperti mobil bila ditangkap akan hilang. Ini misalnya dilakukan fotografer Prancis, Eugene Atget (1857-1927), saat mendokumentasikan jalanan Kota Paris. Atget membayangkan awal Paris sebagai sebuah kota melompong yang jauh dari hiruk-pikuk. Namun, dengan speed yang lambat, masalahnya, awan atau daun yang bergerak lamban tetap akan kelihatan bayang-bayangnya. ”Jadinya seperti kayak mimpi, sureal. Saya tidak suka,” kata Paul.

Penghargaan Photo Summit Indonesia 2007 merupakan sebuah pengakuan atas perjalanan Paul. Masih banyak proyek di benaknya yang harus dibuktikan realisasinya. Penghargaan ini sekaligus sebuah tantangan baginya.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus