BERAKHIRNYA Perang Dingin menghidupkan perang yang lain: lomba di kalangan akademisi menerbitkan tesis intelektual sebagai fondasi tatanan dunia baru. Ini semacam perebutan mahkota yang selama ini dipegang oleh George Kenan, tokoh intelektual di belakang konsep politik internasional Barat di zaman Perang Dingin. Tahun lalu Francis Fukuyama mencoba menjual tesisnya yang berjudul "Berakhirnya Sejarah". Tahun ini giliran Samuel Huntington menjajakan "Benturan Peradaban". Fukuyama menerbitkan tulisannya pada saat Barat sedang merayakan kemenangannya atas blok Timur. Ketika CNN menayangkan robohnya tembok Berlin dan menyatunya Jerman berulang-ulang. Sedangkan Huntington melahirkan pikirannya ketika berakhirnya Perang Dingin ternyata melahirkan serentetan perang kecil lain yang tak jelas kapan ujung akhirnya. Yakni ketika CNN memberitakan konflik di Bosnia, Haiti, dan Somalia. Ketika gerakan Islam ekstrem marak di mana-mana. Ketika gerakan nasionalis dan etnis sempit mencabik-cabik banyak negara. Itu sebabnya Huntington dalam tulisannya di jurnal Foreign Affairs edisi musim panas lalu terasa pesimistis. Ia mereka-reka garis-garis panas yang akan mencabik-cabik dunia dalam perang yang akan datang. Itulah garis-garis yang kemudian dikatakannya sebagai tempat terjadinya "benturan peradaban". Berbeda dengan Fukuyama yang meramalkan realisasi mimpi mendiang Woodrow Wilson tentang dunia yang menjadi Barat, yang damai, yang demokratis, dan yang berpasar bebas (karena itu berakhirlah sejarah). Huntington, pengajar ilmu politik Universitas Harvard, membangun tesisnya dengan melacak sampai ke belakang, ke lahirnya perjanjian damai Westphalia, tahun 1648. Inilah perjanjian yang mengakhiri perang 30 tahun di Eropa, terutama di Jerman, yang menjadi awal keruntuhan kekaisaran Hapsburg sebagai perwakilan kekaisaran Roma suci. Satu setengah abad kemudian, garis benturan adalah antara para raja, kaisar, atau pangeran. Yang diperebutkan adalah perluasan birokrasi, tentara, merkantilisme, dan daerah kekuasaan. Dalam proses ini, ide "negara bangsa" sebagai bentuk negara modern mulai terbentuk, dan resmi dilahirkan ketika Revolusi Prancis pecah dan garis benturan beralih dari batas wilayah pangeran ke batas negara. Huntington pun mengutip R.R. Palmer, pemikir di abad ke-18: "Perang antarraja telah berakhir dan perang antarpenduduk dimulai." Berakhirnya Perang Dunia I yang diikuti dengan revolusi Rusia mengubah bentuk garis benturan ini dari batas negara menjadi batas ideologi. Semula antara komunismefasisme demokrasi liberal, belakangan tinggal antara komunisme dan demokrasi liberal. Kini, setelah Perang Dingin, Huntington meramalkan garis benturan itu berubah menjadi "benturan antarperadaban". Karena bergesernya garis benturan dari ideologi ke peradaban, pengelompokan negara dalam Perang Dingin ke dalam kelompok negara pertama, kedua, dan ketiga dianggap sudah usang. Pengelompokan berdasarkan bentuk politik, sistem ekonomi, ataupun pembangunan ekonominya dianggap tak lagi relevan. Pengelompokan berdasarkan budaya dan peradabanlah yang harus diperhitungkan. Besarnya peradaban itu sangat bervariasi, menyangkut penduduk yang sangat banyak seperti Cina ataupun sangat sedikit seperti Anglophone di Karibia. Peradaban itu dapat terdiri atas beberapa negara seperti Arab, atau hanya satu saja seperti Jepang. Peradaban Barat pun dianggap Huntington mempunyai dua varian, Eropa dan Amerika Utara. Islam dibedakan menjadi tiga: Arab, Turki, dan Melayu. Di mata pakar politik yang karyanya menjadi buku wajib di berbagai universitas di dunia ini, terdapat tujuh atau delapan peradaban yang akan memainkan peranan penting dalam arena internasional: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavik- Ortodoks, Amerika Latin, dan (mungkin) Afrika. Itulah peradaban yang diramalkannya bakal berbenturan. Ada lima alasan. menurut Huntington, mengapa benturan antarperadaban ini menjadi sumber sengketa di masa depan, yang bisa dahsyat. Pertama, adanya perbedaan pendapat tentang hubungan antara Tuhan dan manusia, perorangan dan kelompok, warga negara dan pemerintah, anak dan orang tua, suami dan istri dalam masing- masing peradaban. Termasuk juga perbedaan pandangan dalam mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban, kebebasan dan keteraturan, kesamaan dan hierarki. Kedua, meningkatnya interaksi antara umat manusia hingga mengesankan mengecilnya dunia. Ini dianggapnya memperkuat kesadaran tentang perbedaan antarperadaban dan kesamaan di dalam peradaban. Sebagai contoh, kehadiran imigran asal Afrika Utara melahirkan ketidaksukaan di kalangan penduduk Prancis. Sementara itu, pada saat yang sama, kehadiran imigran Polandia di negara yang sama disambut dengan tangan terbuka. Reaksi negatif terhadap investasi Jepang di AS juga menjadi contoh karena reaksi itu tak muncul terhadap investor dari Kanada atau Eropa. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial memisahkan masyarakat dari identitas lokalnya, bahkan juga melunturkan identitas negara. Di banyak negara, kevakuman ini diisi oleh agama yang acap berkonotasi "fundamentalis". Menurut Huntington, para "fundamentalis" ini umumnya muda, berpendidikan universitas, teknisi kelas menengah, profesional, atau wiraswastawan. Pernyataan George Weigel tentang "pengsekularisasian dunia adalah fakta sosial paling dominan dalam abad ke-21", dan "la revanche de Dieu" (kebangkitan agama) Gilles Kepel pun dikutip Huntington. Ini untuk memperkuat pendapatnya bahwa terjadi arus yang melampaui batas negara dan menyatukan "peradaban". Keempat, kesadaran peradaban ini meningkat sebagai reaksi atas keberadaan Barat di puncak kekuatan dunia. Lahirnya istilah "pengasiaan Jepang", "penghinduan India", "reislamisasi Timur Tengah", dan "rusianisasi" dianggapnya merupakan pernyataan keinginan untuk menyaingi Barat dengan cara non-Barat. Dan yang unik, ini masih kata Huntington, terjadi perubahan sikap elite dengan nonelite di non-Barat. Dulu elite dianggap pro Barat sedangkan nonelite masih terbenam dalam keasyikan tradisi peradabannya. Kini masyarakat luas semakin terpengaruh budaya Barat sementara elitenya justru mengalami "dewesternization". Alasan terakhir, meningkat pesatnya ekonomi regional. Di Eropa proporsi perdagangan interregional meningkat dari 51% (1980) menjadi 59% (1989). Pada periode yang sama, perdagangan regional di Asia Timur porsinya meningkat dari 33% menjadi 37%, dan di Amerika Utara dari 32% menjadi 36%. Suksesnya perekonomian regional ini dianggap akan merangsang kesadaran terhadap peradaban. Bahkan suksesnya ekonomi regional ini mungkin bergantung pada kesamaan peradaban. Walhasil, Huntington meramalkan benturan peradaban ini akan terjadi pada dua tingkatan. Pada tingkatan mikro, benturan di antara kelompok-kelompok sekitar garis pemisah peradaban, diramalkan acap dengan penuh kekerasan, untuk memperebutkan daerah teritorial dan kekuasaan. Pada tingkat makro, negara- negara dari setiap peradaban akan bersaing secara militer dan ekonomi, serta berebut pengaruh pada institusi internasional. Dan negara-negara itu akan mempromosikan nilai politik maupun agama masing-masing. Persaingan yang paling sengit, dan diramalkan Huntington akan segera terjadi, adalah antara Barat dan persekutuan Islam- Konfusius. Dasar utama ramalan ini, beberapa negara Islam (Iran, Pakistan, Libya) dan Konfusius (terutama RRC) dalam memperkuat persenjataan militernya termasuk nuklir, kimia, biologi, dan teknologi peluru kendali bekerja sama. Tentu saja, pendapat yang sangat kontroversial ini segera mengundang reaksi. Pakar studi Timur Tengah di Universitas Johns Hopkins, Fouad Ajami, meragukan validitas persekutuan Islam-Konfusius tersebut. "Ini hanyalah perdagangan oleh para penyelundup, yang memanfaatkan menyurutnya pemasok besar seperti AS, Rusia, dan Inggris," katanya dalam jurnal Foreign Affairs edisi berikutnya. Ia pun mengingatkan bagaimana perdagangan antara kaum Kristen dan Islam berjalan lancar meski dalam era perang agama di abad ke-16. Perang Teluk, koalisi antara Barat dan banyak negeri Islam melawan Irak, juga dijadikan contoh bagaimana pisau analisa "benturan peradaban" ala Huntington itu terasa majal. Liu Binyan, tokoh pembangkang intelektual terkemuka RRC, pun tak menyetujui pendapat Huntington. "Peradaban maupun budaya bukanlah sumber konflik di dunia baru," katanya di jurnal edisi yang sama. Dalam artikel "Pencangkokan Peradaban: Budaya Bukanlah Pulau", Binyan mengatakan tugas kebanyakan negara bukanlah "membentengi peradaban, melainkan mencampur dan menyatukannya". Dalam kasus Cina, komunisme adalah produk budaya Barat yang dicangkokkan ke budaya tradisional. Dan kini, setelah ajaran Mao terbukti semakin memiskinkan RRC, justru kapitalisme yang dicoba dicangkokkan. "Memperkaya kemanusiaan adalah tugas berat dan memerlukan waktu lama," kata Binyan. "Untuk itu diperlukan segala yang terbaik dari semua peradaban, dan bukan dengan menonjolkan perbedaannya." Jeane J. Kirkpatrick, pengajar di Universitas Georgetown yang pernah menjadi Duta Besar AS di PBB, nimbrung ke dalam paduan suara kritik ini. Pembantaian oleh Stalin, oleh Pol Pot, dan oleh Nazi adalah pembantaian paling keji dan justru terjadi di dalam peradaban yang sama. Juga ditunjukkannya bahwa pertentangan paling penting dan paling penuh kekerasan dengan Islam justru terjadi di antara kaum muslimin sendiri. Yaitu, "antara pribadi, kelompok, dan negara yang cukup moderat, antikekerasan dan antiekspansi melawan mereka yang antimodern, anti-Barat, dan sangat tidak toleran, penuh kekerasan serta bersemangat eskpansi," tulisnya. Terhadap semua kritik itu Huntington tenang-tenang saja. Ia mengutip Thomas Kuhn, "Agar paradigma baru diterima, dasar teorinya harus terlihat lebih baik daripada pesaingnya dan tak harus, bahkan tak akan pernah mampu, menjelaskan semua fakta yang ada." Semua kritik itu dianggapnya sebagai "anomali" dibandingkan sederetan fakta yang dikatakannya menunjukkan ketepatan paradigmanya. Fakta itu antara lain, runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia perang di antara negara bekas negara bagian anggota Soviet naiknya "fundamentalisme" dalam semua agama upaya negara Islam dan Konfusius memiliki nuklir menaiknya perlombaan senjata di Asia Timur simpati Rusia pada Serbia konfrontasi di konferensi hak asasi di Wina antara Barat dan negara Islam- Konfusius, dan lain-lain. Yang kini penting dipertanyakan adakah paradigma baru Huntington sudah menjadi fondasi intelektual di AS menggantikan konsep George Kenan. "Tidak," kata seorang pejabat tinggi AS. "Pandangan Huntington terlalu pesimistis karena di dunia ini sebenarnya terdapat cukup banyak kesamaan pandangan." Tapi diakuinya pendapat itu merangsang perdebatan intelektual yang bermutu. Tapi tampaknya perlombaan belum berakhir. Dan siapa tahu Huntington diam-diam menganggap dirinya seperti Malthus, ilmuwan yang meramalkan pertumbuhan penduduk bagaikan deret ukur dan pertambahan pangan mengikuti deret hitung. Malthus ternyata keliru, tapi bisa jadi ramalannyalah yang membuat dunia pagi-pagi mengadakan gerakan agar ramalan itu tak terwujud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini