GORDON TOBING TAHUN 1950, presiden pertama RI, Ir. Soekarno, terpukau melihat penampilan seorang penyanyi. Dengan suara tenor, pria itu mendendangkan lagu Batak Lisoi sembari memetik gitar. Sejak itu, penyanyi tadi, yang tak lain adalah Gordon Tobing, hampir selalu diundang mengisi acara kesenian di Istana. Belakangan, Gordon bersama grupnya, Impola, selalu serta dalam lawatan Bung Karno ke luar negeri. Gordon, anak Tapanuli, mendirikan grup vokal Impola, 34 tahun lalu. Nama Impola, yang artinya "inti paling istimewa", memang menjadikan grup ini istimewa pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Kelebihannya, selain suara Gordon dan kawan-kawannya yang apik, grup ini mengkhususkan pada lagu-lagu rakyat. Sing Sing So (Batak), Ayo Mama (Ambon), dan Kaparinyo (Minang) adalah lagu-lagu yang populer setelah didendangkan Impola. Lagu-lagu itu sempat masuk dapur rekaman. Yang paling berkesan dalam lawatannya ke luar negeri, menurut Gordon, adalah saat ia mendapat hadiah gitar dari Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser dan dari Presiden Kuba Fidel Castro. Selain itu, masyarakat Jepang juga menyambutnya dengan antusias. Ia bahkan diminta mengajar orang-orang Jepang menyanyi. Tahun 1989, Gordon mendapat anugerah bintang The Order of Sacred Treasure, Gold and Silver Rays dari pemerintah Jepang. Ia dianggap berjasa meningkatkan hubungan kerja sama Indonesia-Jepang. Sampai menjelang akhir hayatnya, Gordon, yang beroleh dua anak dari istrinya, Theresia Hutabarat dulu menjadi anggota grupnya masih aktif mengajar menyanyi di beberapa kelompok paduan suara. Ia meninggal dalam usia 67 tahun di rumahnya di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, 13 Januari, karena serangan jantung. MOHAMMAD NATSIR KETIKA Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil keputusan Konferensi Meja Bundar terbentuk tahun 1949, Bung Hatta meminta Mohammad Natsir menjadi Perdana Menteri RI. Namun, Natsir menolak karena ketika itu RI hanya merupakan salah satu negara bagian RIS. Natsir lebih memilih jabatan sebagai Ketua Fraksi Masyumi. Dengan jabatan itu, Natsir malah bergerak untuk mengembalikan Indonesia menjadi negara kesatuan RI. Dan ia memilih langkah yang konstitusional. Maka, ia pun sibuk mendekati semua fraksi dan mengajak membentuk kembali negara kesatuan. Puncaknya adalah pidato Natsir dalam Sidang Parlemen RIS tanggal 3 April 1950 dengan hasil Mosi Integral Natsir yang ditandatangani semua fraksi. Setelah berbagai proses, akhirnya Presiden Soekarno mengumumkan terbentuknya (kembali) negara kesatuan RI pada tanggal 15 Agustus 1950, yang diproklamasikan dua hari kemudian. Presiden Soekarno kemudian menunjuk Natsir sebagai perdana menteri, dan Natsir tidak menolak jabatan perdana menteri negara kesatuan RI. Natsir memang tokoh yang tak mau tawar-menawar dalam soal prinsip. Tahun 1951, misalnya, Belanda akan menyerahkan seluruh wilayah RI kecuali Irian Barat. Semua menteri setuju. Hanya Natsir yang menolak dan, sebagai konsekuensinya, ia memilih mundur dari kursi menteri penerangan. Lantas, ketika Bung Karno maju dengan Konsepsi Presiden akan mengubah struktur negara secara keseluruhan Natsir menganggap langkah itu melanggar konstitusi. Ia kemudian bergabung dengan PRRI walau dengan konsekuensi dijebloskan ke penjara. Keikutsertaannya sebagai penanda tangan Petisi 50, besar kemungkinan, juga lantaran sikapnya itu. Pada zaman pemerintahan Orde Baru, Natsir juga sempat diamankan. Namun, dari balik dinding Rumah Tahanan Militer di Jalan Keagungan, Jakarta, ia siap ketika diminta membantu Ali Murtopo menjalin kembali hubungan diplomatik dengan Malaysia. Ia segera menulis kepada Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman ketika Malaysia sedang berjuang melawan cengkeraman Inggris. Natsir juga berperan dalam mendatangkan bantuan dari negara-negara Arab. Sebagai salah satu pemimpin Rabithah Alam Islamy, yang ia jabat sampai akhir hayatnya, Natsir menulis surat kepada pemerintah Kuwait, yang akhirnya menyetujui penanaman modal di bidang perikanan laut. Minggu pagi, 7 Februari, Mohammad Natsir meninggal dunia dalam usia 84 tahun. Pada akhir hayatnya, Natsir tak hanya dikenal sebagai politikus dan negawaran, tapi juga sebagai ulama besar yang banyak dikenal dalam dunia Islam internasional. Ia adalah Wakil Ketua Kongres Muslim Sedunia serta anggota pimpinan Rabithah Alam Islamy dan Dewan Masjid Sedunia. Menjelang akhir hayatnya, Natsir tak henti-hentinya melontarkan resep panjang umurnya: memperbanyak ibadah. SOEPARDJO ROESTAM SEBUAH buku berjudul Langkah-Langkah Kecil Kardinah Soepardjo Roestam sempat dihadiahkan Soepardjo Roestam kepada istrinya. Pada hari ulang tahun istrinya itu, 4 April 1993, Soepardjo sedang berbaring di Rumah Sakit MMC Jakarta, dan ia minta seorang anaknya membacakan sajak gubahannya dalam buku itu: Cinta kita seperti langit tanpa tepi/ Tak sebatas ruang dan waktu/ Tak terucap dalam kata, tetapi manis terasa/ Ia selalu ada, sampai akhir hayat. Beberapa hari kemudian, tepatnya 11 April, Soepardjo mengembuskan napas terakhirnya. Soepardjo memulai karier militer dengan bergabung pada pasukan Peta, dan di awal kemerdekaan bertugas sebagai ajudan Panglima Besar Soedirman. Ketika Belanda merebut Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948, Bung Karno dan para menteri memutuskan menyerah. Namun, Jenderal Soedirman memutuskan agar militer tidak menyerah. Sebagai ajudan, Soepardjo ditugaskan menyampaikan pesan itu kepada anggota kabinet. Usai Perang Kemerdekaan, Soepardjo bertugas sebagai Sekretaris Atase Militer RIO di Belanda dan sempat menjadi salah seorang Deputi Asisten VI Menteri Panglima Angkatan Darat. Belakangan, karier militernya tidak menonjol, tapi di posisi sipil ia sempat menduduki jabatan yang strategis. Usai konfrontasi dengan Malaysia, misalnya, ia ditunjuk sebagai Duta Besar di Malaysia. Pulang dari Malaysia, Soepardjo menjadi Gubernur Jawa Tengah selama dua periode (19741982) dan berhasil mengantarkan Jawa Tengah meraih Paramsamya Purnakarya Nugraha. Agaknya, keberhasilan memimpin Jawa Tengahlah yang membuat Soepardjo naik ke kursi menteri dalam negeri (19831988). Salah satu tugasnya sebagai pembina politik adalah menunjuk Soerjadi menjadi Ketua Umum DPP PDI setelah Kongres PDI gagal menghasilkan pengurus baru. Namun, ketika Muktamar PPP dilanda kericuhan, Pemerintah tak campur tangan karena Soepardjo menilai PPP masih mampu mengatasi persoalannya setelah mendengar pendapat para tokoh PPP. Keramahan dan keterbukaan Soepardjo memang berhasil meredam situasi politik hingga terasa sejuk. IBU SUD KARYA-karyanya tak pernah mati kendati si pencipta wafat. Itulah takdir Ibu Sud alias Saridjah Bintang Soedibbio, yang meninggal pada usia 85 tahun, 27 Mei. Sampai kini, dan entah sampai kapan, anak-anak balita akan tetap gembira mendendangkan lagu Lihat Kebunku, Naik Delman, Hai Becak, atau Ketilang. Lagu dengan melodi dan lirik sederhana tapi kaya imajinasi itu hanyalah sedikit contoh dari karya Ibu Sud semasa hidupnya. Pelatih seni vokal Pranadjaja menganggap lagu-lagu Ibu Sud mampu mengasah jiwa. Lagunya tak terkesan menggurui meski sarat idealisme. Ketika di awal revolusi kemerdekaan bendera Merah Putih di muka gedung RRI Jakarta diturunkan penjajah Belanda, hati Ibu Sud meradang. Ia merenung sebentar, lantas menulis not balok pada selehai kertas. Lima belas menit kemudian, terciptalah lagu Berkibarlah Benderaku. Liriknya sangat menggugah: Siapa berani menurunkan engkau/ serentak rakyatku membela/ Sang merah putih yang perwira/ berkibarlah slama-lamanya. Ibu Sud, anak bungsu berdarah Bugis, mendapat keahlian seni suara dan main biola dari bapak angkatnya, Profesor J.F. Kramer, pensiunan jaksa tinggi zaman Belanda. Entah sudah berapa banyak karya yang lahir dari renungan Ibu Sud di sela kegiatannya mengajar dan membesarkan dua anaknya. Suaminya, Soedibbio, meninggal tahun 1954. Di hari tuanya, Ibu Sud tinggal di kawasan Cijantung, Jakarta Timur, dan menekuni pembuatan batik. Namun, sampai menjelang wafat, ia masih mencipta lagu, antara lain lagu untuk kampanye kebersihan, Pekan Olahraga Nasional, dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional. Sementara itu, buku seri menyanyi Ketilang, yang memuat karya-karyanya, terus dicetak ulang. Suatu kali, tahun 1986, Ibu Sud pernah menggugat Departemen P dan K karena menerbitkan lagu-lagunya tanpa izin. Barangkali, karena kepopulerannya sudah sedemikian rupa, orang menganggap lagu-lagu itu milik publik. Sampai kini, karya-karya Ibu Sud tertoreh sebagai tinta emas dalam sejarah lagu anak-anak. Entah kapan ada pencipta lagu yang bisa menggantikan perannya. BUT MUCHTAR BUT Muchtar adalah seniman, pendidik, dan administrator. Tahun 1950-an, ketika sebuah karya lukisnya mendapat hadiah, ia dipuji sebagai pelukis yang punya masa depan gemilang. Namun, ia rela melupakan perjalanan seninya sementara waktu untuk mengurus administrasi pendidikan di Seni Rupa ITB. Di bidang pendidikan, prestasinya antara lain menyusun konsep pendidikan seni terpadu ketika melebur Akademi Seni Rupa Indonesia, Akademi Seni Musik, dan Akademi Seni Tari semuanya di Yogya menjadi Institut Seni Indonesia. Sebagai seniman dan pendidik, But sepertinya tak pernah mengalami konflik. Ia terkenal pintar memotivasi mahasiswanya untuk melahirkan kreasi-kreasi besar walau itu justru membuat ia bisa disalip oleh seniman-seniman muda. Apalagi, setelah ia bertugas di ISI Yogyakarta, praktis But bisa dibilang sudah tidak berkarya. Maka, ketika pensiun tahun 1992, But berharap bisa berkreasi kembali. Namun, serangan darah tinggi menyerangnya. Sebelum meninggal, 30 Juni, pencipta patung Selamat Datang di halaman Gedung DPR/MPR RI ini masih sempat membuat sketsa cucu pertamanya dan memberi nama bagi cucunya itu. OSCAR SURJAATMADJA SEHARUSNYA Oscar sudah pensiun tahun 1990. Namun, ia tidak keberatan ketika masa pensiunnya diundur lagi untuk menyusun berbagai paket deregulasi di Departemen Keuangan. Salah satu deregulasi yang sempat ia selesaikan adalah paket deregulasi moneter bulan Februari 1992. Tapi, sebagai pekerja dan perokok berat, jantungnya rupanya mulai melemah sampai akhirnya ia meninggal dunia, 5 Juli. Oscar, lulusan Akuntansi Universitas Illinois, AS, memang terhitung sebagai salah seorang tokoh penting dalam kebijaksanaan keuangan Indonesia yang ikut merancang UU Perbankan, UU Perasuransian, dan UU Dana Pensiun. Memulai kariernya dari bawah, Oscar sepertinya sangat dibutuhkan membenahi kebijaksanaan moneter Indonesia lewat kursi Dirjen Moneter, yang ia jabat selama 14 tahun. Begitu ia pensiun, jabatan Dirjen Moneter segera dipecah menjadi dua. Lepas dari jabatan abadinya itu, Oscar masih ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Bursa Efek Jakarta (BEJ). Beberapa orang menganggap masuknya Oscar di BEJ sebagai campur tangan Pemerintah, padahal sebenarnya Oscar ikut berperan dalam pembentukan BEJ tahun 1991. Dan sebelum meninggal, ia sempat pula diminta duduk sebagai Presiden Komisaris PT Astra International. Kabarnya, pihak Toyota Motor di Jepang hanya percaya kepada Sumitro Djojohadikusumo yang mundur dari jabatan Preskom Astra dan Oscar saja sebagai penghubung di antara pemegang saham Astra. S. BAGYO PELAWAK S. Bagyo mulanya bercita-cita menjadi petani. Namun, ia ditakdirkan menjadi pelawak sampai akhir hayatnya. Pada 29 Juli, ketika lawakannya masih laku, Bagyo meninggal dunia akibat serangan kanker darah yang sudah mengganas di tubuhnya. Orang pun bertanya, apakah akan lahir pelawak serius lain sekalibernya. Bagi Bagyo, melawak memang bukan sekadar membanyol sembarangan, tapi membutuhkan teori untuk menganalisa penonton. Dengan pemahaman terhadap karakteristik penonton, pelawak bisa menyuguhkan adegan lucu yang sesuai. Jadi, melawak tak hanya sekadar jatuh terpeleset, memencongkon mulut dan hidung, ataupun berlagak idiot seperti yang banyak dijual oleh pelawak muda. Dan sejak mendapat bayaran seratus perak sampai jutaan rupiah, Bagyo sudah bertekad menciptakan dunia lawak yang halus dan serius. Itu adalah sebuah lawakan yang punya alur cerita sambil tetap membuka ruang gerak pada improvisasi individu. Lantas, Bagyo selalu berusaha menyampaikan pesan-pesan lewat lawakannya, tanpa dipaksakan dan tanpa harus mengorbankan lawakannya. Resep itulah yang tampaknya membuat Bagyo disenangi semua orang hingga ia tak pernah sepi dari tawaran manggung. Dan selama 40 tahun, Bagyo sengaja meninggalkan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada karena memilih jadi pelawak berhasil membuktikan bahwa profesi pelawak tidak berbeda dengan profesi lainnya. Itu jika melawak ditekuni dengan serius. NANNY LUBIS NANNY Lubis tak sempat melihat tarian yang ia persiapkan untuk upacara pembukaan PON XIII, September 1993. Sebulan sebelum tarian itu digelar di hadapan Presiden Soeharto, tepatnya 2 Agustus, Nanny meninggal dunia akibat serangan kanker yang menggerogoti paru-parunya. Kini, anaknya, Maya Tamara, meneruskan gagasan pendidikan senam dan balet di bawah Yayasan Namarina, yang didirikan Nanny pada tahun 1956 setelah ia belajar di Jepang, Jerman, dan London. Walau punya 1.500 murid balet dan senam, Nanny tak mau tunduk pada hukum komersial yang hanya menerima murid sebanyak- banyaknya. Ia tetap dikenal sebagai pengajar yang keras dan perfeksionis dengan menerapkan sistem yang ketat pada semua murid. Sepatu balet, misalnya, hanya boleh dipakai oleh murid yang sudah belajar selama empat tahun, untuk menghindari kerusakan tubuh di kemudian hari. Nanny juga mendirikan Namarina Dance Academy untuk murid-murid senior dengan kurikulum mengikuti Royal Academy of Dancing di London. Nanny berhasil membangun sistem pendidikan senam dan balet di Indonesia. NI RENENG LEGONG Kraton niscaya akan musnah jika tak ada Ni Reneng. Tarian klasik Bali itu tadinya terancam musnah karena berbagai tabu yang menyelimutinya. Sehingga, ketika Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar mencoba merekonstruksikannya pada tahun 1974, tak mudah ditemukan orang yang masih bisa menarikan Legong Kraton. Untunglah ada Ni Reneng, yang akhirnya berhasil mengingat kembali gerak-gerak tarian sakral itu. Tanggal 3 September, penari sederhana ini meninggal dengan tenang di desa kelahirannya, Kedaton, Denpasar. Ternyata Ni Reneng tak hanya meninggalkan Legong Kraton, tapi juga sebuah metode pengajaran tradisional tari Bali yang ternyata lebih baik daripada metode guru-guru tari sekarang ini. Di padepokan tari untuk anak-anak dan remaja yang ia miliki di Sanur, Ni Reneng mengajarkan gerak fisik dan batin sekaligus. Dan kekuatan batin pulalah yang membuat Ni Reneng masih mampu menari dalam keadaan lumpuh sekalipun. Itu terlihat ketika ia akan dishoot untuk film Bali Nocturne: Ni Reneng sebelumnya harus dibawa dengan tandu, tapi pada saat adegan dimulai, ia bangkit dan menari. LIBERTY MANIK BANYAK orang hafal lagu Satu Nusa Satu Bangsa, tapi hanya sedikit yang mengenal penciptanya, Liberty Manik. Manik memang bukan orang di atas pentas yang dielu-elukan orang banyak walau ia pengisi tetap siaran RRI Yogyakarta tahun 19451949 dengan menggesek biola sambil menyanyi. Pria kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara, ini rupanya lebih suka menyendiri, dan sampai akhir hayatnya, 16 September, ia hanya ditemani seorang pembantunya yang setia. Sebenarnya, Manik, yang memperoleh gelar doktor di bidang musik dari Freie Universitat di Berlin dengan predikat magna cum laude, lebih suka menimba ilmu musik daripada mencipta. Sebagai pencipta, ia hanya menghasilkan sepuluh lagu, termasuk Satu Nusa Satu Bangsa yang selalu ia bantah jika disebut lagu himne. Sebagai ilmuwan musik, Manik melalukan penelitian terhadap musik gondang Batak di Jerman dan membukukan hasil penelitiannya itu. Lantas, ia juga aktif mengajar di Institut Seni Indonesia maupun di Pascasarjana UGM, dan menjadi anggota konsorsium seni yang menyusun kurikulum seni di Indonesia. BASUKI ABDULLAH INI tragedi bagi pelukis Indonesia. Tanggal 5 November, pelukis potret terkemuka Basuki Abdullah meninggal dunia dibunuh seorang maling yang masuk rumahnya. Maling itu, dengan bantuan seorang tukang kebun di rumah Basuki, masuk ke kamar Basuki untuk mencuri koleksi arlojinya. Namun, Basuki terjaga dari tidurnya dan dihantam popor senapan angin yang tergantung di dinding kamarnya. Sebagai anak Pelukis Abdullah Surjasubroto, Basuki sudah akrab dengan lukisan sejak kanak-kanak. Ketika memasuki usia 18 tahun, ia merasa tidak mampu melanjutkan pendidikan HIS. Maka, ia pergi ke Parangtritis untuk bersemadi, memohon agar dituntun menjadi pelukis besar. Keesokan paginya, ia menerima surat tawaran untuk belajar melukis ke Belanda. Basuki sempat bergabung dengan Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia (Persagi), yang dipimpin Pelukis Sudjojono. Namun, berbeda dengan Sudjojono, Basuki memilih jalan menggambar objek- objeknya dengan glamor, tanpa mempertimbangkan watak objek. Hasilnya adalah lukisan-lukisan potret yang jauh lebih indah dari objek aslinya. Dan dengan pilihan itu, Basuki melanglang buana dari istana yang satu ke istana lainnya. Ia menjadi pelukis kesayangan Bung Karno, dan juga pelukis istana di Bangkok karena Raja Bhumibol terkesan melihat karya Basuki. Di Thailand pula ia bertemu dengan salah seorang juara kontes kecantikan Thailand, Nataya, yang belakangan ia nikahi. Kematian Basuki bisa disebut sebagai kematian "paling penting" di Indonesia pada tahun 1993. Sumbernya adalah pembagian warisan Basuki yang sampai saat ini masih belum jelas, sampai-sampai Menteri Negara Sekretaris Negara diminta bantuannya menyelesaikan pembagian warisan itu. IDA BAGUS TILEM KETIKA berusia 12 tahun, Tilem meminta ayahnya agar mau mengajarinya mematung. Namun, ayahnya, pematung terkenal Bali, Ida Bagus Nyana, yang sezaman dengan Tjokot, tak mau. Tilem akhirnya mencoba-coba memahat sendiri ketika ayahnya sedang di luar rumah. Walau pahanya berdarah kena pahat, ayahnya diam saja. Ia akhirnya bisa juga mengikuti jejak ayahnya, menjadi seorang pematung besar yang otodidak. Pengamat seni umumnya menempatkan Tilem sebagai pematung yang berhasil menciptakan karya dengan perpaduan yang pekat antara yang tradisional dan yang modern. Karya-karya Tilem adalah karya yang unik, dengan ekspresi-ekspresi yang surealistik. Di samping itu, Tilem juga terkenal sebagai pematung yang sangat menghargai bentuk alami dari sepotong kayu. Patung yang ia kerjakan sangat bergantung pada alur kayu sehingga dalam karya-karyanya sering ditemui bagian yang lapuk atau berlubang. Namun, kolektor patungnya tidak main-main. Hampir semua kepala negara yang pernah berkunjung ke Indonesia mengoleksi karya Tilem. Di Gedung PBB pun terpajang karyanya. Kini tinggal sekitar 20 karya Tilem yang tersisa, yang semuanya merupakan koleksi pribadi. Mungkin koleksi pribadi itu dimaksudkan untuk mengisi museum seni rupa yang ia cita-citakan di Desa Mas, Ubud. Cita- cita itu tidak pernah tercapai. Tanggal 20 November lalu, Tilem meninggal dunia setelah badannya lumpuh selama lima tahun akibat kencing manis yang ia derita sejak tahun 1972. DAVID ALBERT PERANSI DALAM khazanah seni, D.A. Peransi memulai kariernya sebagai penulis esai dan pelukis sudah ia geluti sejak berusia 14 tahun sedangkan di akhir hayatnya ia lebih dikenal sebagai sineas ulung. Ia bahkan sempat mendirikan Cinevisi, perusahaan yang khusus membuat film dokumenter. Namun, setelah klep jantungnya bocor, Peransi tak bisa lagi mencurahkan tenaga dan perhatian sepenuhnya pada Cinevisi. Setelah tiga bulan dirawat intensif, Peransi meninggal tanggal 25 November. Sebagai penulis dan pelukis, Bert begitu ia dipanggil tidak berkibar walau orang tetap menghargainya karena keterbukaannya terhadap pikiran orang lain. Hal itu tampak ketika terjadi perdebatan tentang bentuk Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) kini Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Waktu itu, sebagian pelukis ingin LPKJ menjadi pusat pendidikan akademis, sementara yang lain ngotot agar LPKJ menjadi sanggar tempat melukis bersama. Bert datang menengahi dengan keyakinan bahwa kedua keinginan itu bisa dikawinkan, dan semua orang ternyata bisa menerimanya. Dengan konsep Bert, pelukis tanpa latar belakang akademis seperti Nashar bisa menjadi pengajar di IKJ. Di dunia film, Peransi mulai dengan foto. Karyanya yang legendaris adalah foto yang merekam Bung Karno menghentikan pidato karena kehadiran seekor kucing putih. Keterlibatannya pada kamera makin dalam setelah ia mengikuti pendidikan di Nederlandse Film & TV Academie selama dua tahun. Sejak itu, bintangnya berkibar dan beberapa kali ia ditunjuk sebagai anggota tim juri festival film internasional. Ia pun punya belasan karya, seperti Boyolalar dan Asmara Kawanku, yang dibuat untuk televisi di Belanda, serta Transmigration Fort a Better Life, yang diputar di Konferensi Habitat di Vancouver, Kanada. Sampai akhir hayatnya, diperkirakan ada 14 film yang lahir dari tangan Peransi, baik sebagai penulis naskah maupun sutradara. Kepergian Peransi membuat dunia film Indonesia yang sedang lesu terasa makin kering. KIAI HAJI SYAHID MUHAMMAD ALHABSYI MENJELANG akhir tahun 1993, umat Islam kehilangan seorang ulama besar, Kiai Haji Syahid Muhammad Alhabsyi, yang meninggal dunia pada usia 78 tahun, 11 Desember. Almarhum adalah pemimpin pengajian Islamic Centre Indonesia (ICI) setiap Minggu pagi, yang selalu dihadiri ribuan jemaat. Sampai menjelang akhir hayatnya, almarhum masih menyempatkan diri hadir dalam pengajian yang ia pimpin. Almarhum dimakamkan di sisi makam ayahnya, di belakang tempat pengajian ICI, Jalan Kramat II Nomor 79, Jakarta. Di tempat itu jugalah pada tanggal 15 April 1915, K.H.S. Muhammad Alhabsyi lahir. Berbekal pendidikan dari ayahnya, Ali bin Abdurrahman, Alhabsyi menjadi guru di Unwanul Falah Jakarta pada tahun 1936 sampai tahun 1942. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Darul Ulum, Mekah, dan memimpin ICI, setelah ayahnya meninggal pada tahun 1968. Kepemimpinan di ICI itulah, antara lain, yang mengantarkan Alhabsyi sebagai anggota Rabithah Alam Islamy yang berpusat di Mekah dan juga salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia (1975-1980). TUTY SOEPRAPTO AKHIRNYA Tuty tak mampu lagi melawan serangan kanker kelenjar getah bening yang makin mengganas setahun terakhir ini. Rabu, 15 Desember, Tuty meninggal dunia pada usia 57 tahun, setelah hampir delapan bulan mampu bertahan dengan berbagai macam pengobatan dan lebih banyak berada dalam kondisi tidak sadar. Jenazah almarhumah dimakamkan di Batujajar, Cimahi, Jawa Barat. Almarhumah meningggalkan dua orang anak dan tiga cucu. Lahir di Bandung sebagai Tuty Romlah, almarhumah mengikuti pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia dan terjun ke dunia film sebagai pemain dalam Hanya Sepekan tahun 1955. Dari film pertama itu, Tuty makin aktif main film, antara lain Minah Gadis Dusun (1966), sampai mendirikan perusahaan film PT Tuty Jaya Film pada tahun 1971. Produksi pertama Tuty adalah Tiada Maaf Bagimu (1971), dengan peran utama Tuty sendiri. Salah satu produksi Tuty yang cukup banyak dibicarakan adalah Tante Sex (1976), yang ia bintangi sendiri dan diwarnai dengan adegan panas. GREGORIUS SUGIHARTO MENDENGAR ibunya sakit, Sugiharto, yang sedang menjalani pengobatan di Jepang, segera pulang ke Jakarta. Namun, setibanya di Jakarta, ia yang justru masuk rumah sakit. Setelah koma selama beberapa hari, Sugiharto meninggal dunia pada hari Senin, 20 Desember, karena penyakit kanker hati. Sugiharto adalah anggota DPR-GR yang aktif mendirikan Fraksi Karya Pembangunan dan memimpin fraksi itu sejak tahun 1968 hingga 1982. Karier politiknya dimulai setelah ia tamat dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga dengan bergabung ke dalam Sekber Golkar mewakili kelompok nelayan Pancasila. Walau makin aktif di Golkar dan dipilih sebagai Wakil Ketua DPP Golkar (1978-1983) serta anggota Dewan Pembina DPP Golkar (1983-1988), Sugiharto tetap tak melepaskan diri dari organisasi nelayan sebagai Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), sejak tahun 1972 sampai akhir hayatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini