SEORANG asing yang bekerja di Indonesia pada suatu hari pulang.
Tapi di hari terakhir ia sempat memberikan kesannya. "Saya
takjub melihat kuatnya rasa cemburu di masyarakat ini,"
bisiknya.
Cemburu?
Betul, jawab orang asing itu. "Di sini kalau ada tokoh bisnis
yang jadi kaya, ia pasti didesas-desuskan ada main. Kalau ada
penyair yang banyak dapat aplaus, segera ia dituduh tukang cari
publisitas. Kalau ada pemimpin yang lagi populer, langsung ia
dicurigai merancang politik. Kalau ada pejabat yang dipuji
bersih, pasti dibilang munafik . . .".
Betulkah bangsa kita bangsa yang sirik, menurut orang asing ini?
"Pohon yang tinggi di Indonesia bukan cuma terkena angin yang
paling besar, tapi juga pohon yang harus dikapak!"
Dahsyat.
"Orang di sini bilang mau maju tapi bagaimana? Mereka berpikir
dalam mentalitas gilda Eropa Abad Pertengahan. Gilda, suatu
terjemahan serampangan untuk guild, berarti persatuan usaha
sejenis. Ada gilda para pedagang, ada gilda tukang kayu, ada
gilda pandai besi, penjahit, dan lain-lain. Tak masuk ke dalam
persatuan ini berarti tak bisa bekerja. Tapi begitu masuk jadi
anggota gilda, orang harus tunduk kepada organisasi, termasuk
tunduk untuk tak boleh maju . . ."
Tak boleh maju? Tak boleb?
"Tahukah kamu, dalam gilda kuno itu persaingan sangat dibatasi?
Laba juga harus ditekan sampai ke batas yang diizinkan. Iklan
tentu saja dilarang. Dalam gilda bahan sandang di Florence abad
ke-14, misalnya, saudagar tak boleh mengundang seorang calon
pembeli masuk ke tokonya. Dia bahkan tak boleh memproses bahan
sandang yang diproduksikannya dengan cara lain. Memanfaatkan
kemajuan teknis, melebihi warga gilda yang lain, bisa dianggap
khianat. Semuanya diatur untuk ketertiban dan stabilitas. Nah,
bagaimana mau maju?"
Tapi itu 'kan suatu masa yang indah: tidak liberalistis, tidak
kapitalistis, penuh harmoni dan pemerataan?
"Pemerataan? Saya tak tahu apa yang kau maksud. Jika pemerataan
berarti menyamakan kekayaan yang diperoleh tiap-tiap orang, itu
bukan keadilan. Seorang yang bekerja keras dan punya manajemen
baik tentulah berhak memperoleh lebih banyak, ketimbang seorang
yang malas dan acak-acakan."
Lalu orang asing itu pun menambahkan, "Lucunya, di sini pun
orang yang bekerja keras dicemburui."
Orang asing itu memang keterlaluan!
Tapi barangkali ia tak salah. Atau adakah yang salah? Mungkin
rasa cemburu ada fungsinya. Ia telah jadi semacam kontrol sosial
yang diam. Amat tidak sehat, tapi efektif. Ia telah meratakan
jalan bagi semangat egalitarian, dengan cara yang pahit. Ia
telah secara tak kentara memaksa semangat bourgeois untuk
memakai kata-kata pemikir revolusi Prancis Rousseau -- menjadi
semangat citoyen: seorang yang mengejar kepentingan sendiri
didesak jadi warga yang mengabdi masyarakat.
Betapa pun, rasa cemburu, untuk jadi suatu daya penggerak
masyarakat, tidaklah mudah. Di Republik Rakyat Cina di bawah Mao
semangat bourgeois dibasmi, dan tiap individu harus citoyen.
Hasilnya bukan saja totalitarisanisme. Hasilnya juga suatu
jaring kekuasaan yang mengawasi dan mengatur perilaku -- di atas
manusia yang tak boleh bersendiri.
Sebab terlampau berbahaya bila semangat bourgeois-nya timbul
lagi. Sebab seperti dalam gilda kuno, si warga harus patuh. Ia
tak boleh tumbuh jadi bisnis besar. Big business adalah bahaya
bagi kemerdekaan.
Tapi yang merepotkan di zaman ini adalah kenyataan, bahwa untuk
melawan bisnis besar telah lahir birokrasi besar, yang
mengangkang. Sosialime dibangun, dan ternyata kehilangan
kerakyatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini