Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kini Ingleson bicara

Pendapat dari john ingleson, penulis buku "road to exile" tentang kebenaran isi surat-surat sukamiskin bung karno. menurut wangsa widjaja, tidak pernah ingleson mewawancarai bung hatta. (nas)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLEMIK mengenai "Surat-surat Sukamiskin" Bung Karno telah melibatkan banyak pihak. Namun pendapat dari John Ingleson, penulis buku Road to Exile yang pertama kali mengungkap adanya surat-surat tersebut, belum didengar. Pekan lalu pembantu TEMPO di Australia, Robin Osborne, menemuinya. Berikut ini laporannya. Tatkala John Ingleson tiba di Den Haag, Negeri Belanda pada Juni 1971 untuk meneliti Arsip Kolonial Pemerintah Hindia Belanda, para petugasnya memberitahu bahwa dia tidak diizinkan melihat berkas mengenai Soekarno. "Mereka mengatakan bahwa bagian itu tidak bisa dipublikasikan karena informasi di dalamnya mungkin merusak hubungan Belanda dan Indonesia," kata Ingleson pekan lalu. "Tampaknya mereka khawatir Belanda akan disalahkan karena mengkritik seorang pahlawan nasional," tambahnya. Menurut Ingleson, semula para petugas itu berusaha meyakinkan dia bahwa berkas mengenai hal itu tidak ada. "Waktu itu saya sedang meneliti mengenai gerakan Nasionalis pada akhir 1920-an sampai awal 1930-an, khususnya mengenai PNI dan Soekarno. Ketika saya menyebutkan nomor dari berkas yang "hilang" itu --klasifikasinya Laporan Rahasia Nomor 1933/127G -- para petugas itu akhirnya setuju. Waktu itu saya tidak tahu bahwa surat-surat itu ada," ujar Ingleson. Tidak Ragu Ingleson mengatakan, isi berkas mcngenai Soekarno itu adalah salinan ketikan dalam bahasa Belanda, disalin oleh kantor Pokrol Jenderal di Batavia dari tulisan Soekarno. Surat-surat yang asli? "Mungkin sekarang ada di Algemeene Secretariat Archief -- sekarang Arsip Nasional di Bogor," kata Ingleson. Menurut dia, arsip mengenai masalah ini mungkin belum pernah diutik-utik sejak Indonesia merdeka. Karena alasan administratif, para peneliti belum diizinkan untuk menyelidikinya. Berkasnya mungkin malah telah musnah semasa Perang Dunia II atau pada masa Revolusi Kemerdekaan. Ingleson sendiri tidak diperbolehkan untuk memfotokopi dokumen-dokumen yang ada di Den Haag itu. "Mereka hanya mengizinkan saya untuk menyalinnya dengan tangan," katanya. Buat Ingleson yang fasih berbahasa Belanda -- sekalipun memakan waktu, itu bukan menjadi persoalan. Ia kembali ke Den Haag pada 1972, menyelesaikan penelitinnya, dan kemudian mencapai gelar doktornya di Universitas Monash, Melbourne. Belakangan Ingleson tahu Bung Hatta juga telah membaca berkas tentang Soekarno itu. Ketika mereka kemudian berjumpa di Jakarta, Ingleson menanyakan pada bekas Wakil Presiden itu pendapatnya mengenai keaslian surat-surat tersebut. "Ia berkata bahwa dia sama sekali tidak meragukan kebenaran isi surat-surat tersebut," kata Ingleson. Keyakinan Ingleson akan kebenaran isi surat-surat tersebut diperkuat dengan adanya bukti lain: para pejabat di Batavia menulis catatan pada salinan yang dikirim ke Den Haag sebagai "benar dan sesuai dengan aslinya". Apa reaksi Ingleson tatkala membaca Surat-surat Sukamiskin tersebut? "Saya tahu sebagian orang akan berpendapat permintaan ampun itu hanya merupakan taktik agar Belanda membebaskan Soekarno. Tapi saya kira patah semangatnya Soekarno ini lebih merupakan pertanda kelemahan wataknya dalam menghadapi situasi demikian. Dia dipenjara dan tahu bahwa sekali itu dia akan diasingkan dari Jawa seumur hidupnya," katanya. Dalam percakapan Ingleson dengan Bung Hatta kemudian, Bung Hatta juga bercerita bahwa dia waktu itu juga tahu bahwa Bung Karno menulis surat semacam itu walau tidak tahu pasti isinya. Menurut Ingleson, Bung Hatta sependapat dengan dia: "Sangat menyedihkan bahwa Belanda berhasil mematahkan semangat Bung Karno." Sebagai seorang sejarawan, Ingleson mengakui, dia tidak ingin mengecam atau membela Soekarno. "Saya hanya melihat pada fakta," katanya. Ia juga menolak pendapat bahwa dia 'anti Soekarno' dengan dalih, sebagian besar golongan Nasionalis pada masa Soekarno-Hatta juga menerima kebenaran dokumen tersebut. Tidak disebutkannya siapa yang dimaksudnya. Menurut penelitian Ingleson, pihak Belanda sendiri sangat kaget bahwa Soekarno bisa bersikap demikian. "Mereka mengira dia tidak mungkin dipatahkan," katanya. Pendapatnya ini tampaknya disimpulkannya setelah membaca dokumen lain, termasuk proses verbal pemeriksaan terhadap Bung Karno. Toh kemudian Belanda memutuskan Soekarno tidak akan dibebaskan. Pada Februari 1934, disertai beberapa anggota keluarganya, Bung Karno diasingkan ke Endeh, Flores. Tidak Pernah Diinterpiu Ingleson telah berbicara. Berbeda dengan banyak sejarawan Indonesia yang tampaknya lebih berhati-hati, ia yakin betul akan kebenaran isi salinan dari Surat-surat Sukamiskin itu. Toh ada pertanyaan yang terasa masih menggantung Betulkah Bung Hatta juga meyakini keakuratan surat-surat tersebut? Yang lebih penting Betulkah surat-surat Bung Karno yang asli masih tersimpan di Arsip Nasional? Jawaban atas pertanyaan pertama tampaknya tidak mungkin bisa dipastikan karena Bung Hatta sudah tiada. Menjawab pertanyaan TEMPO, Sekretaris Pribadi Bung Hatta, Iding Wangsa Widjaja, mengatakan seingatnya Bung Hatta tidak pernah bercerita padanya tentang surat-surat tersebut. Bahkan Wangsa Widjaja, 70 tahun, tak mengetahui Bung Hatta pernah meminta pada Roeslan Abdulgani untuk mencarikan surat-surat bung Karno iru di Arsip Kolonial di Negeri Belanda. Tatkala Roeslan pergi ke Negeri Belanda pada 1972, Bung Hatta memang pernah memintanya untuk mencarikan arsip tentang pergerakan nasional sekitar tahun 1930-an. Berkas ketikan itu ditemukan Roeslan, diketik kembali dan kemudian diberikannya pada Bung Hatta setelah ia kembali ke Indonesia pada akhir 1972. Setelah membaca berkas itu menurut Roeslan "Bung Hatta hanya tertawa saja" (TEMPO, 21 Februari 1981). Hilang Dalam load to Exile, Ingleson antara lain mengutip penjelasan Bung Hatta berdasar wawancaranya pada 21 Juni 1972. Ini dibantah Wangsa Widjaja. "Saya telah memeriksa agenda Bung Hatta dan juga agenda saya sendiri. Tapi tidak ada Ingleson pernah menginterpiu Bung Hatta," tuturnya. Menurut dia, sejak 1964 Bung Hatta tidak bersedia diwawancarai wartawan atau sarjana asing. Mungkinkah Ingleson pernah berbicara dengan Bung Hatta? "Mungkin saja saya keliru. Setiap tahun Bung Hatta selalu menghadiri resepsi di Kedutaan Besar Australia. Saya tidak tahu apakah pada kesempatan itu Bung Hatta diinterpiu," ujar Wangsa. Sekretaris Pribadi yang sudah mengikuti Bung Hatta selama puluhan tahun ini yakin Bung Hatta tidak akan membicarakan mengenai Bung Karno, seandainya ia pernah diinterpiu. Alasannya: "Pernah saya tanya Bung Hatta, mengapa tidak menulis tenang Bung Karno dalam memoarnya, cerita Wangsa. "Bung Hatta menjawab 'Itu tidak perlu'. Jadi saya yakin Bung Hatta tidak akan membicarakan Bung Karno, apalagi pada orang asing." Sekarang pertanyaan kedua Betulkah Surat-surat Sukamiskin itu masih disimpan di Arsip Nasional? Surat-surat itu tidak ada lagi di sini. Juga di Depo yang ada di Jalan Juanda, Bogor," kata Machsudi Mangkudilaga, penjabat Kepala Pusat Konservasi Kearsipan Arsip Nasional pekan lalu. "Kami sudah mencarinya. Ketika ada ramai-ramai tentang surat-surat itu kembali kami mencarinya," ujar Machsudi pada wartawan TEMPO Saur Hutabarat. Kata Machsudi, menurut keterangan beberapa pegawai yang tua yang sekarang sudah pensiun atau meninggal, tatkala Jepang masuk banyak arsip di Bogor yang diambil atau dihilangkan. Arsip yang kini merupakan depo atau salah satu gudang Arsip Nasional di Taman Hindia Belanda dulu bernama Algemeene Secretarie, berada di Bogor karena Istana Gubernur Jenderal ada di situ. Sampai sekarang arsip yang tersimpan di depo ini tidak dipindah ke Jakarta karena gedung Arsip Nasional di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta tak cukup untuk menampungnya. Tanpa ditemukannya surat-surat Bung Karno yang asli, keraguan akan adanya surat-surat tersebut agaknya akan terus berlanjut. Namun yang pasti ialah setelah kembali dari pembuangan di Endeh, Bung Karno kembali melanjutkan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus