Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rasialisasi, Bu kan Rasisme

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ariel Heryanto Sosiolog, dosen di Universitas Nasional Singapura Dalam sebuah diskusi komunitas Indonesia di Melbourne, Australia, saya ditanya hal yang sudah sering dibahas di Tanah Air, yakni mengapa selama masa jayanya rezim Orde Baru warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak menonjol dalam politik formal negara. Menjawab pertanyaan itu tidak susah karena sudah banyak sarjana ekonomi-politik yang memberikan jawaban bagus. Tetapi saya lebih bergairah menggugat munculnya pertanyaan semacam itu dengan meminjam kepintaran para cendekiawan kajian budaya. Sebuah jawaban baku untuk pertanyaan itu kira-kira begini. Orde Baru merampas hak berpolitik kaum Tionghoa. Seperti halnya rezim itu juga menindas hak berpolitik penduduk di desa-desa, kaum buruh di kota, mereka yang berafiliasi pada PKI, atau aktivis Islam sebelum tahun 1990. Strategi ekonomi politik Orde Baru menjiplak strategi kolonial Belanda: menindas mayoritas dengan militerisme dan menggunakan ras minoritas untuk mengembangkan ekonomi setelah potensi politik minoritas ini disunat agar kasnya dapat terus-menerus diperas. Jawaban baku itu masih tepat dan sah. Tetapi lama-kelamaan terasa kurang memuaskan karena kurang lengkap. Perlu ditambahkan beberapa fakta lain. Pertama, kita tidak cukup tahu bagaimana politik informal dikerjakan oleh para cukong dari semua ras, termasuk Tionghoa. Apakah taipan semacam Liem Sioe Liong tidak ikut aktif berpolitik di belakang layar Orde Baru? Kedua, biar tidak berpolitik formal kenegaraan, politik non-formal dan mikro dikerjakan terus-menerus oleh para aktivis LSM, kesenian, dan kebudayaan dari semua ras, termasuk Tionghoa. Ketiga, kebanyakan orang pada dasarnya tak suka berpolitik secara frontal, formal, dan institusional kenegaraan. Ini bukan ciri satu golongan berdasarkan suku, ras, agama, atau jenis kelamin. Walau semua orang terkena dampak keputusan politik negara, kebanyakan lebih suka pasif, pasrah, atau menjadi parasit dari perjuangan sedikit orang lain. Berpolitik butuh banyak modal, risikonya berat, dan meletihkan. Ini sebuah kemewahan bagi kebanyakan orang. Kalau ada badai massa rakyat yang nekat menyerang tentara dan pejabat negara, biasanya mereka dalam keadaan sangat putus asa, terdesak, dan kehilangan kesabaran. Kemarahan itu biasanya mereda dalam waktu relatif singkat dan tidak menjelma menjadi sebuah kekuatan politik terlembaga. People power 1986 di Manila, contohnya. Juga demonstran kelas menengah bertelepon genggam tahun 1992 di Bangkok. Di Amerika Serikat banyak orang tak bergairah ikut pemilihan umum bukan karena mereka gandrung berpolitik golput. Para tokoh 100 partai politik pasca-Orde Baru dulu banyak yang apolitis. Dua atau tiga tahun lagi mereka mungkin kehilangan nafsu berpolitik. Yang aneh bukan "mengapa orang Tionghoa kurang berpolitik", tetapi mengapa pertanyaan seperti itu seakan-akan wajar dan pantas ditanyakan! Mengapa politik dan apolitisme dikait-kaitkan dengan ras? Dan hanya etnis Tionghoa yang dipersoalkan? Normalisasi pertanyaan itu sendiri yang harus dipertanyakan. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu adalah produk ideologi Orde Baru, yang diolah dari warisan kolonial, dan dapat disebut "rasialisasi", bukan "rasisme". Rasisme adalah serangkaian sikap, kecenderungan, pernyataan, dan tindakan mengunggulkan atau memusuhi kelompok masyarakat semata-mata atau terutama karena identitas ras. Dalam bentuknya yang kecil sehari-hari, rasisme tidak berbahaya. Ia muncul dalam banyolan yang mengejek ras tertentu atau grafiti di tembok WC. Ia mirip debu, nyamuk, atau lalat yang mengganggu, tetapi tidak membunuh, tidak membakari toko-toko, atau memerkosa perempuan di depan umum. Yang berbahaya adalah bila rasisme disponsori oleh kekuatan destruktif alat-alat negara dan dibantu preman yang direkrut negara. Rasialisasi adalah wawasan yang mempertanyakan, mencari jawaban, dan memaknai berbagai gejala sosial berdasarkan perbedaan rasial, tanpa perlu membenci atau mengunggulkan salah satu ras. Rasisme membuat jenjang atau perlawanan nilai baik/buruk. Rasialisasi tidak mempersoalkan penilaian, tetapi tetap mengotak-ngotakkan masyarakat menurut sebuah takhayul tentang jati diri ras. Rasialisasi menjadi ideologi dominan dalam politik-ekonomi Orde Baru. Ironisnya, ideologi ini sama-sama dihayati pejabat rezim Orde Baru maupun para korban dan pembangkang rezim itu. Berbagai laporan, tanggapan, dan komentar atas peristiwa kekerasan politik pada Mei 1998 memberikan ilustrasi betapa kuatnya rasialisasi dalam wawasan dan wacana mereka yang berlawanan pendapat tentang rasisme. Berikut ini dua contohnya. Pertama, kebanyakan orang menjuluki peristiwa Mei itu sebagai kerusuhan massa dari satu ras yang marah terhadap ras lain. Untuk memberikan rasionalitasnya dikutiplah mantra klise yang berbunyi: ada ras minoritas yang jumlahnya cuma 3 persen tapi menguasai 70 persen ekonomi nasional. Seakan-akan yang menyerang itu sebuah ras, seakan-akan alasannya kebencian rasisme. Cacat dalam pernyataan itu mirip cacat komentar di sebuah surat kabar Australia menyusul pembantaian di Santa Cruz (1991): mayoritas penduduk Timor Timur beragama Katolik, ABRI datang dari negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Yang bermasalah bukan hitungan statistiknya, tetapi mengaitkan dua hal yang tidak berhubungan. Berbagai laporan independen meyakinkan saya bahwa peristiwa Mei itu pada intinya bukan "kerusuhan" (riots) tetapi pogrom atau pembantaian. Bedanya? Kerusuhan adalah gerakan spontan rakyat sipil dari bawah (bottom up). Pogrom adalah operasi terorganisasi dari atas ke bawah (top down). Di sini yang relevan adalah perbedaan faktor negara militeristis/premanisme versus masyarakat sipil, bukan ketegangan antar-ras. Tapi rasialisasi sengaja diikutcampurkan: pogrom itu dilaksanakan dengan memakai baju rasial. Dengan demikian sponsor utamanya bersembunyi di balik sebuah label ras, dan ras itu dijadikan kambing hitamnya, seperti kain hitam para pembunuh bayaran yang dijuluki ninja. Contoh kedua berbentuk surat terbuka di media massa. Penulisnya menyatakan keprihatinan dan simpati kepada para korban pemerkosaan pada Mei 1998. Ia tidak melihat pemerkosaan sebagai kejahatan dari satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin lain. Dengan mengatasnamakan sebuah kelompok ras yang disebutnya "pribumi", ia menyatakan rasa malu dan meminta maaf kepada para korban dan "saudara-saudara kita yang nonpribumi". Lo? Mengapa tidak mengajak para "lelaki" untuk menyatakan "kami" meminta maaf kepada kaum "perempuan"? Si penulis surat itu tidak rasis tetapi termakan ideologi rasialisasi. Tanpa malu rasisme bisa membuat orang menolak jika orang dari ras lain menjadi kepala negara. Tapi rasialisasi bisa bersikap lebih manis. Rasialisasi membuat banyak orang Indonesia dari berbagai ras merindukan hadirnya orang Tionghoa dalam kabinet negara. Jelas ini merupakan reaksi balik terhadap rasialisasi politik-ekonomi Orde Baru. Tapi kerinduan itu sendiri juga produk lain dari rasialisasi rezim yang sama. Penjelasannya begini. Kabinet negara dibayangkan mirip sebuah kebun binatang. Harus ada berbagai spesies untuk setiap kandang. Atau mirip barisan Bineka Tunggal Ika dalam arak-arakan Tujuh Belasan. Atau etalase politik rasial Orde Baru yang dinamakan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Bedanya, selama ini arak-arakan Bineka Tunggal Ika dan TMII tidak memberi tempat bagi warga negara Indonesia berorientasi budaya Arab, Tiongkok, Belanda, atau India. Sesudah Soeharto minggir (belum turun, apalagi ambruk!), banyak yang ingin melengkapi kekurangan itu. Logika dasarnya disempurnakan, bukan digugat. Saran saya: orang tak usah dihalangi untuk menjadi presiden, sopir, atau pedagang karena ras, agama, atau jenis kelaminnya. Tetapi juga tak usah didorong-dorong untuk berprofesi tertentu karena alasan yang sama. Bisa dipahami jika Kwik Kian Gie menolak ajakan untuk masuk ke dalam Kabinet Habibie. Bukan hanya karena kabinet itu berbau Orde Baru dan legitimasinya bermasalah, tetapi juga karena ajakan untuk Kwik itu berbau rasialisasi. Orang Indonesia sudah berupaya melawan rasisme, tapi masih perlu melawan rasialisasi. Agar kehidupan bernegara dapat dibedakan dari kebun binatang, Disneyland, atau Taman Mini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus