Taufik Abdullah
SEKALI, di hari kedua Lebaran, pada akhir tahun 1980-an, saya berkunjung ke rumah almarhum Mohammad Natsir. Berbincang-bincang santai di hari Lebaran, mengasyikkan juga. Tiba-tiba Pak Natsir berdiri sambil tersenyum. Ada tamu yang datang. Seraya mengulurkan tangan, tamu itu mengucapkan ''Selamat Lebaran". Masih berjabatan tangan, dengan senyum Pak Natsir berkata, ''Inilah Pak John Lie yang terkenal." (Kemudian saya tahu bahwa waktu itu ia telah bernama Yahya Daniel Dharma).
Ia dan kawannya duduk dan segera menjadi pusat perhatian. Ia lebih banyak berbicara tentang keharmonisan hubungan antaragama. ''Banyak orang yang salah pengertian tentang konsep Trinitas. Mereka mengira bahwa Kristen mengakui tiga tuhan." Dan dengan gaya militer, tegas dan ringkas ia menerangkan konsep Trinitas. Tiba-tiba saja, entah apa sebabnya, dengan serius ia menoleh ke Pak Natsir dan berkata, ''Mr. Natsir, you are a great man." Sementara itu ingatan saya melayang ke masa remaja.
Barangkali waktu itu saya masih di SD, di sebuah kota kecil, ketika pertama kali mendengar namanya. Kota kecil di tengah Pulau Sumatra ini sering berperan sebagai ''pusat distribusi" barang-barang smokel alias selundupan dari Singapura. Rupanya ia telah menjadi mitos di kalangan pedagang, yang disebut Belanda smokelaar. Sekian tahun kemudian wajahnya menghiasi sebuah majalah. Saya rasanya semakin kenal saja. Dialah John Lie, komandan sebuah kapal perang dalam operasi menumpas RMS.
Sekarang, setelah ia meninggal, saya merasa semakin kenal. Kebetulan saya sempat membaca Memoar Pejuang Indonesia seputar ''Zaman Singapura" 1945-1950. Hampir tak seorang pun dari pejuang yang menukilkan kenangan mereka yang tidak menyebut nama atau kisah tentang perwira ALRI, yang konon dikenal di kalangan militer Inggris di masa revolusi sebagai Man with the Gun and the Bible ini. Beberapa bab dari buku ini secara khusus berkisah tentang pengalaman penulisnya bersama John Lie mengarungi Selat Malaka, dengan speedboat, yang dinamai Outlaw, menyelundupkan karet dan hasil bumi lain dari Sumatra ke Singapura, dan membawa senjata waktu pulangnya.
Kisah John Lie tidak akan kita temukan dalam buku-buku sejarah Indonesia. Janganlah mengharapkan membaca pengalamannya dalam ''sejarah yang dikisahkan", meskipun pengalaman dan peranan itu riil dalam ''sejarah sebagai realitas". Keabsyahan dari ''sejarah yang dikisahkan" tentu saja terkait dengan pertanggungjawaban akademis dan etis, tetapi yang diceritakan itu adalah hasil pilihan. Tak semua peristiwa dipilih untuk dijadikan sebagai bagian dari ''sejarah". Pilihan, kata teori, tergantung tingkat relevance dan significance dari peristiwa itu. Dan kedua hal ini ditentukan oleh tujuan pengisahan. Jadi sebenarnya menulis sejarah berarti juga ingin menyampaikan sesuatu. ''Sejarah yang dikisahkan" adalah sebuah wacana, berita pikiran, tentang sesuatu. Peristiwa dan tokoh yang dikisahkan adalah hasil pilihan melalui kompetisi ideologis atau teoretis. Tapi bukankah kompetisi bisa saja dimenangkan karena adanya bantuan dari luar, dari kekuatan yang berada di luar sejarah? Maka ''sejarah yang dikisahkan" bisa saja merupakan representasi dari sistem hegemoni, sebuah sistem yang menentukan mana yang seharusnya diingat dan mana yang sebaiknya dilupakan saja.
Dapatlah dibayangkan bahwa semakin besar keinginan sistem kekuasaan untuk menguasai kesadaran ideologis dan normatif bangsa, semakin kuatlah penguasaan wacana itu dan semakin terlupakanlah apa yang secara ideologis ''harus dilupakan" dan sebaliknya. Janganlah heran kalau sekarang—setelah tiang utama sebuah ''negara serakah" yang bernama Orde Baru ditumbangkan—hal-hal yang ''terlupakan" ingin tampil keluar dan keabsahan yang ''teringat" dipertanyakan.
John Lie hanya sebuah nama dari zaman revolusi, sebuah zaman yang telah diperlakukan hanya sebagai pantulan nilai-nilai luhur, yang seakan-akan terlepas dari rangkaian peristiwa empiris. Betapa banyak nama yang terlupakan dari zaman ''demokrasi parlementer"—zaman yang dilihat sebagai penyimpangan dari ''kepribadian nasional" (kata Demokrasi Terpimpin) dan ''jati diri bangsa" (kata Orde Baru). Terlupakanlah bahwa tahun 1950-an adalah saat entusiasme dan harapan yang menyala-nyala akan masa depan bangsa tapi pada saat yang sama harus menghadapi realitas sosial politik dan ekonomi yang tidak ramah. Terlepas pula dari ingatan, betapa berbagai percobaan berani dilakukan di hampir semua lapangan. Ada kosmopolitanisme dalam kebudayaan yang seakan-akan merelatifkan batas-batas politik yang diperjuangkan dengan darah dan air mata. Nasionalisme ekonomi yang seakan-akan memperkenalkan diskriminasi, meskipun yang dikejar adalah peningkatan peranan pribumi dalam kegiatan ekonomi.
Dalam suasana inilah, sebagian tokoh non-pribumi terjun sepenuhnya ke dalam pergolakan politik yang ideologis. Muhammad Hasan yang mewakili PSII dan Dr. Ong Eng Die yang mewakili PNI dalam kabinet koalisi. Tan Po Goan yang anggota parlemen dari fraksi PSI. Dan sekian banyak tokoh dan kemungkinan lain. Kesemuanya terlupakan dalam struktur ingatan yang dikuasai ''negara yang serakah".
John Lie adalah sebuah contoh dari mereka yang tak merasa perlu mempersoalkan siapa dirinya. Ia hanya seorang patriot pejuang. Apa pun mungkin sebabnya, ia dan lain-lain berhasil terlepas dari kutukan sejarah dari zaman peralihan—ketika pemerintah Belanda, yang memberi tempat yang lebih tinggi bagi ''orang Timur asing" dari pribumi—harus angkat kaki. Apa pun sebabnya, mereka tetap memilih menjadi warga negara, meskipun diberi kesempatan memilih untuk menolak di akhir 1951. Keterlepasan ini juga dialami Yap Thiam Hien dan sekian banyak yang lain, meskipun sebuah tragedi berdarah harus dilalui, akibat G30S-PKI. Ketegaran mereka semakin kelihatan karena landasan ideologis ''jati diri bangsa", bukan saja secara konseptual meminggirkan golongan nonpribumi dalam kehidupan bangsa, tetapi juga menutup kemungkinan bagi ''orang asing", yang dibolehkan menjadi kaya, di negara Pancasila.
Mestikah diherankan, kalau sebuah disertasi doktor memperlihatkan bahwa Orde Baru, yang telah mengakhiri krisis tragedi berdarah Gestapu dan memberi keleluasaan ekonomi, ternyata menciptakan krisis identitas di kalangan para pengusaha muda nonpribumi? Jika dulu, di zaman kolonial, kemungkinan yang tersedia hanya menjadi ''nasionalis Tionghoa", ''nasionalis Indonesia", atau ''politis Indonesia, kultural Tionghoa", kini alternatif identifikasi diri telah semakin beragam, mulai dari jet set yang kosmopolitan sampai pada identitas lokal belaka.
Barangkali sirkel telah utuh tertutup. Di satu pihak sistem yang hegemonik telah secara konseptual meminggirkan nonpribumi, dan di pihak lain, golongan nonpribumi sibuk mencari landasan identitas yang lain. Maka, ketika angin puyuh krisis sosial-ekonomi bertiup keras, mestikah diherankan kalau saluran keresahan tak terlalu sulit untuk dicari?
Marginalisasi ideologis dan wacana hegemonik yang berasal dari keterpakuan pada ''kesatuan", yang mengingkari legitimasi pluralisme, tidak lagi dilanjutkan. Kebebasan relatif dalam kegiatan ekonomi hanyalah pertanda akan adanya kekuasaan dan sistem hukum. Kesediaan memberikan sebagian keuntungan mungkin hanyalah strategi untuk menjaga kestabilan sosial. Bukankah berbagai perusahaan PMA menjalankan hal ini juga? Tetapi keikutsertaan yang langsung dalam proses dan wacana politik adalah pertanda bahwa seseorang atau suatu golongan merupakan bagian dari kehidupan bangsa dan negara. Maka, pilihan apa lagi yang harus dibuat selain landasan integrasi sosial dan integrasi bangsa yang baru?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini