Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAGASAN untuk membatasi pemudik dari kota-kota besar, terutama Jakarta, hanya karena korban mudik selalu bertambah setiap tahun agaknya jadi pepesan kosong. Karena sebatas pepesan dan tidak pula ada isinya, lebih baik disingkirkan. Mudik sudah jadi budaya bangsa karena kegiatan ini bukan sekadar "pulang kampung", melainkan silaturahmi antarkeluarga pada hari yang penuh rahmat: Idul Fitri. Sungkem dan bermaaf-maafan antarkeluarga dan teman pada hari Lebaran dianggap sebagai puncak kesakralan dibandingkan dengan hari-hari lain.
Jumlah pemudik pun akan tetap diprediksi meningkat setiap tahun, karena kebijakan pemerintah yang belum memihak pada pedesaan. Kota tetap menjadi magnet, impian untuk memperÂbaiki nasib. Orang-orang desa ibarat semut, berbondong-bondong ke kota yang menyediakan banyak "gula", lalu mudik saat Lebaran. Tahun ini, pemudik yang memenuhi jalan raya di darat (belum dihitung di laut dan udara) mencapai sedikitnya 4 juta orang, sedangkan tahun lalu sekitar 3,7 juta.
Yang perlu digagas, bagaimana membuat program mudik yang aman. Gagasan itu harus tetap mempertimbangkan budaya pemudik yang sama sekali menyimpang dari perilaku semut—berjalan tertib beriringan dan tidak saling serobot. Jika kita saksikan jalan-jalan raya menjelang Lebaran, banyak kemacetan lantaran tidak tertibnya pemudik. Semuanya ingin cepat dan main serobot. Bintang kesemrawutan itu belakangan ini bukan lagi pengendara mobil pribadi, melainkan pemudik dengan sepeda motor. Dampaknya juga mengena pada pemudik motor itu sendiri, 70 persen kecelakaan lalu lintas yang meminta korban adalah golongan ini. Sampai H+3 Lebaran, sudah 641 nyawa melayang di jalanan. Memprihatinkan.
Sepeda motor adalah angkutan jarak pendek dan bukan kendaraan penumpang. Resminya begitu. Tapi pemudik motor nekat. Mereka genjot motornya sampai ratusan kilometer dengan "penumpang" yang sesak. Polisi memergoki sepeda motor mengangkut lima orang. Paling depan di atas tangki bensin duduk anak usia tujuh tahunan. Di belakang pengemudi ada lagi bocah lima tahunan. Paling belakang sang ibu menggendong anak usia dua tahunan, plus tas pakaian yang disangga kayu di ujung belakang. Apa yang dilakukan polisi? Hanya memberi pesan: "Hati-hati, kalau capek berhenti".
Sudah pasti polisi serba salah. Memberi surat tilang dan menghentikan perjalanan pemudik motor itu akan membuat beban untuk semuanya: pemudik kepergok di Indramayu dan tujuan mudiknya Brebes. Jarak yang sudah ditempuh dan akan ditempuh hampir sama. Seharusnya, pengawasan itu dilakukan oleh para polisi di awal keberangkatan pemudik. Dibutuhkan pengawasan ekstraketat karena pemudik bermotor tak punya "terminal" sebagaimana pemudik bus.
Kita tak boleh menyerah. Gagasan lumayan menarik datang dari Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono, yang akan mengkaji kemungkinan mengoptimalkan angkutan laut untuk mengangkut pemudik sepeda motor. Pada Lebaran lalu, KRI Banda Aceh dari Jakarta mengirim pemudik motor ke Semarang dan Surabaya. Saat balik pada akhir pekan lalu, kapal perang ini mengangkut 635 motor dan 1.486 penumpang dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, menuju Jakarta.
Nah, kalau lebih banyak lagi kapal perang yang "dipinjam" untuk mengangkut pemudik, mungkin ini salah satu cara mengurangi kecelakaan di jalan. Mudah-mudahan, pada hari yang fitri itu, TNI Angkatan Laut tidak sedang berperang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo