Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Realisme Seabad Teater Indonesia

6 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Radhar Panca Dahana
  • Pengamat pertunjukan teater

    "Aku tak hendak menciptakan dunia yang lebih baik dari yang Tuhan telah lakukan."

    (Georg Buechner)

    Dan terpanalah sang pastor. Kini Alving tahu, sahabat yang dihargai dan dihormatinya ternyata pemabuk, pemadat, kasar, dan kerap menyiksa istrinya. Lebih dari itu, sahabat penuh wibawa itu ternyata berpenyakit kotor, semacam sifilis, sehingga Oswald, anak kandungnya, harus mengalami kerusakan otak akibat itu. Apa yang menyakitkan sang pastor, semua petuah nilai atau bimbingan moral yang diberikannya pada keluarga Oswald selama ini ternyata melulu kosong, tak berarti.

    Drama Hantu-hantu yang dipentaskan Teater Makassar, dalam Pekan Panggung Teater Realis Indonesia, di Taman Ismail Marzuki, 26 November hingga 2 Desember 2004 itu, ditulis oleh Henrik Ibsen, nama yang dianggap sebagai pencetus realisme di Eropa. Bersama karyanya itu, ia menolak kecenderungan idealistik dari romantisme dan neoklasisisme Eropa di pertengahan abad ke-19. Karya dramawan Norwegia itu memang mengejutkan masyarakat Eropa, yang sebenarnya tengah bermimpi tentang realitas ideal yang ilusif, setelah abad-abad terakhir dihantui oleh berbagai skandal dan kekerasan, baik yang dilakukan negara maupun gereja.

    Entah karena gagasan dasar itukah, atau alasan kejenuhan menghadapi bentuk-bentuk pertunjukan teater mutakhir kita yang didominasi oleh simbol-simbol yang tidak kukuh bahkan cenderung "digelapkan", Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan pekan yang diikuti tujuh kelompok teater pilihan dari lima kota ini. "Kita tahu apa itu realisme, tetapi kita tidak pernah dengan rinci dan luas membicarakannya," tulis Harris Priade Bah, Ketua Komisi Teater DKJ, dalam katalog pengantar acara.

    Barangkali di situ persoalannya: adakah "kita tahu apa itu realisme"? Hampir semua pembicara dalam diskusi pertama tentang genre teater yang mengilhami banyak gerakan seni sepanjang abad ke-20 itu menegaskan kerancuan pemahaman di kalangan teaterawan kita tentang realisme. Putu Wijaya melihat realisme di Indonesia datang sebagai penumpang asing yang langsung main kayu, dikontaminasi dan mempengaruhi tradisi teater yang ada. Bahkan Goenawan Mohamad mempertanyakan realisme, karena pada saat ia merasa berhasil mengungkap dirinya, ia justru gagal karena percakapan yang tak pernah selesai.

    Maka pandang dan nikmatilah pertunjukan-pertunjukan yang senantiasa dipadati penonton itu. Bahkan sutradara STB, yang membuka pekan ini dengan Nyanyian Angsa Anton Chekov, membuka panggung dengan pendekatan yang lebih simbolik, notabene nonrealis. Dan aktor kawakan macam Sis Triadji masih tergelincir memainkan tubuh aktor tua 68 tahun: ringkih, terbungkuk, dan gemetar di awal pertunjukan; tapi tegar, lantang, sigap dan kuat dari pertengahan hingga akhir pertunjukan.

    Atau drama Polisi Slawomir Mrozek yang dimainkan oleh Teater Aristokrat Jakarta, bukan hanya gagal menghadirkan konflik dan kegetiran antara ideal-ideal dan kenyataan kepolisian, pertunjukan itu terlihat justru bernafsu besar menghadirkan kelucuan. Bukan komedi Aristotelian, atau yang lahir dari situasi (sitcom), tapi melulu dagelan yang setiap waktu tersosialisasi oleh hyper-slapstick di stasiun-stasiun televisi. Rasa getir muncul justru ketika mengetahui pertunjukan itu melihat pesan "moral" dalam realisme sebagai banalitas warung pinggir jalan.

    Selebihnya adalah pertunjukan yang terperangkap oleh verbalisme lakon-lakon Barat (entah kenapa DKJ memilih dan menentukan lakon-lakon tersebut), yang memang menjadi salah satu kekuatan realisme. Permainan pun cenderung monoton bahkan terlunta-lunta. Bayangkan, Teater Gapit Solo, dengan Mainan Gelas-nya Tennese Williams. Mereka gugup dan gagap dalam verbalisme bahasa Indonesia karena ia harus menekan verbalisme Jawa yang selama ini begitu sukses menghadirkan "realisme" teater kita sesungguhnya. Atau Teater 108 Bali yang dengan inosensnya membuat beberapa penonton sakit perut, sakit kepala atau mual-mual karena harus menanti empat setengah jam hingga Matinya Pedagang Keliling-nya Arthur Miller seusai tengah malam.

    Catatan khusus perlu diberikan pada Teater Gidag-Gidig dan Teater Populer, masing-masing dengan Dag Did Dug Putu Wijaya, dan Pakaian dan Kepalsuan Averchenko. Selain tampak menguasai panggung dan realisme dalam pemahaman standar, Hanindawan dan Slamet Rahardjo sebagai sutradara berhasil menempatkan teks dalam konteks. Sehingga pertunjukan mendapatkan relasi obyektifnya dengan penonton, satu hal yang memang vital dalam realisme. Permainan yang rileks, aktor dan aktris yang kuat, ritme dan tempo yang terjaga, serta artikulasi yang cerdik dan jenaka membuat keduanya memikat penonton hingga akhir pertunjukan.

    Bisa jadi memang itu yang harus dilakukan. Realisme yang berakar pada sejarah rasionalisme Barat dan masyarakat abad ke-19, yang melihat realita sebagai ilusi, membuat lakon-lakon terpilih dalam pekan ini memang jadi tidak bersuara di telinga penonton muda abad ke-21. Barangkali untuk membuat drama-drama itu bunyi, setidaknya kita harus menemukan ilusi lain dalam hidup kita saat ini. Menemukan kesenian sebagai "sebuah representasi, bukan sebuah ilusi," kata George Henry Lewes, tokoh yang dianggap pengawal realisme di Inggris, sebelum George Bernard Shaw membawa Ibsen ke negeri itu.

    Lewes adalah seorang yang gelisah, ketika hidup tak lagi dihidupkan oleh karakter yang kuat, tapi oleh hal yang diidealisir dengan satu vulgarisme. Sebuah kegelisahan yang juga diafirmasi Georg Buechner, perintis realisme Jerman, yang meminta dramawan menempatkan dirinya dalam kekinian, menemukan karakter bukan sekadar polanya. Sehingga seorang dramawan, katanya saat membela karya terbaiknya Dantons Tod, "dapat mere-kreasi sejarah yang lebih langsung dan hidup, lebih dari yang dilakukan para sejarawan". Tak ada gunanya hidup diidealisir. Tak ada guna menjadi Tuhan.

    Gagasan itulah yang sebelumnya dihidupkan oleh teoritikus teater Prancis, Eugene Scribe, saat ia menolak melodrama dan drama neoklasik, untuk melahirkan teater yang ditata rapi untuk merepresentasi realitas sesungguhnya. Sebuah drama yang diharapkan selesai, une piece bien faite alias well made play, yang setengah abad kemudian mengilhami realisme Ibsen dan lainnya. Kehendak mendekati kenyataan faktual, menyatukan emosi dengan publik, merepresentasi secara kritis masyarakat kontemporer itu, dan sekaligus tampaknya mengilhami dramawan-dramawan Indonesia ketika membawa teater Barat ke negeri ini.

    Dalam catatan Bakdi Soemanto, F. Wiggers adalah orang pertama yang membawa ide itu ke Indonesia, ketika ia menulis Lelakon Raden Beij Soerio Retno pada 1901. Catatan lain menunjukkan waktu yang lebih dulu, saat penulis peranakan Kwe Tek Hoay menerbitkan dramanya, Allah yang Palsoe. Kedua naskah realis ini tampaknya menjadi pilihan pendekatan utama saat Usmar Ismail mengubah grup tonil miliknya, Maya, dan mendirikan ATNI bersama Asrul Sani pada 1950-an.

    Realisme di Indonesia pun bergulir dengan kuat menjadi bahasa teatrikal utama Indonesia modern. Hampir semua dramawan perintis di negeri ini bersentuhan dengan realisme di masa awal kreatifnya. Mulai dari Wahyu Sihombing, Djajakusuma, Pramana Pmd., hingga berpuncak pada Teguh Karya dan dilanjutkan dengan konsisten oleh Riantiarno dan Slamet Rahardjo. Gerak besar eksponen ATNI ini juga diikuti dengan didirikannya Asdrafi di Yogya. Betapapun banyak usaha eksperimental dilakukan dari Yogya, pelakunya seperti Umar Kayam, Rendra, hingga teaterawan seperti Putu Wijaya atau Arifin C. Noer yang hijrah dari desa asal ke kota budaya itu, mengawali proses kreatifnya dengan drama-drama realis.

    Kita pun harus menyebut penulis lakon awal di republik ini, mulai Utuy Tatang Sontani hingga Kirdjomulyo, B. Sularto, bahkan Rahman Arge di Makassar juga menulis dalam genre teater yang sama. Realisme tampaknya menjadi pilihan artistik bagi dunia yang sedang bergolak di republik muda kita. Benny Johannes menyebut diksi dramatik bahasa Indonesia menjadi penanda utama realisme di negeri yang tengah dipadati nasionalisme ini.

    Namun ternyata perjalanan itu tidak terhindar dari persoalan. Pilihan teater realis yang sejak awal menggunakan bahasa Melayu dan Indonesia di kemudian hari—bukan bahasa lokal—juga kecenderungan kuat pada dunia rasional dan intelektualisme, ditambah kandungan kritik yang kuat di dalamnya, membuat bentuk pertunjukan ini sejak awalnya hanya dapat diapresiasi golongan tertentu. Ia jadi elitis, bahkan sebagian mengatakan ia teralienasi dari masyarakat yang justru hendak diwakilinya.

    Jika kemudian pertunjukan-pertunjukan di Pekan Realis Teater Indonesia terlihat centang-perenang, mungkin bukan melulu karena ia memendam luka sejarah yang alienatif itu. Tapi juga karena kegagalan teater kita memahami dengan baik misi dan pikiran dasar yang melatari gerakan kebudayaan Barat ini, hingga ia pun tergelincir menemukan publik sejatinya di rumah sendiri. Apakah ini bentuk kemalasan berpikir, atau langkanya wacana intelektual di kalangan pekerja teater kita belakangan ini? Jawabnya mungkin sebuah fakta: ketimbang di masa sebelumnya, teaterawan masa kini sedikit sekali yang memiliki kapasitas sebagai penulis atau intelektual yang teruji.

    Bahwa fakta itu diperlihatkan dengan usaha mereka menyembunyikan inkapasitas itu melalui permainan simbol-simbol yang gelap dan rapuh, maka pekan teater DKJ kali ini, betapapun mengecewakan dari segi artistik, dapat menjadi terapi ringan bagi komunitas teater kita untuk koreksi diri dan bekerja lebih keras. Betapapun kualitas pekan teater ini mungkin jadi promosi yang kurang menguntungkan untuk mengangkat posisi tawar teater kita di depan stakeholder-nya, realisme mengingatkan kita dengan tegas: sejarah kesenian ini ternyata sudah berusia seabad lebih.

    Mungkin tak ada yang cukup pantas dibicarakan tentang peran teater dalam perjalanan bangsa ini, namun usia yang cukup panjang itu perlu kita perhatikan untuk menyadari bahwa keberadaan itu harus diakui bukan satu hal yang sia-sia. Seratus tahun adalah modal sejarah dan modal budaya yang pantas dimanfaatkan untuk menempatkan teater dalam posisi kultural yang lebih baik. Biarpun dengan getir, realitas dari realisme ini tampaknya layak untuk kita peringati.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus