Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana tentang judicial corruption sudah begitu banyak dilakukan di berbagai seminar dan media. Dari situ kita bisa meraba titik-titik rawan korupsi di tubuh pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan pengacara. Awan hitam sepertinya menyebar dari kepala mereka yang bergerak di bidang hukum sehingga rakyat merasa tak lagi punya harapan. Keadilan menjadi dagangan, bukan tujuan penegakan hukum. Tak aneh jika rakyat sinis melihat para penegak hukum. Profesi hukum menjadi profesi yang tidak mulia, padahal selalu didengungkan bahwa profesi hukum itu adalah suatu noble profession.
Sesungguhnya korupsi itu mewabah di mana-mana, bukan hanya di bidang hukum. Korupsi mahadahsyat terjadi dalam dunia politik sehingga Transparency International merasa perlu menerbitkan Laporan Korupsi Global 2004, yang pada intinya bicara tentang "political corruption". Peter Eigen, Ketua Transparency International, mengatakan bahwa "korupsi politik menghancurkan harapan negara-negara berkembang untuk mencapai kemakmuran dan stabilitasnya, dan merusak ekonomi secara global". Korupsi politik ini menyerap anggaran yang seyogianya dicadangkan untuk fasilitas pelayanan publik yang sangat penting bagi rakyat. Dirampoknya fasilitas pelayanan publik ini membuat rakyat putus asa sehingga lahirlah konflik dan kekerasan. Kriminalitas pun merajalela di kota maupun desa.
Contoh korupsi politik ini bisa kita temukan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Mantan presiden Soeharto adalah salah seorang yang dituding melakukan korupsi politik. Hanya kondisi sakit yang membuat tudingan ini tak pernah bisa dibuktikan. Padahal, jika proses peradilan bisa dilakukan, bukan mustahil kita akan dapat menguak banyak tabir rahasia yang bisa menjadi pembelajaran. Laporan majalah Time beberapa tahun lalu tentang apa yang disebut Soeharto Inc. adalah pintu masuk untuk memverifikasi tudingan itu. Sayang, pintu masuk itu tak dimasuki oleh jaksa dan hakim. Saya khawatir pintu masuk itu sudah tertutup rapat sekarang ini.
Di negara-negara lain, contoh korupsi politik ini begitu banyak. Presiden Mobutu Sese Seko dari Republik Demokratik Kongo selama 32 tahun pemerintahannya dituduh korup, termasuk mengambil dana bantuan luar negeri dari Bank Dunia. Di Nigeria, Jenderal Sani Abacha dituduh mengkorupsi miliaran dolar kekayaan negeri itu selama lima tahun masa pemerintahannya yang otoriter. Ketika Jenderal Sani Abacha terpental dari kursi kekuasaan, pertarungan hukum mengejar kekayaan Jenderal Sani Abacha berhasil mengambil kembali dana US$ 825 juta, sisanya raib entah ke mana. Lembaga-lembaga keuangan internasional di berbagai negara surga pajak tampaknya menjadi "sanctuary" uang-uang haram tersebut. Praktek korupsi politik ini kita temukan pula di Afrika Selatan, Zambia, Mesir, dan lainnya.
Di Asia sama saja. Sejarah mencatat bahwa Kakuei Tanaka ketika menjabat Perdana Menteri Jepang juga melakukan korupsi politik dalam skandal bisnis dengan Lockheed. Mantan presiden Marcos dituduh menjarah jutaan miliar dolar Amerika dari pundi-pundi rakyat. Mantan presiden Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo di Korea Selatan juga dituduh melakukan korupsi politik sampai akhirnya di-hukum oleh pengadilan. Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo hanya bisa bebas setelah mendapat pengampunan (clemency) dari Presiden Kim Yong-sam. Dalam skala kecil, korupsi politik ini terjadi pula di banyak daerah baik itu provinsi, kabupaten, maupun desa.
Kita di Indonesia lebih sering menggunakan istilah money politics ketimbang korupsi politik. Padahal keduanya sama dan sebangun. Orang lebih cepat mengerti arti dan implikasi money politics ketimbang korupsi politik. Karenanya, adalah hal yang amat biasa jika banyak aktivis, media dan intelektual, bicara atau menulis tentang fenomena money politics yang merampas fasilitas kepentingan umum, atau setidaknya menurunkan kuantitas dan kualitas fasilitas kepentingan umum. Bayangkan, bagaimana korupsi politik di tubuh lembaga perwakilan, misalnya, mengurangi jumlah proyek pelabuhan, jalan raya, air bersih, irigasi, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Kabar burung mengenai anggaran yang mesti tersedia untuk mengegolkan proyek di lembaga perwakilan akhirnya terbuka ketika banyak wakil rakyat kemudian "bernyanyi" di luar. Semua ini pada akhirnya mesti berimplikasi kepada penghitungan ulang anggaran fasilitas publik tersebut meski harus pula dicatat di sini bahwa pada tingkat pelaksanaan kebocoran masih akan terjadi, misalnya dalam berbagai pemotongan untuk pimpro dan mark-up untuk dibagi-bagi. Alhasil, kita hanya akan dapat proyek jalan raya yang tipis aspalnya, rumah sakit yang miskin peralatannya, sanitasi yang bocor di sana-sini, dan sebagainya.
Adanya korupsi politik ini hanya subur di negara-negara yang tidak demokratis. Kontrol publik yang kuat menghambat atau setidaknya mengurangi korupsi politik. Pendapat ini sebagian benar. Korupsi politik di Asia, misalnya, menunjukkan bahwa di negara raksasa demokrasi seperti India, misalnya, korupsi politik juga terjadi. Keluarga Gandhi disebut-sebut terlibat pelbagai korupsi politik. Negara-negara lain yang sedang getol berdemokrasi, seperti Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan Indonesia, misalnya, korupsi politik terjadi dalam banyak hal. Khusus di Indonesia, korupsi politik itu tampaknya malah mendapatkan lahan subur, tempat demokrasi tak berdaya menghentikan dan/atau mengurangi abuse of power dari para politisi. Ucapan mantan presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, bahwa "demokrasi tidak lagi dapat mentoleransi praktek-praktek suap, penipuan, dan ketidakjujuran" tak laku di negeri ini. Buktinya, korupsi politik itu seperti suatu keseharian yang wajar di pusat dan daerah. Korupsi politik sepertinya suatu praktek business as usual. Sangat ironis melihat demokrasi berjalan bergandengan tangan dengan korupsi politik.
Korupsi politik tampaknya bukan fenomena yang tak terlepas dari belum mapannya suatu sistem politik. Di Indonesia, berpolitik itu masih dilihat sebagai opportunity dalam artian luas, termasuk dalam kerangka ekonomi dan bisnis. Politik masih belum dilihat sebagai sesuatu yang mulia, tempat beban utamanya adalah bagaimana menyejahterakan rakyat banyak. Jadi, berpolitik itu adalah proyek investasi untuk menggapai berbagai proyek bisnis yang pada intinya adalah mengejar rate of return yang tinggi, atau paling tidak harus tercapai titik impas (break even point). Dalam konteks inilah kita melihat banyak orang yang menghabiskan hartanya, termasuk kalau perlu meminjam uang, untuk masuk ke dunia politik. Harapannya? Tak lain dan tak bukan agar investasinya itu membuahkan "profit".
Ironisnya, kita melihat bahwa di balik korupsi politik itu sudah ada politik korupsi dalam artian orang memutuskan untuk berpolitik dengan tujuan untuk melakukan korupsi politik nantinya. Inilah lingkaran setan yang tak pernah putus. Jangan heran jika kita melihat getolnya pemimpin partai politik berlomba-lomba memasukkan orang mereka dalam jajaran kabinet, gubernur, bupati, direksi BUMN, dan dirjen pada berbagai badan pemerintahan. Jadi, para menteri atau gubernur sudah dihadapkan kepada beban harus menggerus dana untuk partainya, dan tentunya untuk dirinya sendiri. Politik korupsi inilah yang masih melekat di sini sehingga kita melihat sistem presidensial yang kita anut dalam kehidupan ketatanegaraan kita belum bisa memberi presiden terpilih kesempatan untuk menggunakan hak prerogatifnya menentukan kabinetnya. Presiden terpilih tak dapat tidak harus mengalah pada tekanan partai politik yang mengancam akan mencabut dukungannya kalau tak diajak masuk kabinet. Sebaliknya, partai politik tak merasa nyaman sebagai oposisi karena oposisi tidak dilihat sebagai fungsi politik yang sama pentingnya dengan pemerintah. Konsep kekuatan penyeimbang baru berhenti pada batas ucapan.
Betapa tidak enaknya membayangkan politik Indonesia yang sudah begitu terkontaminasi oleh politik korupsi. Tapi, inilah realitasnya. Bagaimana kita mengatasi problema yang kronis ini? Terus terang saya skeptis dan tidak yakin bahwa pemerintah bisa berbuat banyak. Pada tingkat provinsi dan kabupaten, dengan anggaran belanja yang belum memadai, perang melawan korupsi seperti bisikan lirih. Akhirnya, sikap realistis yang unggul. Tidak mengherankan jika melihat anggota lembaga perwakilan daerah bersama-sama dengan pejabat tinggi daerah mengkapling pendapatan daerah melalui berbagai perda yang membuat high cost economy sekaligus membuat rusaknya kepastian hukum. Korupsi politik kecil-kecilan terjadi, dan kita tiba-tiba melihat banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, atau wali kota dituduh melakukan korupsi politik. Sebagian di antara mereka sudah berstatus tersangka, terdakwa, dan/atau terpidana.
Soal utama kita adalah korupsi politik besar-besaran di pusat, baik itu dalam menjelang pemilihan umum maupun setelah pemilihan umum. Lemahnya Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, dan Undang-Undang Pilpres telah membuat politik korupsi dan korupsi politik menjadi hal yang niscaya. Audit terhadap keuangan partai dan para calon presiden/wakil presiden tak mampu menguliti gelap-gulita keuangan partai dan para calon presiden/wakil presiden karena dasar hukumnya tak dibuat. Jangan heran jika "money politics" yang disebut sebagai "political costs" itu pada gilirannya harus dibayar kembali. Di sinilah penggerusan uang negara terjadi. Aneh? Sama sekali tidak. Hukum ekonomi paling elementer mengajarkan kepada kita bahwa modal yang ditanam harus mampu menghasilkan keuntungan.
Kita lihat politik bukanlah profesi di mana orang-orang yang sudah mapan merasa terpanggil "beyond the call of duty" untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Politik di negeri ini telah terpuruk menjadi proyek bisnis yang kalkulasi untung-ruginya dominan. Karenanya, lingkaran politik korupsi dan korupsi politik masih akan sangat lama bersama kita. Inilah lingkaran setan yang tak jelas di mana akhirnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo