Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA puluh tahun berlalu sejak Soeharto menyatakan lengser dari kekuasaan yang digenggamnya selama 32 tahun. Sejumlah indikator menunjukkan bahwa reformasi membawa Republik ke arah yang benar. Tapi perubahan itu juga melahirkan ironi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian dari "Enam Tuntutan Reformasi" yang disuarakan mahasiswa pada 1998 memang terwujud. Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi fondasi bagi sistem politik yang lebih demokratis. Selain masa jabatannya dibatasi, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Demikian pula dalam pemilihan kepala daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun pemilihan langsung ternyata menyedot biaya politik yang mahal. Liputan majalah ini beberapa waktu lalu menemukan seorang calon gubernur, misalnya, bisa menghabiskan dana ratusan miliar rupiah, yang digunakan untuk membayar saksi, berkampanye, dan memobilisasi tim pemenangan. Itu belum termasuk mahar untuk membayar "tiket" kepada partai pengusung.
Akibatnya, setelah terpilih, seorang kepala daerah cenderung sibuk mencari rente agar balik modal. Tengoklah statistik ini: sepanjang 2005-2018, sebanyak 348 pemimpin daerah serta ribuan anggota legislatif dan birokrat terjerat korupsi. Sebagian besar di antaranya digulung Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga yang lahir di era reformasi. Maka perlu dicari sistem pemilihan yang bisa lebih murah tanpa mengorbankan hak publik untuk menyalurkan aspirasinya.
Harus diakui, reformasi telah membuka jalan bagi pemerataan kesejahteraan. Desentralisasi memberikan kewenangan yang luas bagi daerah dalam mengelola keuangan. Ini yang tak terjadi pada masa pemerintahan sentralistis Orde Baru. Otonomi daerah telah mendorong terbentuknya pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jakarta atau Jawa.
Hanya, otonomi daerah juga melahirkan raja-raja kecil. Kepala daerah bersekongkol dengan pengusaha lokal untuk menguasai proyek-proyek pemerintah di daerah. Beberapa kepala daerah juga membentuk dinasti politik. Peralihan kekuasaan hanya berputar di sekitar keluarga mereka. Ekses ini perlu dihilangkan lewat aturan politik yang lebih adil dan pemberantasan korupsi di daerah-daerah.
Yang juga kita syukuri dari reformasi adalah jaminan kebebasan berpendapat. Media bisa berdiri tanpa izin pemerintah. Juga tanpa ancaman sensor dan bredel seperti dulu. Publik bebas mengkritik penguasa lewat berbagai saluran media. Tapi kebebasan ini juga memunculkan dampak buruk: suburnya berita palsu dan ujaran kebencian di media sosial.
Dua puluh tahun setelah reformasi dikumandangkan, ada juga yang tak terwujud: mengadili mantan presiden Soeharto dan menuntaskan kasus hak asasi manusia masa lalu. Soeharto meninggal tanpa pernah bisa dihadirkan ke persidangan. Sedangkan berkas-berkas kasus pelanggaran hak asasi, seperti peristiwa 1965, menumpuk di lemari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia karena selalu ditolak Kejaksaan Agung. Yang terakhir ini harus dituntaskan agar tak menjadi utang kita.
Reformasi adalah pekerjaan belum selesai-dan mungkin tak akan pernah selesai karena inovasi akan selalu lahir. Misalnya, kita angkat topi untuk KPK yang telah menyelamatkan uang negara dan menangkap koruptor, dari jenderal polisi, pemimpin lembaga tinggi negara, ketua umum partai politik, hingga keluarga presiden-suatu hal yang tak mungkin terjadi pada zaman Orde Baru. Tapi derasnya penangkapan oleh KPK juga menunjukkan ada pekerjaan yang belum tuntas.
Reformasi harus menyeluruh hingga ke partai politik, yang menjadi hulu korupsi politik. Ironi yang lahir dari reformasi menjadi pekerjaan tambahan yang harus dibereskan. Karena itu, reformasi perlu pembaruan semangat. Nyalanya tak boleh padam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo