Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BETAPAPUN dalam luka yang diakibatkan teror bom dalam dua pekan terakhir, peristiwa itu hendaknya ditanggapi dengan kepala dingin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ledakan di lima lokasi di Surabaya menewaskan 25 orang-13 di antaranya diduga pelaku: tiga pasang suami-istri dan enam anak mereka. Di Pekanbaru, lima orang bermobil menyerbu Markas Kepolisian Daerah Riau: menyerang petugas dengan senjata tajam dan menabrakkan oto mereka ke penjaga. Polisi menembak mati empat dari lima penyerang setelah seorang anggota kepolisian menjadi korban. Sebelumnya, narapidana teroris melawan petugas di Rumah Tahanan Salemba Cabang Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Lima penyidik polisi dan seorang perusuh tewas dalam drama 36 jam tersebut. Ketiga serangan terhubung pada kelompok yang sama, yakni Jamaah Ansharud Daulah, yang berafiliasi pada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak perlu diperdebatkan lagi: teror beruntun itu merupakan kejahatan luar biasa yang harus dihadapi dengan upaya luar biasa pula. Penggunaan perempuan dan anak-anak satu keluarga dalam aksi bom bunuh diri merupakan pola baru yang harus dihadapi dengan tegas tapi hati-hati.
Meski demikian, betapapun marahnya, kita seyogianya tak terjebak pada semangat membalas teror dengan teror. Kemarahan hendaknya tidak membuat kita gelap mata: memberikan cek kosong penanggulangan teror kepada aparat penegak hukum, termasuk dengan cara-cara yang melawan hak asasi manusia. Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang ingin menyingkirkan hak asasi manusia demi menjaga stabilitas selayaknya kita sesali.
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya memikirkan kembali rencana merevisi Undang-Undang Antiterorisme. Disahkan pada 2003, aturan itu merupakan respons terhadap teror bom Bali yang terjadi setahun sebelumnya. Meski undang-undang itu telah disahkan, teror tak surut. Pengeboman Kedutaan Besar Australia, Hotel Marriott, dan Hotel Ritz-Carlton di Jakarta merupakan sebagian contoh.
Alih-alih memperbaiki kinerja mereka, polisi menuntut perbaikan undang-undang agar ruang gerak mereka lebih luas. Undang-Undang Antiterorisme 2003 memang memberikan sejumlah batasan. Polisi, misalnya, tidak diizinkan mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang belum melakukan aksi teror-meski sudah ada indikasi kuat. Aparat hanya diizinkan menahan terduga teroris selama tujuh hari dan melepaskannya jika tidak ditemukan bukti. Sejumlah orang yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS dan kembali ke Indonesia, misalnya, tak bisa ditangkap jika tak melakukan pelanggaran hukum di Tanah Air. Dalam rancangan revisi Undang-Undang Antiterorisme, sejumlah "kelemahan" itu diperbaiki.
Namun benarkah aturan yang baru menjamin efektivitas pemberantasan terorisme? Pertanyaan lain: apa yang membuat aparat dalam tiga insiden terakhir tampak kewalahan-wewenang yang terbatas atau konsentrasi yang berada di titik nadir?
Tak perlu diragukan: Detasemen Khusus Antiteror Kepolisian RI merupakan pasukan elite yang mumpuni. Dibentuk tak lama setelah bom Bali, detasemen ini adalah pasukan dengan personel yang unggul dan peralatan yang canggih. Tapi, dalam insiden di Markas Komando Brimob, tampak jelas pasukan antiteror itu tak kuasa melawan amuk narapidana. Sejumlah kelalaian teknis terkuak: 155 narapidana yang umumnya pernah mengikuti latihan paramiliter hanya dijaga 13 polisi-kekuatan yang tentu saja tak seimbang.
Polisi hendaknya mawas diri. Ancaman teror bisa datang kapan saja dan karena itu, sebagai garda depan penjaga keamanan, mereka harus ekstrawaspada. Hindari penyalahgunaan wewenang, termasuk pemakaian kekuatan antiteror untuk kepentingan di luar urusan terorisme. Kepala Polri harus memastikan pasukannya berada dalam satu komando. Sudah lama terdengar desas-desus: fragmentasi di tubuh Polri membuat kinerja lembaga itu tak optimal.
Jika kelemahan-kelemahan itu diperbaiki, polisi praktis tak membutuhkan payung hukum baru. Undang-undang lama plus Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebetulnya bisa dipakai untuk memayungi mereka dalam menghadapi teror. Teroris yang memiliki senjata, misalnya, dapat dihukum dengan pasal pemilikan senjata gelap. Alumnus Suriah yang kembali bisa dikenai delik imigrasi. Pemantauan terhadap eks teroris dapat dilakukan tanpa revisi undang-undang.
Aturan baru itu juga berbahaya karena bersifat eksesif. Kebebasan berserikat dan berkumpul-yang dijamin konstitusi-dapat terabaikan. Alih-alih dilindungi, publik boleh jadi menghadapi dua ancaman sekaligus: teror kelompok radikal dan teror negara. Berkurangnya hak-hak sipil masyarakat, seperti disebut dua sarjana Barat, Alan B. Krueger dan Jitka Maleckova, pada gilirannya dapat memicu terorisme baru. Lingkaran setan itulah yang selayaknya kita hindari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo