PEMBANGUNAN Jangka Panjang Tahap (PJPT) II memberikan momentum yang tepat bagi suatu proses regenerasi dalam kepemimpinan nasional di Indonesia sekarang ini. Pencalonan Jenderal (purn.) Try Sutrisno sebagai wakil presiden dengan kriteria pasca-45 merupakan pertanda bahwa masyarakat politik kita telah menyadari perlunya proses regenerasi. Sudah barang tentu regenerasi hendaknya suatu proses alamiah dan konstitusional. Tetapi barangkali sudah lama dirasakan bahwa proses semacam itu ternyata sulit terjadi tanpa disertai sistem politik, tradisi politik, dan kultur politik yang mendukung. Dalam periode PJPT I, kita menyaksikan adanya sejumlah tokoh yang terus ''bercokol'' dalam pimpinan nasional. Sebelumnya, kita juga menyaksikan gejala yang sama. Mereka itu tetap berada di atas, sekalipun rezim politik telah berganti. Ini menimbulkan kesan, kita ini miskin pemimpin dan kekurangan kader pemimpin nasional. Ataukah kita ini menderita kemiskinan dalam kultur politik (poverty of political culture) kita? Dalam berbagai posisi, kita telah mengenal proses regenerasi yang teratur, misalnya dalam ABRI. Itulah sebabnya kita selalu memiliki calon-calon pemimpin dari ABRI. Pada tingkat birokrasi negara, kita juga sudah melihat proses pergantian elite, sampai ke eselon I, secara teratur. Tapi pada tingkat kabinet, kita menyaksikan tokoh-tokoh yang terus-menerus duduk sebagai menteri, walau berganti-ganti posisi. Sejak 1978, kita mengenal beberapa jenjang menteri. Kita mengenal menteri koordinator (menko), menteri, menteri negara, dan menteri muda. Struktur ini sebenarnya sudah bisa membantu mekanisme regenerasi. Karena itu, tidak ada alasan sekarang untuk tidak memanfaatkan struktur ini bagi proses penyegaran kepemimpinan. Beberapa hal bisa dipikirkan. Seorang menteri muda, umpamanya, sebaiknya dibatasi periode jabatannya pada suatu kementerian satu kali saja. Seorang menteri muda (junior minister) sebenarnya adalah seorang kader. Kalau ia tidak sukses, ia bisa ''gugur'' untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Kalau sukses, ia bisa menduduki jabatan menteri negara yang menangani bidang lain. Kalau tenaganya benar-benar dibutuhkan, malahan ia bisa naik menjadi menteri senior (senior minister). Bagaimana halnya seorang menteri senior? Demi memberikan kesempatan bagi proses sirkulasi kepemimpinan, seorang menteri harus dibatasi masa jabatannya hingga dua kali saja. Ia jangan diberi lagi jabatan menteri di bidang yang lain. Seorang menteri senior tadinya bisa menteri muda. Karena itu, secara teoretis ia bisa menduduki posisi dalam kabinet selama tiga periode (15 tahun). Namun, jika seseorang itu memiliki mutu kenegarawanan, seyogianya ia diangkat sebagai menteri koordinator. Karena seorang menko haruslah telah memiliki pengalaman sebagai menteri. Demi proses regenerasi pula, se- seorang hendaknya dibatasi hingga tiga masa jabatan saja dalam kabinet, secara keseluruhan. Pada masa mendatang, barangkali MPR kita sudah berani mengambil keputusan untuk mengatur masa jabatan kepresidenan, misalnya hingga dua kali saja. Tapi mungkin, sebelumnya, seseorang yang terpilih sebagai presiden sudah menduduki jabatan wakil presiden selama satu atau dua periode. Jadi, masa berkuasa seseorang masih cukup lama. Apalagi seseorang itu sebelumnya pernah menjabat sebagai menteri muda, menteri negara, menteri senior, atau menteri koordinator. Jika demikian halnya, jabatan seseorang pada suatu kementerian akan terbatasi selama dua periode saja, sebab dalam periode selanjutnya, presiden yang terpilih sudah lain. Pengaturan jabatan menteri adalah sesuatu yang cukup rasional dan adil. Kekuasaan itu dapat dinisbatkan dengan kekayaan. Sebab, kekuasaan dalam sistem politik kita sekarang ini bisa menghasilkan kekayaan, sebagaimana kelak, barangkali, kekayaan bisa menghasilkan kekuasaan. Artinya, penguasa yang sukses bisa diangkat sebagai menteri. Demokrasi kita hendaknya memungkinkan terjadinya sirkulasi elite yang lancar dan tertib secara kon- stitusional, agar ''kekuasaan tidak hanya beredar di kalangan elite politik tertentu''. Salah satu hambatan bagi sirkulasi elite itu adalah kecenderungan mempertahankan status quo atau kekuasaan yang ma- pan. Juga karena mitos bahwa jabatan tertentu itu hanya bisa dipegang oleh orang tertentu. Seolah-olah jika orang yang ber- sangkutan sudah tidak ada di situ, dunia akan kiamat. Dan seolah-olah kita tidak cukup memiliki persediaan pemimpin, orang pandai, atau kader pemimpin. Sebagai hasil proses mo- dernisasi dan pembangunan selama lebih dari 25 tahun, yang menghasilkan manusia yang bermutu dan memiliki pengalaman, mitos di atas harus dipandang sebagai nonsense. Apalagi PJPT II ini perlu dilaksanakan oleh orang-orang baru, walaupun tidak bisa lepas dari pengalaman PJPT I. Kepemimpinan nasional kita ini sudah sangat membutuhkan penyegaran. Kalau tidak, dunia politik kita akan sangat pengap. Tidak adanya regenerasi akan menimbulkan frustrasi dan masa bodoh. Tapi yang seharusnya menimbulkan keprihatinan adalah bahwa tiadanya regenerasi akan menumbuhkan pola kepemimpinan yang paternalistis dan feodal. Proses regenerasi yang teratur tapi alamiah tentu akan ikut melancarkan proses perubahan sosial menghadapi tantangan abad ke-21.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini