Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Setelah Gerakan Perlindungan HAM Dibajak Kepentingan Politik

Narasi gerakan perlindungan HAM dibajak kepentingan politik dan populisme. Perlu mengembalikan relevansi gerakan HAM.

30 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Politik populisme berkisar pada sosok karismatik yang menarik dan mengklaim dapat mewujudkan keinginan rakyat, demi mengkonsolidasikan kekuasaan mereka sendiri.

  • Pembajakan narasi yang tidak setara mempersempit ruang bagi gerakan HAM hari ini, baik di tengah masyarakat maupun negara.

  • Pelaku gerakan HAM perlu memperbarui cara-cara gerakan untuk mendapatkan kembali relevansinya di tengah masyarakat.

TREN global hari ini memperlihatkan bagaimana pemajuan dan penegakan hak asasi manusia (HAM), yang tertera pada berbagai macam hukum internasional, tidak diimplementasikan dengan baik. Kebangkitan populisme menjadi salah satu faktor yang cukup mempengaruhi pemajuan dan penegakan HAM di berbagai negara. Narasi HAM dibajak untuk kepentingan pemenangan pemilu yang dianggap sebagai formalitas dan menguntungkan kelompok-kelompok elite maupun bisnis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik populisme berkisar pada sosok karismatik yang menarik dan mengklaim dapat mewujudkan keinginan rakyat, demi mengkonsolidasikan kekuasaan mereka sendiri. Dalam bentuk politik yang dipersonalisasi ini, partai politik kehilangan arti pentingnya, dan pemilu akhirnya hanya berfungsi untuk menegaskan otoritas pemimpin ketimbang mencerminkan kesetiaan masyarakat yang berbeda-beda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehadiran populisme otoriter ditandai dengan munculnya nasionalisme ekstrem, rasisme, konspirasi, dan pengkambinghitaman kelompok marginal. Berbagai hal itu masing-masing digunakan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan pemimpin, mengalihkan perhatian publik dari kegagalan pemimpin, atau menyembunyikan sifat buruk pemimpin dari masyarakat, sekaligus menjadi penyebab masalah ekonomi atau sosial (Munnro, 2024).

Hal ini tentunya menjauhkan isu HAM yang marwah sesungguhnya berkaitan dengan kepentingan rakyat. Isu HAM juga berhubungan erat dengan kewajiban negara untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM. Namun jalinan tersebut terputus karena adanya pembajakan interpretasi dari definisi hak asasi manusia.

Pembajakan narasi yang tidak setara dengan situasi di lapangan itu mempersempit ruang bagi gerakan HAM hari ini, baik di tengah masyarakat maupun negara. HAM dianggap sebagai sesuatu yang telah terwujud pada masa lalu, sehingga dianggap bukan situasi mendesak yang mengharuskan kepentingan adanya gerakan hak asasi manusia.

Mengembalikan Narasi Hak Asasi Manusia

Pemahaman sejarah akan keterlibatan orang muda dan kelompok akar rumput dalam pengaruhnya pada peradaban politik di Indonesia sangat terbatas. Akibatnya, terjadi unconnected links pada perkembangan gerakan orang muda dan kelompok yang terkena dampak di Indonesia. Gerakan-gerakan muda terdahulu yang terbentuk di Indonesia merupakan sebuah warisan yang masih terus bertahan hingga hari ini. Namun bisa dibilang iklim serta metode pergerakannya telah usang.

Kondisi ini menjadi salah satu penyebab terjadinya echo chamber pada gerakan sosial mutakhir. Dalam konsep legalistik yang berlaku secara internasional, terdapat distingsi yang cukup besar mengenai kepentingan pemajuan hak asasi manusia. Negara-negara dunia utara (global north), misalnya, lebih sering mengedepankan isu hak sipil dan politik seperti kebebasan fundamental dan demokrasi. Sementara itu, negara-negara dunia selatan (global south) banyak mengedepankan pemajuan isu hak ekonomi, sosial, dan budaya karena ancaman krisis iklim.

Kondisi tersebut merupakan salah satu fakta pahit dari sistem terbaik yang ditawarkan oleh neo-liberalisme. Sebagai salah satu contoh, upaya keras negara dunia selatan mendorong Dewan HAM PBB mengesahkan Legally-Binding Treaty on Transnational Corporations and State Enterprises, untuk menjamin kewajiban aktor non-negara dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di tengah masifnya eksploitasi lingkungan dan pelanggaran HAM di sektor bisnis, justru tidak banyak mendapatkan dukungan dari negara dunia utara. Akibatnya, proses pengesahan perjanjian ini masih mengalami jalan buntu dalam prosesnya.

Namun sesungguhnya yang patut kita sadari bahwa, pada prinsip penegakan hak asasi manusia, kita tidak dapat membeda-bedakan derajat mana yang lebih penting antara isu hak sipil, politik, ekonomi, serta hak sosial dan budaya, karena semuanya saling berkelindan. Masyarakat tidak akan dapat menyuarakan kritiknya terhadap krisis iklim atau dampak ekonomi-sosial, termasuk pelanggaran HAM di sektor industri ekstraktif, apabila hak kebebasan berekspresi dibatasi. Pembedaan ini yang justru menyebabkan masyarakat kerap kali mengalami pelanggaran berlapis.

Kenyataan ini seakan-akan membuat gerakan HAM berjalan di tempat dan terus-menerus mengalami kegagalan. Kemunduran demokrasi, pewajaran terhadap sistem politik yang hanya mementingkan kepentingan kelompok elite dan kepentingan pemimpin negara yang bercokol pada investasi, pembangunan, serta keamanan negara, menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap semakin tidak relevannya narasi HAM hari ini.

Di level masyarakat, fragmentasi gerakan HAM dan koneksi yang terputus antara gerakan terdahulu menyebabkan definisi dan relevansi kamus bahasa HAM dengan masyarakat semakin jauh. Gerakan HAM pada saat masa Reformasi memfokuskan diri pada pembentukan kerangka legalistik HAM. Namun secara paralel, pendampingan masyarakat serta kaderisasi terhadap kelompok muda semakin berkurang.

Karena itu, menjadi penting bagi gerakan HAM untuk terus mengevaluasi diri melalui otokritik. Pelaku gerakan juga perlu memperbarui cara-cara gerakan untuk mendapatkan kembali relevansinya di tengah masyarakat. Mereka perlu menghadirkan narasi HAM yang sesungguhnya dengan bahasa masyarakat adat, buruh, dan kelompok muda. Hal ini diperlukan agar bahasa HAM dapat mendapatkan kembali resonansinya, terlepas dari caranya yang berbeda-beda tapi komplementer satu sama lain.

Untuk merebut kembali narasi HAM hari ini, kita tidak dapat lagi berpangku tangan untuk menagih janji negara agar dapat menegakkan hak asasi manusia. Terlepas bahwa negara merupakan pemangku tanggung jawab dari penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, toh pada kenyataannya hari ini, dalam konteks global, para pemimpin negara pula yang melanggar standar-standar hukum HAM internasional tersebut.

Penegakan dan pemajuan HAM tidak dapat hanya terpusat pada sistem yang legalistik, tapi harus juga menjangkau masyarakat. Perlu ada penyatuan kekuatan dan penguasaan narasi HAM yang berlaku di publik dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Melalui cara ini, niscaya kita dapat memutus rantai impunitas, menguasai imajinasi baru tentang HAM, dan mengembalikan relevansi HAM di tengah situasi dunia dan negara yang sedang dikuasai oleh kelompok-kelompok elite.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Fatia Maulidiyanti

Fatia Maulidiyanti

Pegiat Hak Asasi Manusia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus