Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berpikir bak investor. Inilah yang perlu dilakukan pemerintah saat menawar saham PT Freeport Indonesia. Investor yang baik akan menghitung cermat harga yang disodorkan.
Freeport telah memasang harga penjualan 10,64 persen saham senilai US$ 1,7 miliar (sekitar Rp 22,95 triliun) pada bulan lalu. Pelepasan saham perusahaan tambang emas dan tembaga di Papua ini bagian dari pemenuhan kewajiban divestasi saham. Harga yang ditawarkan itu kelewat mahal. Tapi soal ini memang salah satu titik lemah kontrak karya yang diteken pemerintah dengan Freeport. Tak ada pedoman yang mengatur cara menentukan harga.
Saking ribetnya urusan divestasi itu, pemerintah mulai berancang-ancang melepas saham Freeport ke bursa. Opsi ini tercantum dalam rancangan revisi Undang-Undang Minerba yang telah dimasukkan ke Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu pasal dalam rancangan ini mengatur, jika divestasi tidak tercapai dalam tiga jenjang—pemerintah, BUMN/BUMD, dan swasta nasional—penawaran bisa dilakukan melalui bursa saham.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batu Bara, pemerintah memiliki waktu 60 hari untuk menentukan sikap, apakah mengambil atau menolak tawaran tersebut. Pendeknya waktu yang tersedia mesti digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Langkah yang perlu segera dilakukan adalah menunjuk konsultan penilai untuk menghitung harga yang wajar untuk saham Freeport.
Pemerintah harus pula berani menawar. Kali ini posisi tawar Indonesia jauh lebih baik karena dua kali kewajiban divestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah mesti menggunakan seluruh amunisi, seperti kealpaan Freeport membangun smelter dan hasrat mendapat perpanjangan konsesi dalam melakukan negosiasi.
Selain soal harga, pemerintah mesti mengawal dan memastikan transaksi pembelian saham hasil divestasi Freeport Indonesia ini berlangsung dengan baik. Amburadulnya dua kali proses divestasi saham Freeport Indonesia di era pemerintah Soeharto jangan sampai terulang. Banyak cara yang biasa dipakai para penumpang gelap mengincar saham Freeport. Misalnya dengan membuat pemerintah seolah-olah tidak serius merampungkan transaksi atau berlindung di balik perusahaan daerah yang ngotot mendapat jatah saham.
Siasat seperti itu bukan hal baru dalam divestasi perusahaan tambang. Pada 2004, Grup Bakrie sukses mendapatkan 51 persen saham divestasi PT Kaltim Prima Coal, setelah pemerintah akhirnya mundur lantaran tak satu suara tentang siapa yang akan membeli saham perusahaan tambang batu bara terbesar itu. Trik serupa diperagakan saat PT Newmont Nusa Tenggara melaksanakan kewajiban divestasi saham.
Langkah pemerintah mendorong konsorsium perusahaan negara untuk mengambil alih 10,76 persen saham Freeport itu sudah tepat. Pemerintah jangan terbuai dengan membuka opsi lain, seperti membeli saham Freeport-McMoRan, induk usaha Freeport Indonesia di Amerika Serikat. Sekilas transaksi ini tampak menggiurkan. Dengan kejatuhan harga saham yang membuat market value perusahaan ini anjlok, pemerintah bisa mengantongi 40 persen saham. Tapi, harus diingat, saat ini Freeport-McMoRan terbelit utang US$ 20 miliar, yang sebagian akan jatuh tempo dalam beberapa tahun ke depan.
Utang yang menggunung itu jelas akan menjadi beban pemegang saham. Pemerintah tentu tidak ingin harapan meraup untung di Freeport berujung masalah di kemudian hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo