Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dapur rumahnya yang berukuran 6 x 4 meter di Desa Kalipucang Wetan, Batang, Jawa Tengah, Kamilah mengisi hari-harinya dengan membatik. Sabtu pagi awal Februari lalu, perempuan 75 tahun itu bersama kedua anaknya, Nisyumah (48) dan Masitoh (41), mulai menyalakan kompor kecil untuk memanaskan lilin di wajan. Mereka duduk mengelilingi kompor. Sejurus kemudian, secara bergantian tangan kanan mereka memasukkan kepala canting ke dalam wajan untuk mengambil cairan lilin, meniup ujung canting agar arus lilin tak tersendat, lalu canting-canting mereka menari di atas kain mori yang disangga tangan kiri.
Goresan tangan canting itu perlahan membentuk klowongan (pola) atau membuat isen-isen (ornamen latar motif batik) dengan teliti dan telaten. Untuk memudahkan proses pembatikan, terkadang ujung mori disampirkan di atas gawang dari bilah bambu. Kesibukan membatik ini menjadi keseharian Kamilah dan kedua adiknya. Biasanya mereka membatik setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.
Kamilah adalah satu dari sekitar 80 perempuan warga Rifa'iyah, pengikut ajaran keislaman Syekh Ahmad Rifa'i, yang hidup pada 1786-1869, di Kalipucang Wetan, yang hingga kini masih meneruskan tradisi membatik. Batik yang mereka buat dikenal sebagai batik Rifa'iyah.
Tradisi membatik perempuan Rifa'iyah sudah turun temurun hingga beberapa generasi. Pelajaran membatik diawali pada usia 10 tahun atau ketika usia beranjak remaja. Kamilah belajar membatik dari mendiang ibunya, Hajah Siti. "Ibu saya belajar membatik dari ibu dan neneknya," kata Kamilah. "Mungkin sejak ada Kampung Kalipucang Wetan, leluhur kami sudah membatik."
Bagi perempuan penganut ajaran Rifa'iyah di daerah Batang dan Pekalongan, Jawa Tengah, membatik tak sekadar melukis mori dengan cairan lilin dengan berbagai motif dan ragam hiasnya. Lebih dari itu, membatik adalah laku spiritual dalam merawat tradisi dan keyakinan. "Inilah yang menjadikan batik Rifa'iyah atau batik yang dihasilkan para pembatik dari komunitas Rifa'iyah memiliki karakter khusus, dan terjaga dari generasi ke generasi sampai saat ini," ujar Miftakhutin, Ketua Paguyuban Pembatik Rifa'iyah Desa Kalipucang Wetan.
Sebetulnya warga Rifa'iyah tak pernah menggunakan istilah batik Rifa'iyah. Istilah itu berasal dari para peneliti untuk mempermudah penyebutan jenis batik yang dihasilkan warga Rifa'iyah yang memang khas dan unik, berbeda dengan batik di luar warga Rifa'iyah.
Batik Rifa'iyah adalah ekspresi seni dan identitas warga Rifa'iyah. Dibuat dan diedarkan secara terbatas di kalangan Rifa'iyah yang tersebar di beberapa daerah. Masyarakat di luar komunitas Rifa'iyah kurang mengenal batik yang oleh para peneliti digolongkan sebagai batik klasik serta unik itu. Dikatakan unik karena sejatinya batik bukan sekadar kain yang dilukis dengan lilin. Selain dihasilkan dengan proses yang panjang, dalam selembar batik terkandung makna budaya, ajaran, dan falsafah hidup masyarakat. "Batik Rifa'iyah memiliki seni yang tinggi, sarat dengan nilai dan unik," kata Zahir Widadi, Dekan Fakultas Batik Universitas Pekalongan. Unik karena mempertahankan motif klasik yang tidak disetir selera pasar. "Berbeda dengan batik di luar Rifa'iyah, yang ragam hiasnya memenuhi pesanan desainer atau pembeli," Zahir menjelaskan.
Hingga 10 tahun lalu, batik Rifa'iyah hanya dikenal di kalangan Rifa'iyah atau peneliti batik. Namun kini popularitasnya mulai keluar dari sekat-sekat komunitasnya, terutama setelah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) pada 2 Oktober 2009 mengakui batik sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia. Batik Rifa'iyah diburu para kolektor batik. Harga sehelai kain batik Rifa'iyah dengan lama pembuatan sekitar tiga bulan berkisar Rp 2 juta.
Pada akhir Januari lalu, sebuah acara bertajuk "Merayakan Batik Rifa'iyah" digelar di kompleks Balai Desa Kalipucang Wetan. Acara yang diselenggarakan oleh komunitas Batang Heritage itu diisi dengan pameran batik, foto, dan sarasehan. Sekitar 200 orang yang terdiri atas pencinta batik, seniman, kolektor, peneliti, akademisi, serta pengusaha batik menghadiri perhelatan tersebut. Selain dari Batang, mereka datang dari beberapa kota lain seperti Pekalongan, Semarang, Lasem, Surakarta, Yogyakarta, Tegal, Cirebon, Banyumas, Bandung, Bogor, dan Jakarta.
"Ini merupakan ikhtiar memperkenalkan khazanah budaya batik Rifa'iyah yang semula hanya dikenal pada komunitasnya, menjadi dikenal secara luas," ujar M.J.A. Nashir, pendiri Batang Heritage. "Kami mengajak semua pihak menajamkan mata batin, mengasah rasa peduli atas salah satu warisan sejarah dan budaya, yakni batik Rifa'iyah."
Di kantor desa yang mendadak disulap menjadi galeri, belasan batik dalam ukuran jarik dan sarung dipajang. Juga ukuran selendang. Puluhan yang lain dilipat tertata di atas meja pamer. Sekilas tak ada bedanya antara batik Rifa'iyah dan corak batik pesisiran (pesisir utara Jawa) pada umumnya, yang identik dengan warna ekspresif: merah, biru, cokelat, kuning, dan ungu. Tidak seperti batik Mataraman (Solo dan Yogyakarta) yang identik dengan warna gowok (cokelat) yang halus.
Namun, jika dicermati, ada perbedaan visual pada ragam hias batik Rifa'iyah. Yang membedakan batik Rifa'iyah dengan batik tulis lainnya adalah pada detail yang rumit dan halus. Hampir seluruh bidang kain tertutup oleh ornamen. Tak seperti batik tulis pada umumnya yang hanya dibatik pada satu sisi, batik Rifa'iyah dibatik pada dua sisi (bolak-balik) atau sering disebut terusan. Motifnya juga masih mempertahankan motif batik klasik abad ke-19. Yang menjadi pembeda utama adalah motif batik Rifa'iyah tidak pernah menampilkan fauna secara utuh. Sosok ayam atau burung, misalnya, ditampilkan dengan sengaja dipisahkan/dipenggal antara kepala dan badan. Bentuk kupu-kupu, capung, atau burung sengaja disamarkan seperti bentuk dedaunan. Misalnya ekor burung disamarkan menyerupai ranting dan dedaunan yang menjuntai. Atau, sebagian badan hewan sengaja ditutup dengan bunga atau pepohonan.
Sedikitnya terdapat 26 motif batik Rifa'iyah, yakni kotak kitir, banji, sigar kupat, lancur, tambal, kawung ndog, kawung jenggot, dlorong, materos satrio, ila-ili, gemblong sairis, dapel, kotak kitir, nyah pratin, romo gendhong, pelo ati, jeruk no'i, keongan, krokotan, liris, klasem, kluwungan, jamblang, gendaghan, dan wagean. Sedangkan dari motif pewarnaan terbagi dua, yakni pewarnaan tiga negeri (merah, biru dan cokelat) dan pewarnaan bang biron (merah dan biru).
Namun, dari semua motif tersebut, tak satu pun dijumpai gambar fauna secara utuh.
Contoh yang paling ekstrem adalah pada motif pelo-ati (ampela dan hati). Terdapat citra ayam warna merah meski bentuknya mirip burung bertengger di atas dahan. Tapi, lihatlah, bagian lehernya secara jelas terpisah dari badan. Leher bersisik warna hitam itu menyatu dengan kepala warna merah lengkap dengan jambul atau jenggernya. Latar motif batik ini yang berwarna putih mempertegas visual pemenggalan tersebut. Dinamakan pelo-ati karena pada tubuh ayam terdapat gambar yang menyerupai ampela dan hati berwarna biru. Namun pemenggalan tersebut tidak mengurangi keindahan batik, karena seluruh batik Rifa'iyah memiliki ragam hias yang detail dan rapat yang menghiasi latar batik, baik dalam bentuk garis maupun titik.
Upaya memenggal atau menyamarkan tersebut didasarkan pada keyakinan warga Rifa'iyah, yang salah satu ajarannya melarang menggambar hewan atau manusia secara utuh. Larangan tersebut didasarkan pada literatur fikih klasik yang merujuk pada hadis Nabi. Salah satu ketua Pengurus Pusat Rifa'iyah, KH Ali Nahri, menuturkan Ahmad Rifa'i memang melarang muridnya menggambar hewan dan manusia, kecuali dalam bentuk yang tidak utuh, sehingga tak mungkin hidup. Larangan tersebut merujuk pada beberapa hadis Nabi. Jika memakai pakaian batik dengan gambar hewan yang utuh, pakaian tersebut tidak boleh dipakai untuk salat. "Itu keyakinan warga Rifa'iyah," katanya. "Buat apa membuat batik yang tidak bisa untuk menunjang salat?"
Menurut Ali, sesungguhnya tidak ada motif khusus yang dihasilkan dari pembatik Rifa'iyah. Sebagaimana batik lain di Jawa, motifnya sangat multikultural, yang dipengaruhi Cina, Eropa, dan Hindu. Ali berkeyakinan munculnya pengaruh Rifa'iyah yakni dengan tidak menggambar hewan secara utuh terjadi pada tahun 1860-an. Keyakinan ini didasarkan pada sejarah bahwa Ahmad Rifa'i diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda dari pesantrennya di Desa Kalisalak, Kecamatan Limpung, Batang, ke Ambon, karena tuduhan menghasut masyarakat untuk melawan Belanda pada 1859. Melalui kitab-kitabnya yang disusun dalam syair bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf arab (Arab pegon), Rifa'i memang menggelorakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda yang dianggapnya sebagai pemerintah kafir yang menindas.
Sepeninggalnya dari pengasingan, para santrinya menyebar ke beberapa daerah di Pulau Jawa untuk berdakwah. Salah satu santri yang berdakwah di Desa Kalipucang Wetan dan sekitarnya adalah Muhammad Ilham, yang anak cucunya hingga saat ini tersebar di Desa Kalipucang Wetan dan Kelurahan Watesalit. "Karena pengaruh dakwah Mbah Ilham, saat itu diyakini mulai muncul motif batik dengan hewan yang dipenggal atau disamarkan," ujar Ali.
Peneliti batik Kwan Hwie Liong mengatakan pemenggalan atau penyamaran bentuk hewan hanya ia jumpai pada motif batik Rifa'iyah. "Ini unik karena batik Rifa'iyah menjadi ekspresi keyakinan dan dakwah sesuai dengan keyakinan mereka yang bersumber dari hadis," kata Kwan. "Pemahaman ini tidak dijumpai pada organisasi keagamaan lain dan komunitas pembatik lain."
Tradisi menggunakan kain batik juga masih sangat kental di kalangan warga Rifa'iyah. Di kampung-kampung basis pengikut Rifa'iyah, kain batik menjadi pakaian keseharian perempuan untuk bawahan yang dipadu dengan atasan yang longgar dan kerudung atau jilbab. Sedangkan kaum laki-laki menjadikan batik sebagai sarung saat salat terutama salat Jumat atau acara keagamaan lainnya. Menurut Kwan, hal ini menjadikan batik Rifa'iyah sebagai identitas busana warga Rifa'iyah. "Karena batik yang sesuai dengan keyakinan syariah mereka tak didapat dari perajin batik yang lain," ujarnya.
Kuatnya batik Rifa'iyah sebagai identitas warganya tak lepas dari sifat pengikut Rifa'iyah yang cenderung tertutup dengan komunitas lain. Hal ini terjadi sebagai dampak politik adu domba dari penjajah Belanda yang mengajak para birokrat dan kiai birokrat ikut menyebarkan anggapan bahwa pengikut Syekh Ahmad Rifa'i adalah beraliran sesat. Dampak tuduhan tersebut menjadikan warga Rifa'iyah "menutup diri" hingga awal 1980-an. Sebagai komunitas yang tertutup, secara sosiologis mereka akan memiliki ikatan persaudaraan yang kuat dengan sesama warga Rifa'iyah di mana pun berada. Komunikasi di antara mereka juga kuat.
Dalam situasi tersebut, menurut Ali Nahri, batik Rifa'iyah menjadi sarana komunikasi di antara mereka, dan hanya dibuat dan dipasarkan di antara warga Rifa'iyah. Penyebarannya juga unik. Beberapa orang dari sentra perajin batik Rifa'iyah menjual batiknya ke komunitas warga Rifa'iyah yang bukan perajin batik. Mereka tak sekadar menjual batik, tapi juga sambil mengaji kepada kiai Rifa'iyah di suatu desa dan hidup hingga beberapa hari dengan komunitas Rifa'iyah yang lain. Sebaliknya, perempuan Rifa'iyah di luar Batang dan Pekalongan yang hendak membeli batik Rifa'iyah secara langsung ke perajinnya seperti di Desa Kalipucang dan Watesalit di Batang, Desa Paesan dan Madukaran di Pekalongan, mereka tak sekadar mencari batik, tapi sekaligus tinggal beberapa hari sambil mengaji kepada kiai di desa setempat. Dengan demikian, ikatan komunikasi dan informasi sesama warga Rifa'iyah terjalin kuat.
Penganut ajaran Rifa'iyah juga dikenal taat dengan ajaran leluhur dan kuat menjaga tradisi. Mereka, misalnya, cenderung menganggap peran perempuan lebih sebagai ibu rumah tangga dengan aktivitas domestiknya. Terlalu banyak beraktivitas di luar rumah dianggap kurang bagus. Sebaliknya, laki-laki adalah bapak rumah tangga yang bertanggung jawab mencari nafkah. Pemahaman ini menjadikan perempuan Rifa'iyah lebih banyak tinggal di rumah dan setia menunggu suami pulang. Dalam kondisi demikian, membatik adalah aktivitas yang cocok untuk merawat kesabaran dan agar betah di rumah. Tak mengherankan jika para perempuan Rifa'iyah di Batang dan Pekalongan diajari membatik sejak dini. Adapun pilihan tempatnya bukan di luar rumah, tapi di dapur.
Miftakhutin berkisah, saat berusia sembilan tahun, ia sudah diajari orang tuanya untuk membatik. Ibunya membelikan kain mori murahan untuk belajar membatik sepulang sekolah. "Membatik akan melatihmu sabar dan setia," kata Miftakhutin mengenang nasihat ibunya. Sejak saat itu perempuan yang kini berusia 37 tahun ini selalu membatik selepas sekolah dan membantu pekerjaan rumah tangga. Saat ini, selepas kesibukannya sebagai guru yang berstatus pegawai negeri sipil, ia juga membatik. Baginya, membatik adalah laku spiritual melatih kesabaran dan kesetiaan sebagai perempuan, sekaligus menjaga tradisi ajaran Ahmad Rifa'i.
Hal lain yang menjadikan perempuan Rifa'iyah identik dengan kain batik adalah ajaran klasik dari ulama-ulama pengikut Rifa'iyah yang menganjurkan perempuan menggunakan batik dengan alasan busana perempuan tidak boleh menimbulkan lekuk tubuh. Ajaran ini ditaati sampai sekarang. Bukan karena perempuan Rifa'iyah tidak melek fashion modern. Jangan salah. Sebagian besar desa yang menjadi kantong-kantong pengikut Rifa'iyah di Batang, Pekalongan, Pemalang, dan Kendal adalah sentra konfeksi jins.
Di Desa Kalipucang dan Watesalit, misalnya, terdapat sekitar 50 konfeksi jins. Tentu, mereka menghasilkan model jins yang up to date. Sebagian suami perempuan pembatik Rifa'iyah bekerja sebagai penjahit jins, bahkan pemilik konfeksi itu sendiri. Namun hampir tidak dijumpai perempuan Rifa'iyah di kedua desa tersebut memakai jins.
Hajah Jukhaeriyah di Watesalit, misalnya, tiap hari membantu mengurus konfeksi jins suaminya. Namun tiap hari pula dia tetap membatik dan tidak pernah memakai jins. "Tiap hari mau ganti jins baru juga bisa, tapi kain batik menjadi busana kami sehari-hari," katanya.
Kesetiaan pada ajaran leluhur tak hanya menjadikan perempuan Rifa'iyah membiasakan diri membatik. Ekspresi kesetiaan menjaga tradisi leluhur juga diwujudkan dengan menjaga pakem motif batik Rifa'iyah yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menyebabkan motif batik Rifa'iyah tak pernah berubah. Menurut Kwan Hwie Liong, keteguhan menjaga motif leluhur inilah yang menjadikan batik Rifa'iyah identik dengan batik tulis kuno. Kwan berkisah, dia kaget luar biasa ketika menemukan motif batik Rifa'iyah sangat mirip dengan batik kuno tahun 1800-an milik salah seorang kolektor di Eropa yang pernah ia teliti.
Selain keteguhan menjaga motif leluhur, pembuatan batik Rifa'iyah masih mempertahankan teknik-teknik tradisional demi mempertahankan mutu. Misalnya, batik ditulis dengan canting secara terusan atau bolak-balik di kedua sisi morinya. Kedua sisi mori juga di-blebet atau dijahit agar susunan benang pada mori tidak mudah lepas.
Pembuatan batik Rifa'iyah melalui proses panjang, hingga 17 tahap, tergantung motifnya. Antara lain, sebelum dilakukan pembatikan, kain mori pilihan biasanya jenis katun primisima dengan ukuran 215 x 105 sentimeter, kain di-ketheli, sebuah proses perendaman kain dengan minyak kacang atau minyak nabati lainnya selama 3-5 hari. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan sisa tepung kanji (tapioka) yang sering menempel saat proses pemintalan kain di pabrik, yang dapat menghalangi masuknya lilin dan warna saat pembatikan. Setelah melalui proses pemolaan, pembatikan, mbabar, mopok, pewarnaan, nglorot, dan sebagainya hingga berkali-kali, seluruh proses ditutup dengan merendam batik yang sudah jadi ke dalam cairan tepung kanji lalu dijemur. Hal ini dimaksudkan agar benang-benang mori menjadi rekat kembali setelah mengalami sekian proses pembatikan.
Menurut praktisi dan pengajar seni batik dari Pekalongan, Dini Hasan, batik Rifa'iyah adalah batik yang pengerjaannya masih mempertahankan teknik tradisional. Teknik tersebut menjadikan batik Rifa'iyah makin unik dan khas karena berpadu dengan motif dan ragam hias yang detail dan rapat. "Prosesnya lama, tapi batik tulis yang sesungguhnya memang begitu," ujarnya.
Sayangnya, sebagaimana komunitas batik lainnya, komunitas batik Rifa'iyah juga harus bertaruh dengan modernisasi yang terus menggerus. Jumlah pembatik kian sedikit. Beberapa perempuan Rifa'iyah juga menekuni profesi lain yang tak lagi memiliki waktu membatik. Seiring dengan makin terbukanya komunitas ini, banyak perempuan Rifa'iyah yang menikah dengan komunitas lain yang tak lagi ketat menjaga tradisi membatik.
Menurut Miftakhutin, di Kalipucang Wetan, misalnya, dari ratusan pembatik kini hanya tinggal 83 orang. Kondisi serupa terjadi di Watesalit, yang kini hanya tersisa sekitar 50 pembatik. Untuk menjaga batik Rifa'iyah dari ancaman kepunahan, Paguyuban Pembatik Rifa'iyah kini menggalakkan para perempuan untuk kembali membatik. Anak-anak juga diakrabkan dengan canting dan lilin. Sementara sebelumnya membatik hanya dijadikan celengan, pada masa mendatang membatik juga bisa memberi nilai ekonomi yang lebih. "Apalagi sekarang banyak kolektor memburu batik Rifa'iyah dengan harga yang tinggi," ujar Miftakhutin optimistis.
Sohirin (Batang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo