Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masuknya Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim dalam prioritas pembahasan legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat merupakan langkah maju. Jika rancangan ini disahkan, status dan martabat hakim diharapkan jauh lebih kuat—meskipun, perlu dicatat, tingginya kedudukan dan status tak selalu sejalan dengan kejujuran. Sudah terlalu banyak contoh hakim korup yang meringkuk di penjara.
Rancangan undang-undang ini tergolong terlambat dibanding undang-undang profesi lain. Polisi dan Tentara Nasional Indonesia, misalnya, telah lama memiliki undang-undang yang mengatur peran dan fungsi mereka secara khusus. Begitu pula pengacara dan jaksa.
Memang ada undang-undang yang mengatur jabatan hakim. Salah satunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Tapi ini hanya mengatur profesi hakim secara umum, tidak tersendiri. Undang-undang itu juga mengatur panitera, pengadilan, dan juru sita.
Undang-undang khusus tentang jabatan hakim dianggap perlu karena tugas hakim istimewa. Mereka kerap diibaratkan "wakil Tuhan". Namun, dengan kedudukan istimewa itu, posisi hakim justru mendua. Di satu sisi, dia bertugas memutus perkara. Tugas ini menuntut dia harus independen, bebas dari intervensi, termasuk dari atasannya. Di sisi lain, hakim adalah pegawai negeri. Ia tunduk pada berbagai aturan kepegawaian, dari kenaikan pangkat, penggajian, sampai pemberhentian dari jabatannya. Sebagai pegawai negeri, hakim bergantung pada penilaian kinerja dari atasannya.
Status mendua itu membawa banyak implikasi. Meski Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyebut hakim pejabat negara, dalam praktek seorang hakim tak lebih istimewa dibanding pegawai negeri biasa. Bahkan, dalam soal gaji dan fasilitas, pendapatan hakim lebih buruk daripada profesi lain. Tunjangan tertinggi hakim senior, misalnya, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2008 hanya Rp 10.200.000. Ini jauh di bawah tunjangan jaksa senior atau jenderal polisi dan TNI, yang melebihi Rp 20 juta.
Semua kerancuan itu mesti dibenahi melalui RUU Jabatan Hakim. Rancangan ini tentu tidak hanya mengatur status kepegawaian atau fasilitas bagi hakim. RUU ini boleh dibilang mengatur soal hakim dari hulu hingga hilir. Aturan itu terentang dari proses rekrutmen, pengawasan, perlindungan martabat, sampai pemberhentian hakim.
Perlu digarisbawahi, undang-undang hanya aturan di atas kertas. Ia perlu ditegakkan dengan sungguh-sungguh. Apalagi undang-undang ini disusun dengan premis bahwa bila hakim diberi kedudukan dan martabat serta fasilitas memadai, kecenderungan berperilaku korup akan hilang. Premis ini gagal dalam banyak kasus. Program remunerasi pegawai negeri terbukti tidak menurunkan angka korupsi. Bahkan pejabat bergaji ratusan juta rupiah masih juga menilap uang negara.
Maka bagian terpenting Undang-Undang Jabatan Hakim nantinya bukan hanya pada pasal-pasal di dalamnya, melainkan pada pemberian sanksi keras bagi yang melanggar. Justru karena profesi hakim sangat mulia, penodaan atas profesi ini harus dihukum berat.
Undang-undang itu juga tiada guna tanpa penegakan Kode Etik Hakim. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebenarnya sudah menyepakati kode etik itu sejak 2012, tapi kode etik pun tak banyak berarti. Bahkan, ada kesan, Mahkamah Agung lebih melindungi hakim yang diduga menabrak kode etik ketimbang memberi sanksi. Jika sikap ini tetap dipelihara, walau ada Undang-Undang Jabatan Hakim, aturan itu tak lebih dari sekadar alat memanjakan para hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo