Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita sukses Joey Alexander adalah cerita tentang dunia yang berubah pesat, tentang penemuan teknologi digital bernama YouTube yang telah menebarkan kabar ke segenap pelosok dunia bahwa seorang anak Indonesia—putra Bali—pantas disebut anak ajaib (child prodigy). Dunia jazz gempar. YouTube merekam seorang anak berkacamata minus, baru berusia 12 tahun, dengan tubuh kecil yang "terbenam" di antara kebesaran grand piano di hadapannya.
Duduk di atas kursi piano yang ditinggikan, Joey memainkan My Favorite Things. Jazz adalah sebuah kebebasan yang hampir-hampir tak bertepi. Di dalamnya ada kerangka sebuah lagu, tapi musikus bisa memainkan instrumen secara akrobatik di sekitar kerangka itu. Bersama waktu, suara instrumen tersebut mengalir bagai mengikuti suatu garis petunjuk, tapi mereka tak selalu betul-betul mengikuti garis itu, bisa sampai meloncat-loncat, menari, jungkir balik—semuanya bersifat improvisasi dan tidak merusak.
Sering suara-suara itu seolah-olah begitu kacau, tapi bukan karena lepas kendali, melainkan lantaran musikus mempermainkan ketertiban, bermain-main dengan keharusan, serta bercanda dengan peraturan musikalitas. Tentu permainan dengan kekacauan ini hanya bisa dilakukan musikus yang sudah selesai dengan urusan kesempurnaan teknis dan penguasaan lagu. Joey disebut child prodigy karena, manakala anak seusianya mencoba menangkap dan mengingat sebuah lagu dengan susah payah, ia justru telah melampaui persoalan teknis itu dan menyelam jauh ke dalam dunia improvisasi yang merupakan ciri khas musik jazz.
Tanpa uluran tangan negara, si kecil Joey Alexander telah mengharumkan Indonesia di dunia internasional. Joey dibesarkan dengan talenta yang melimpah-ruah dan perhatian khusus dari orang-orang terdekatnya, termasuk ayahnya, Denny Sila, yang menyediakan lingkungan musikal sejak dini, dan sedikit "sentuhan" musikus jazz Indra Lesmana. Memang masa ketika seorang anak ajaib—ingat Mozart dan Bach—mendedikasikan segenap kreativitas musiknya kepada bangsawan di dalam lingkungan istana telah lama berakhir. Kini peran pemegang otoritas kekuasaan mengerdil dan kemajuan teknologi digital itulah yang mengantarkan seniman seperti Joey Alexander ke satu lingkaran elite musikus kelas dunia.
Wynton Marsalis, musikus jazz senior yang sangat dihormati dan kini direktur seni di Lincoln Center, menyebut Joey "pahlawanku". Sejak Marsalis menemukan si anak ajaib di sebuah video yang menawan di YouTube pada 2014, bintang Joey semakin terang. Dari satu festival jazz ke festival jazz lain, Joey menjadi salah satu musikus yang paling ditunggu. My Favorite Things, yang kemudian juga menjadi judul albumnya yang pertama, memperlihatkan kematangan seorang musikus—kemampuan yang biasanya dimiliki musikus yang sudah berumur.
Perjalanan Joey Alexander masih panjang. Revolusi digital memang seperti pedang bermata dua: memiliki sisi baik dan sisi buruk. Namun pada diri Joey kita dapat menyaksikan bahwa perkembangan teknologi digital telah membawa berkah. Selain itu, Joey membangkitkan optimisme bahwa bangsa Indonesia juga bisa melahirkan child prodigy. Salah satunya, ya, Joey sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo