Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMAKAI kemeja putih, celana hitam, dan dasi merah, Komisaris Besar Ahmad Wiyagus ”pulang” ke kantor lamanya di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin pagi pekan lalu. Kepala Subdirektorat II Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI ini bersama dua puluh penyidik datang membahas pelimpahan perkara dugaan korupsi proyek simulator kemudi senilai Rp 196,8 miliar di Korps Lalu Lintas Polri.
Ditanya wartawan sebelum pertemuan, Wiyagus, yang pernah bertugas di komisi antikorupsi, menjawab singkat, ”Soal simulator.” Dalam pertemuan itu, tampak pula Direktur Tindak Pidana Korupsi Brigadir Jenderal Nur Ali.
Rapat ini yang ketiga kali setelah pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Senin, 8 Oktober 2012. Presiden ketika itu antara lain menginstruksikan Markas Besar Polri menyerahkan sepenuhnya perkara korupsi yang menjerat mantan Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi juga menetapkan tiga tersangka lain, yaitu Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto, dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.
Berlangsung sekitar tiga jam, pertemuan itu gagal mencapai kata sepakat. Para penyidik KPK lebih banyak mendengarkan penjelasan kolega mereka dari Trunojoyo. Padahal saat itu penyidik polisi sudah bersiap merumuskan mekanisme pelimpahan perkara. ”Penyidik KPK memilih pasif sehingga tidak ada keputusan apa-apa,” kata seorang sumber.
Sebelum pertemuan Senin itu, telah digelar dua pertemuan permulaan. Dalam dua rapat itu, penyidik Badan Reserse Kriminal datang dengan membawa satu proposal. KPK diminta melanjutkan proses penyidikan yang telah mereka lakukan. Berkas perkara itu dilimpahkan berikut catatan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung. ”Termasuk menyerahkan dua tersangka yang telah ditahan,” ujar sumber lain.
Sebaliknya, para penyidik KPK berpedoman pada Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam beleid itu ditegaskan, jika KPK telah melakukan penyidikan suatu perkara, kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang melakukan penyidikan untuk perkara yang sama. ”KPK tidak ingin dibebani dengan penyidikan polisi yang mengandung banyak kelemahan,” kata sumber itu.
Seorang pemimpin komisi antikorupsi mengatakan, jika dipaksakan meneruskan pekerjaan polisi, hampir dipastikan bakal bermasalah di kemudian hari. Selain belum ada perhitungan resmi tentang kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan, dua tersangka KPK yang ditahan polisi segera habis masa penahanannya. ”Timbul banyak kekacauan jika itu diikuti,” ujarnya.
Setelah pertemuan ketiga, pada Selasa pekan lalu digelar rapat koordinasi dan diskusi penyerahan perkara simulator kemudi. Sumber Tempo mengatakan, dalam rapat itu, penyidik Badan Reserse Kriminal sudah bersepakat menerbitkan berita acara penghentian kegiatan penyidikan untuk lima tersangka korupsi simulator kemudi.
Sempat ada diskusi untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan, tapi usul itu ditolak penyidik polisi karena mempersoalkan landasan hukum yang dipakai. ”Dalam pertemuan itu disepakati penyerahan akan dilakukan empat hari kemudian, yakni Kamis pekan lalu,” kata sumber itu.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, yang ditemui pada Rabu pekan lalu, membenarkan soal kesepakatan tersebut. Menurut dia, Mabes Polri telah sepakat menyerahkan berkas lima tersangka sekaligus.
Pada hari itu juga, pimpinan KPK mengirimkan surat kepada Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo agar membebaskan dua orang dari empat tersangka yang tengah ditahan polisi.
SATU hari menjelang hari pelimpahan perkara, penyidik KPK dikejutkan oleh empat lembar surat yang dikirimkan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Sutarman. Dalam surat bernomor B/215/X/2012/ Bareskrim, Sutarman menyampaikan kembali mekanisme penanganan perkara tindak pidana korupsi dalam proyek simulator kemudi.
Mengejutkan, dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo, mantan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya ini tidak menyinggung sama sekali soal penerbitan berita acara penghentian kegiatan penyidikan. Namun dia kembali menyatakan bakal menyerahkan berkas perkara penyidikan yang telah dilakukan polisi.
Dalam penjelasan yang terbagi dalam sembilan poin itu, Sutarman menguraikan panjang-lebar berbagai proses penyidikan yang telah dilakukan polisi. Pada poin ketiga, dia menulis: ”terhadap proses penyidikan yang dilakukan, penyidik berpendapat telah cukup bukti dan telah dilakukan pengiriman berkas untuk diteliti jaksa penuntut umum di Kejaksaan Agung”.
Pada poin kesembilan soal mekanisme penyerahan perkara, Sutarman mengatakan ada tiga hal yang dilimpahkan. Pertama, berkas perkara yang terdiri atas administrasi penyidikan serta berita acara pemeriksaan saksi dan tersangka. Kedua, barang bukti yang dilakukan penyitaan. Ketiga, para tersangka yang sekarang dalam tahanan polisi.
Seorang penyidik KPK mengatakan surat Sutarman itu mementahkan kembali kesepakatan yang dibuat sebelumnya. Sebab, dengan keharusan penyerahan berkas dan memasukkan hasil penyidikan polisi, Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang KPK diabaikan. ”Ini juga bertentangan dengan isi pidato Presiden,” kata seorang penyidik KPK.
Sutarman membantah jika suratnya dianggap memperlambat penyerahan perkara simulator kemudi. Dia menuding KPK-lah yang belum siap menerima pelimpahan itu. ”Justru saya yang memerintahkan agar segera dilimpahkan,” ujarnya.
Sehari kemudian, Busyro Muqoddas mengirimkan surat kepada Kepala Polri Timur Pradopo. Surat yang diantarkan Direktur Tindak Pidana Korupsi III KPK Zet Tadi Allo itu diterima Timur pada pukul 20.30 WIB. Dalam suratnya, Busyro meminta kepolisian segera menghentikan penyidikan perkara simulator kemudi.
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan, dalam surat itu, Busyro memberi petunjuk agar Badan Reserse Kriminal menghentikan penyidikan. Selain itu, KPK meminta polisi menyerahkan berkas perkara dan barang bukti, tapi tanpa penyerahan tersangka. ”Ini menjadi pertanyaan, kenapa tanpa tersangka,” katanya.
Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., membantah ada arahan agar polisi menerbitkan surat penghentian penyidikan. Menurut dia, pemimpin KPK hanya meminta agar penyerahan perkara sesuai dengan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang KPK. ”Kami sudah final tetap memakai pasal itu,” ujarnya.
Penyidik KPK tadi mengatakan lembaganya tidak mau terjebak dalam ”siasat” pelimpahan para tersangka, yang akan habis masa penahanannya dalam sepuluh hari ke depan. Apalagi saat ini tersangka utama KPK dalam kasus itu, Inspektur Jenderal Djoko Susilo, belum ditahan. ”Jika dipaksakan diterima, dua tersangka itu akan bebas karena habis masa penahanannya,” katanya.
Tak kunjung usainya polemik dua lembaga penegak hukum ini membuat bingung Budi Susanto, salah satu tersangka yang kini ditahan di rumah tahanan Badan Reserse Kriminal. Menurut dia, tarik-ulur KPK dan polisi menghambat penuntasan kasusnya. ”Bagi saya, cukup satu lembaga saja yang menangani,” ujarnya.
Rufinus, pengacara Budi, menjawab kegalauan kliennya dengan membuat surat pengaduan ke Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dasar pengaduan itu, konflik antara KPK dan kepolisian telah merugikan Budi. ”Surat sudah kami kirimkan,” katanya.
Setri Yasra, Rusman Paraqbueq, Tri Suharman, Muhamad Rizki, Subkhan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo