Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
TNI mengusulkan sejumlah perubahan dalam rencana revisi Undang-Undang TNI.
Usulan itu menunjukkan kemunduran dalam reformasi TNI dan mengancam demokrasi.
Ada upaya memperluas peran TNI di ranah sipil seperti Dwifungsi ABRI.
Ikhsan Yosarie
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI kembali diagendakan pemerintah. Revisi tersebut tengah dalam pembahasan internal pemerintah, khususnya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam keterangannya, Markas Besar TNI telah mengajukan usulan-usulan perubahan dan menyiapkan posisi atau sikap mengenai revisi Undang-Undang TNI ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam bahan presentasi Badan Pembinaan Hukum TNI tertanggal April 2023, sejumlah usulan perubahan pada pasal-pasal tertentu telah diberikan. Namun sejumlah usulan perubahan tersebut justru sama sekali tidak menyumbang pada agenda reformasi TNI. Malah secara nyata bertentangan dengan agenda tersebut.
Sejumlah usulan perubahan itu secara nyata memperluas peran militer di ranah sipil. Kondisi tersebut terlihat, misalnya, melalui usulan perubahan pada Pasal 7 ayat 2 mengenai operasi militer selain perang (OMSP) dengan mengganti diksi "membantu" menjadi "mendukung". Implikasinya, pelibatan TNI dalam OMSP tidak lagi dalam kondisi di luar kemampuan (beyond capacity) institusi sipil, melainkan dapat dilakukan kapan saja. Ruang lingkup OMSP juga semakin diperluas melalui penambahan ruang lingkup, seperti penanggulangan penyalahgunaan narkotik dan zat adiktif serta mendukung pembangunan nasional.
Perluasan peran TNI itu diperkuat dengan penghapusan kebijakan dan keputusan politik negara sebagai dasar pelaksanaan OMSP. Penghapusan tersebut mengakibatkan tiadanya peran Dewan Perwakilan Rakyat, melalui mekanisme rapat konsultasi dan rapat kerja dengan pemerintah, dalam mengawasi OMSP. Padahal mekanisme ini sangat penting sebagai bagian dari kontrol sipil terhadap militer.
Perluasan peran militer juga terlihat melalui usulan perubahan pada Pasal 47 ayat 2 dengan penambahan delapan jabatan sipil yang spesifik serta pelbagai jabatan sipil yang dapat menjadi penafsiran dari satu usulan ketentuan karet, yakni pada Pasal 47 ayat 2 huruf s. Usulan ini secara eksplisit memperlihatkan upaya membawa kembali militer ke ranah sipil. Padahal gerakan reformasi telah mengembalikan militer ke barak agar TNI menjadi militer yang profesional sebagai alat pertahanan negara.
Selain itu, kalaupun prajurit TNI aktif ditempatkan di jabatan sipil, hal itu seharusnya memiliki relevansi dengan aspek pertahanan negara. Namun pelbagai justifikasi yang kerap muncul adalah mengenai kemampuan dan kompetensi prajurit TNI. Hal ini menjadi cerminan cara pandang "dwifungsi ABRI" yang belum berubah, bahwa militer bisa melakukan semuanya. Hal ini juga menyalahgunakan fungsi TNI karena kemampuan dan kompetensi prajurit TNI seharusnya dimaksimalkan untuk tugas utamanya di bidang pertahanan.
Rencana revisi Undang-Undang TNI semakin mencerminkan kemunduran reformasi TNI dengan usulan penghapusan ketentuan peradilan umum bagi prajurit TNI yang melanggar pidana umum. Dalam usulan perubahan tersebut dinyatakan bahwa prajurit TNI hanya tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran pidana militer ataupun pidana umum.
Sebagaimana sering disampaikan Setara Institute, salah satu penyebab berulangnya kekerasan ataupun pelanggaran yang dilakukan prajurit adalah TNI masih menikmati keistimewaan dengan berlindung di balik peradilan militer, yang hanya anggota militer yang tahu bagaimana prosedur dan mekanisme peradilannya dijalankan. Presiden dan DPR semestinya mengagendakan perubahan Undang-Undang Peradilan Militer untuk menegaskan bahwa semua orang, jika melakukan tindakan pidana umum, walaupun dia anggota TNI, tetap harus tunduk pada peradilan umum.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa dalam rencana revisi Undang-Undang TNI terdapat sejumlah usulan perubahan yang akan membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum, dan pemajuan hak asasi manusia. Koalisi juga meminta pemerintah meninjau ulang agenda revisi tersebut karena tidak memiliki urgensi. Selain itu, substansi perubahan yang diusulkan pemerintah dinilai bukan untuk memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak 1998, melainkan malah sebaliknya.
Revisi Undang-Undang TNI seharusnya diposisikan untuk memperkuat agenda reformasi TNI yang sedang berjalan dan mengakselerasi agenda yang selama ini tersendat atau bahkan mengalami kebuntuan. Lebih dari dua dekade setelah Orde Baru runtuh dan 19 tahun setelah terbitnya Undang-Undang TNI, pekerjaan rumah tersebut tidak kunjung tuntas.
Dalam beberapa laporan Setara Institute mengenai kinerja reformasi TNI, misalnya, penghormatan terhadap hak asasi dan supremasi sipil, perluasan peran militer di ranah sipil melalui ketidakdisiplinan terhadap ruang lingkup OMSP dan jabatan sipil bagi prajurit aktif, serta keistimewaan peradilan militer masih menjadi daftar tetap persoalan reformasi TNI dalam beberapa tahun terakhir. Tidak tuntasnya persoalan-persoalan tersebut membuat reformasi TNI relatif tidak melangkah jauh dibanding pada masa awal reformasi. Jika hal itu dibiarkan, yang terjadi kemudian adalah kemunduran dalam reformasi TNI.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo