DALAM pengertian bahasa Arab, konon kata riba memiliki konotasi melipatgandakan. Karena itu, apakah bunga bank, bila dipungut sebagai keuntungan, layak disebut riba, menjadi problematik. Memang. Dalam pandangan modern, kegiatan bank pada hakikatnya adalah "jual beli" uang. Bank membeli uang dari penyimpan. Lalu menjualnya kepada peminjam. Seperti umumnya berniaga, bank memungut laba. Transaksi perniagaan uang di bank dilakukan dengan jujur, terbuka, tidak ada paksaan, dan bersetuju secara ikhlas antara penjual dan pembeli. Saya baca, ada hadis Rasulullah yang mengatakan bahwa saudagar yang tulus dan terpercaya kelak di hari pembalasan akan berada setaraf dengan para kalifah dan syuhada. Pedagang yang jujur akan duduk di bawah keteduhan singgasana Allah tatkala tiba hari perhitungan. Karena itu, berdagang mempunyai tempat terhormat dalam Islam. Rasulullah, Kalifah Abu Bakar, dan Umar Khatab adalah saudagar yang sangat bangga atas profesinya. Tetapi pada zaman itu apakah sudah ada perdagangan uang? Saya tidak tahu. Yang jelas, sepanjang peradaban Islam, membungakan uang sungguh dijauhi. Karena dianggap riba. Dan riba, menurut Islam mazhab mana saja, dosa besar. Nenek saya bilang, orang yang memakan riba akan mencemari seluruh lapisan daging dan kulitnya dengan gumpalan-gumpalan bara menyala. Dosa riba akan menjadi api yang membakar dirinya sepanjang hidup, bahkan sebelum masuk neraka. Karena menarik riba disamakan dengan mengisap darah orang-orang yang menderita. "Mana ada orang berutang uang, kalau tidak karena kesulitan?" seru nenek saya. Padahal, sekarang wajar saudagar meminjam uang di bank. Bukan karena kesusahan. Melainkan kiat perniagaan, untuk kelancaran arus dananya. Uang itu lalu dimanfaatkan untuk membeli hasil tanam petani. Membayar ongkos angkut ke pasar. Mengupah penjaja dagangan. Membawa kemaslahatan. Menciptakan lapangan kerja. Tetapi siapa ulama yang berani mengatakan demikian? Bagaimana dengan sikap kiai dan pesantren? Setahu saya, mereka sangat hati-hati. Ada kiai yang menggunakan jasa bank. Bahkan menyimpan uangnya di bank. Tetapi mereka tidak hendak memakai jasa giro atau bunga simpanannya untuk membeli makanan atau pakaian. Lalu? Ya, dikembalikan ke fakir miskin, sedekah untuk kemaslahatan umat. Atau untuk membeli kebutuhan pengajaran di pesantren: kertas, pensil, dan alat kerja lainnya. Bagaimana kalau alat kerja itu dimanfaatkan untuk mencari nafkah? Saya pun dengan istigfar mereka-reka. Siapa tahu, tapi itu bisa padam oleh kejujuran dan cucuran keringat orang yang tulus bekerja. Bahkan di dalam pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, ada bank, BRI. Kiai Yusuf Hasyim tanpa keraguan mengatakan bahwa dengan bank pelayanan keuangan santri menjadi lebih tertib. Tidak ada uang hilang seperti tatkala disimpan di bawah bantal santri. Administrasi keuangan pesantren menjadi sangkil dan mangkus. Hitungan menjadi rinci dan jelas. Sejak itu tiap tahun Tebu Ireng bisa investasi. "Yang penting saya tidak makan atau mencari nafkah dari membungakan uang. Bahkan, karena ada bank, menyentuh dana pesantren saja tak perlu lagi. Dan itu, alhamdulillah, menjauhkan godaan setan dalam mengelola keuangan pesantren. Sistem perbankan mengandung unsur pengawasan melekat," kata Kiai Yusuf Hasyim dengan bersemangat. Toh Kiai progresif dari Jombang ini tetap tidak mengizinkan bank itu memasang papan namanya secara mencolok di pekarangan pesantrennya. "Peka," katanya. Memang. Realita kesenjangan kaya miskin yang mencolok di antara umat Islam menyebabkan masalah riba tetap menjadi isu peka. Tidak mungkin membicarakan perkara ini dengan jernih di kalangan awam. Bisa salah paham. Maka, tatkala seorang muslim menghadapi tuntutan realita kemasyarakatan di bidang perbankan, mereka mengambil posisi menurut persepsi pribadinya. Cak Nur, misalnya, menafsirkan riba itu sama dengan exploitation de l'homme par l'homme. Bila unsur exploitation tidak ada, ia tidak disebut riba. Batasnya? Nurani yang dibingkai oleh iman taqwa dan ilmu. Angin pembaruan pemikiran Islam, juga di bidang perbankan, saya rasa tidak bisa dan tidak pada tempatnya dibendung. Kalau tidak, para Fuqaha akan diledek oleh praktek lintah darat mengelabuhi hukum Islam secara karikatural. Contoh: Suatu hari saya memeriksa kegiatan juru bayar yang dilaporkan membungakan uang. Saya menemukan bahwa di rak kerjanya tersimpan beberapa kemeja dan kain batik. "Nyambi dagang kecil-kecilan, Pak," katanya tersipu-sipu. Rupanya, barang-barang itu akan sibuk pada tanggung bulan. Pegawai kecil yang butuh uang, "membeli" kemeja atau kain itu. Bayarnya habis bulan. Harga kemeja dua puluh ribu. Beberapa menit kemudian kemeja itu dijual kembali. Kepada juru bayar yang sama. Tunai, lima belas ribu! Ikhlas. Suka sama suka. Ada saksi. Maka "halal dan mulia"-lah perniagaannya. Atau kiat sementara santri dalam menjalankan koperasi simpan pinjamnya. Tidak boleh ada bunga. Yang ada harga formulir. Warna kuning, lima puluh ribu, untuk pinjaman lima ratus ribu. Warna merah, seratus ribu, untuk utang satu juta. Pinjaman tanpa bunga. Jual beli formulir terkena hukum niaga biasa. Musykil. Karena itu, hai para fuqaha, beri hak mereka jalan yang maton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini