SATU butir dari laporan Bank Dunia yang sebetulnya berstatus rahasia sempat membuat ramai debat umum di Jakarta. Laporan yang konfidensial ini (mungkin oleh suatu pihak asing) dibocorkan ke kantor berita Inggris, Reuters, yang lalu mencuplik satu butir dari Executive Summary-nya yang menyangkut peran teknoloi tinggi di Indonesia. Di harian Kompas tanggal 4 Juni terbaca: ''Bank Dunia menyampaikan catatan khusus terhadap strategi pengembangan industri teknologi tinggi ketimbang upaya penciptaan lapangan kerja bagi 70 juta angkatan kerja. Pihak Bank Dunia menilai pilihan kebijakan itu kurang tepat dan terbukti menguras banyak dana dan kurang efektif di beberapa negara lain. Diingatkan oleh Bank Dunia agar Indonesia tetap bertumpu pada strategi pertumbuhan ekonomi yang broad-based, yang akan mampu menciptakan lapangan kerja untuk 70 juta angkatan kerjanya.'' Menteri Negara Riset dan Teknologi Habibie, yang dipandang menjadi tujuan ''catatan'' itu, menjawab bahwa masalahnya ia serahkan kepada Mandataris. Kita tahu bahwa teknologi masuk dalam GBHN 1993 sehingga menjadi suatu komitmen nasional yang normatif. Akan tetapi, GBHN 1993 juga memuat komitmen-komitmen lain sehingga yang penting adalah bagaimana nanti keseimbangan dalam pelaksanaannya. Habibie yakin bahwa kalau mau melakukan lompatan dalam memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi daripada produk hasil industri, kita harus mengenali produk- produk yang dijadikan produk unggulan, dan terhadap produk prioritas ini diterapkan teknologi canggih. Produk-produk demikian memerlukan biaya riset dan pengembangan (R&D) yang mahal serta investasi yang sangat tinggi, yang untuk sementara perlu disubsidi dan dilindungi oleh Pemerintah agar mampu bersaing di pasaran global. Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo menanggapi bahwa Indonesia tetap akan melaju dengan industri padat teknologi itu. Sebab, industri demikian, termasuk di dalamnya kelompok industri mesin logam dasar dan elektronika (IM-LDE), belakangan termasuk penyumbang devisa dengan persentase yang terus meningkat. Tetapi, industri IM-LDE yang mampu ekspor ini tumbuh atas kekuatan sendiri tanpa memerlukan subsidi atau dukungan khusus Pemerintah. Yang lebih penting adalah kebebasan yang diberikan oleh deregulasi peraturan. Sekaligus, ini menunjukkan industri hi-tech (atau tek-ti, teknologi tinggi) tidak boleh disamaratakan. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Ginandjar Kartasasmita, juga terpanggil untuk membela posisi Indonesia, tetapi dengan suara yang lebih seimbang. Dikatakannya bahwa pengembangan teknologi tinggi paralel dengan broad-based tech (kutipan kepala berita dari Kompas, 7 Juni 1993). Maka, tidak benar jika ada tuduhan bahwa Indonesia lebih condong ke pengenalan teknologi tinggi yang padat teknologi, ketimbang broad-based tech yang padat karya dan mampu menciptakan lapangan kerja yang luas. Begitulah status dari perdebatan umum yang seolah-olah dilakukan oleh Bank Dunia di satu pihak dan pemerintah RI di lain pihak. Pasti Bank Dunia tidak bermaksud berpolemik di muka umum. Bahwa laporannya yang serba konfidensial dibocorkan oleh suatu pihak ketiga, Bank Dunia tidak dapat disalahkan. Sebaliknya, bagi masyarakat, hikmahnya adalah tambah transparan pola kebijaksanaan ekonomi Pemerintah. Kerahasiaan laporan Bank Dunia juga kurang efektif karena setiap tahun bocor. Setiap tahun, menjelang pertemuan konsorsium bantuan ekonomi, baik Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasional membuat laporan dan analisa untuk menfokuskan pembicaraannya. Setelah Bank Dunia menjadi ketua CGI, perannya menjadi lebih penting. Tidak berarti bahwa Indonesia harus menuruti segala ''nasihat'' Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional untuk memperoleh dukungannya di Paris itu. Pada tahun-tahun lalu laporan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional juga mengandung unsur-unsur yang serba kritis, tetapi Indonesia jarang sekali dikecewakan harapannya untuk jumlah kredit baru dari IGGI atau CGI. Laporan Bank Dunia harus dibaca secara keseluruhan, dan ternyata laporan itu sering mendukung posisi Indonesia. Bahwa lembaga keuangan internasional itu di sana- sini menyarankan perombakan atau penyempurnaan kebijaksanaan ekonomi pemerintah Indonesia, itu harus kita terima dengan lapang dada. Susahnya memang, kalau sebutir kritik masuk media massa, masalahnya menjadi sangat sensitif dan seolah-olah Pemerintah kehilangan muka kalau tidak segera menolak atau menentangnya. Tetapi hal demikian juga akibat kurang transparannya hubungan pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional bagi masyarakat. Harus diakui, akhir-akhir ini ada suatu sentimen muncul di kalangan masyarakat yang serba kritis terhadap keadaan dan kebijaksanaan ekonomi Pemerintah sampai sekarang. Perasaan yang mencerminkan ''nasionalisme ekonomi'' ini tidak dapat diremehkan. Orang gusar melihat jumlah utang luar negeri sangat besar dan masih terus bertambah. Debt service ratio yang melebihi 30% dipandang gawat. Pengeluaran terbesar dalam APBN Pemerintah adalah untuk menyervis utang ini, sehingga kemampuan untuk memperbaiki nasib pegawai negeri dan untuk meningkatkan anggaran belanja pembangunan menjadi kecil sekali. Perawatan infrastruktur juga sering menjadi korban sempitnya APBN karena besar anggaran belanja rutin (yang memuat pos untuk perawatan ini) tidak bisa diperbesar. Untuk membiayai anggaran belanja pembangunan, Pemerintah tetap memerlukan injeksi bantuan CGI. Situasi yang serba kejepit tentu jelek, tapi ada hikmahnya. Jeleknya, prospek pertumbuhan ekonomi tidak terlalu cerah karena kemampuan dan kesediaan sektor perbankan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sekarang dan pada tahun-tahun yang akan datang serba terbatas. Indonesia juga sudah mempunyai country risk rating yang sudah agak memburuk. ''Hikmah'' keadaan terjepit demikian, baik pemerintah maupun swasta didesak dan terpaksa hati-hati dan berhemat. Sebetulnya, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh tanpa tambahan investasi besar, yakni dengan perbaikan efisiensi serta produktivitasnya. Nyatanya, capital-output ratio selama Pelita V masih di atas 4. Pemerintah harus betul-betul melakukan streamlining birokrasi yang menghambat operasi serta pemekaran dunia usaha. Swasta jangan terlalu mempunyai obsesi mengadakan investasi besar- besaran untuk menandingi saingannya, seperti sekarang tampak pada perlombaan investasi di bidang properti, hotel, lapangan golf, atau apartemen. Kejenuhan kelak akan mendatangkan kerugian besar. Kalau seorang menteri mengajukan proyek besar yang memerlukan pembiayaan bermiliar dolar, seluruh jajaran Pemerintah harus sadar akan opportunity costs. Artinya, kalau jumlah investasi yang besar itu dipakai di tempat lain untuk proyek lain, apakah kesejahteraan rakyat Indonesia tidak lebih terlayani? Selalu bisa dikatakan, demi kepentingan jangka panjang, proyek-proyek besar harus dan wajib dilaksanakan. Kepentingan jangka panjang memang sangat penting, tetapi ada banyak jalan untuk mengamankannya. Lagi pula, tahun sembilan puluhan ini bagi Indonesia kurang menguntungkan ketimbang tahun tujuh puluhan, ketika rezeki minyak masih berlimpah dan utang internasional belum membengkak. Ada seorang bekas wakil presiden yang terkenal sikap meng- ujinya terhadap berbagai usulan menteri. Pertanyaan standarnya: ''Apa perlu?'', ''Apa perlu sekarang?'', ''Apa tidak ada jalan lain?'' Kita perlu seorang penjaga gawang seperti itu. Bank Dunia (dan konsultan Barat seperti dari Harvard) akhir- akhir ini memang kurang populer karena nasihat mereka tidak sejajar dengan aspirasi nasional kita. Bahkan ada yang curiga mereka itu kaki tangan imperialisme baru. Yang bisa membahayakan keseimbangan neraca pembayaran bukan teknologi tinggi itu sendiri. Yang lebih harus diwaspadai adalah proyek-proyek besar atau megaproject, yang masing-masing memerlukan pembiayaan lebih dari satu miliar dolar. Apa yang tidak urgen sekarang harus dipertimbangkan matang-matang. Ada sejumlah keperluan yang betul-betul lebih mendesak. Kelemahan ekonomi Indonesia sekarang adalah banyaknya bottle neck infrastruktur, seperti di telkom, listrik, atau pelabuhan. Kalau pelabuhan dan bandar udara Singapura sementara ini bisa dimanfaatkan, apa gunanya menyainginya dengan membangun sendiri di tempat yang dekat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini