ADA sedikit kehebohan di Bandung. Sebuah buku diprotes umat Islam karena dianggap bisa membahayakan akidah. Buku berjudul Desain Yahudi atau Kehendak Tuhan, Narasi-Narasi Besar bagi Sebuah Sejarah Dunia diterjemahkan oleh Al Toro dari karya Max I. Dimont, Jews, God and History itu mengungkapkan sejarah bangsa Yahudi sejak masa purba sampai zaman mutakhir. Meskipun buku ini memaparkan kenyataan sejarah, ternyata Dimont tak sepenuhnya bersikap sebagai sejarawan yang netral. Dimont, yang juga Yahudi (dan agaknya sekular) itu, terlalu menonjolkan dan bahkan mengagung-agungkan keberadaan dan peran kaum Yahudi yang memang kaya dengan orang besar yang mempengaruhi sejarah dunia. Para nabi seperti Ibrahim, Yakub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Musa, Harun, dan Isa adalah orang Yahudi. Para ''nabi modern'' seperti Einstein, Freud, dan Karl Marx adalah jenius Yahudi. Kelebihan bangsa ini pun direkam Quran dalam Surat Al-Baqarah Ayat 47: Wa anni fadhdholtukum 'alal 'alamin (Dan ingatlah bahwa Aku telah melebihkan kamu atas segala umat) satu hal yang membikin congkak ''bangsa terpilih'' ini. Sejak semula, mereka mengingkari nabinya sendiri, misalnya Musa. Mereka juga mengejar-ngejar Isa dan menyangkal kerasulan Muhammad. Muhammad memperlakukan mereka sebagai ahlul kitab (kaum yang memeluk agama berdasarkan kitab suci) dan mengajak hidup berdampingan berdasarkan kalimatun sawa, titik temu. Tapi mereka tetap keras kepala seperti direkam dalam Quran. Dalam Surat Al-Baqarah, misalnya, secara panjang lebar diceritakan betapa kaum Yahudi mempermainkan dan terlalu banyak bertanya kepada Nabi Musa. Dalam ayat terakhir Surat Al-Fatihah, mereka bahkan disebut sebagai maghdub, yang terkutuk. Itu tak berarti ada semangat rasialis anti-Yahudi. Dalam Surat Ali Imran Ayat 113, misalnya, diakui adanya orang Yahudi yang saleh dan secara jujur mengakui kebenaran. Tapi memang potret kaum Yahudi telanjur buram. Pada tahun 1948 mereka mendirikan Negara Israel yang meliputi wilayah yang selama itu didiami bangsa Palestina. Tapi pembeberan sejarah ini ternyata hanya untuk memperkuat ''peran sejarah'' bangsa Yahudi. Dalam beberapa hal, Dimont kadang tak jujur. Ia, misalnya, menuduh bahwa yang menyalib Isa adalah tentara Romawi, bukan orang Yahudi (halaman 104). Ini bertentangan dengan sejarah dan iman Kristiani. Hal lain yang diprotes ialah tulisan Dimont yang menyebut Hajar Aswad di Kabah sebagai yang disembah. Ia menilai bahwa berita mengenai kitab-kitab suci dan nabi- nabi dalam Quran tak lain karena sebelumnya Muhammad sudah akrab dengan kitab-kitab suci itu. Sampai di sini pikiran Dimont rancu. Di lain pihak ia mengakui Muhammad buta huruf, tapi belakangan ''berhasil mempelajari seni membaca cepat melalui wahyu'' (halaman 147) dan ''sangat familier dengan Bibel'' (halaman 148). Kalau memang wahyu dapat mengajar orang membaca, bahkan ''familier'' terhadap bahasa kitab suci yang sulit, tentulah itu suatu mukjizat di luar kemampuan manusia. Dan kalau Muhammad mendapat wahyu, tentu ia bukan orang sembarangan. Dimont juga menulis bahwa agama Yahudi merupakan sumber agama Nasrani dan Islam. Bahkan, ''Judaisme masih melahirkan agama lain, Islam'' dan bangsa Yahudi-lah yang mempersiapkan mulusnya kedatangan Muhammad. ''Pentas dipersiapkan bagi sang pahlawan dalam sejarah untuk menggabungkan penyembahan alam bangsa Arab, doktrin penyelamatan kaum Kristen, dan monoteisme bangsa Yahudi ke dalam citra baru Tuhan. Sang pahlawan adalah Muhammad, pernyataan kredonya adalah Islamisme, dan ideologi yang memotivasi adalah Judaisme''. Islam merupakan kelanjutan, sekaligus mengklaim sebagai penyempurna agama pendahulunya. Tapi dalam peradaban Islam-lah, seperti diakui oleh Dimont, orang Yahudi mengalami zaman keemasan. Mereka tampil sebagai negarawan, filsuf, dokter, ilmuwan, dan konglomerat. Mereka menguasai bahasa Yunani, Arab, Suryani, dan Persia. Sebagian di antaranya adalah Yahudi Islam (Islamic Jews), seperti disebut Dimont dalam bukunya yang lain, The Indestructible Jews, yang dijadikan referensi oleh Nurcholish Madjid dalam Islam, Doktrin dan Peradaban. Karena ada beberapa bagian yang menganggap rendah Islam, beberapa ulama, cendekiawan, dan mahasiswa Islam di Bandung menentang peredaran buku ini. Minggu lalu, Kejaksaan Tinggi Bandung menyita separuh dari sekitar 5.000 eksemplar yang diterbitkan oleh Eraseni Media, Bandung. Dan kini, kabarnya, Kejaksaan Agung membahasnya. Merebaknya protes ini sejak semula sudah diduga Sigit Haryoto, penyuntingnya. Penerjemah dan penerbitnya pun, dalam kata pengantar buku ini, sudah memperhitungkannya. Mereka sudah menduga bahwa buku yang demikian menyinggung, amat sekuler, dengan materi yang tampak sebagai sosok yang menyeramkan ini bisa menimbulkan salah paham. Dan ternyata benar meskipun dalam Bab V penyunting sudah menggunting beberapa paragraf yang ''amat menyakitkan umat Islam'', yang ditulis Dimont dengan gayanya yang sok. Penerbit berharap buku ini bisa menjadi bahan bagi sikap kritis dan refleksi. Tapi ia lupa bahwa masyarakat sangat tidak siap untuk itu. Dan meskipun penerjemah dan penyuntingnya cukup kaya dengan bahan referensi karena konon mereka punya klub buku kearifan dan bukan kesembronoan kiranya sangatlah diperlukan. Budiman S. Hartoyo, Ardian T. Gesuri, dan Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini