RUMAH itu scbuah rumah bcrlantai batu di jalan kampung. Ketika saya masih kccil dan tinggal sebentar di Kota Parakan, Jawa Tengah, salah seorang kakak perempuan saya menunukkan bangunan tua yang agak kumuh itu sambil berbisik, "Itu rumah Meester Roem, waktu segede kamu." Nama "Meester Roem" pasti punya daya tersendiri sudah, di tahun 1947 itu. Saya tak tahu persis kenapa. Tapi yang jelas mbakyu saya menunjukkan rumah di Desa Klewogan itu bagaikan seorang pandu turis menunjukkan sebuah tempat bersejarah. Kami tentu saja bukan turis. Kami hanya salah satu rombongan pengungsi yang menyingkir dari kota yang diduduki Belanda, untuk bergabung dengan "orang republik". Dan Parakan termasuk penduduk kota yang masih beban. Setelah agresi Belanda pertama, kota itu pun padat dengan keluarga gerilya, atau sejenisnya, yang percaya betul bahwa sekali merdeka tetap merdeka, dan karena itu mereka mengungsi dan karena itu mereka bicara banyak tentang "perjuangan" - biarpun kepada anak-anak. Meester Roem pasti orang penting dalam perjuangan, begitu kesimpulan saya pada umur ,enam tahun, remang-remang. Kini, 37 tahun kemudian, saya coba membayangkan kembali rumah gebyok di jalan kampung itu. Jelas bangunan itu lebih menonjol ketimbang rumah lain yang berdesak. Tapi jelas pula, ia bagian dari daerah lapisan rakyat. Saya kemudian tahu bahwa Meester Roem itu, yakni Mr. Mohamad Roem, diplomat dan tokoh politik terkenal itu, adalah anak lurah desa. Desa itu, sebagai bagian dari Parakan yang tak teramat rapi, bukan desa yang terkucil. Kenangan saya dari masa kecil di sana itu ialah sebuah jalan dekat pasar. Di tepinya beberapa gerobak diparkir. Isinya: babi-babi dalam keranjang panjang, yang disiapkan ke abatoar. Tapi jangan menyangka kota ini kota ham. Parakan, di sekitar 1947 itu, justru terkenal oleh sebuah dongeng: ratusan pemuda datang untuk beroleh senjata sakti menghadapi militer Belanda - sepucuk bambu runcing dari Kiai Subekhi. Demikianlah: ada babi, ada revolusi, ada takhayul, ada kiai. Parakan memang bukan kota tertutup. Dan Roem dibesarkan di kota itu. Sebagaimana banyak orang Jawa Tengah pada abad ke-20, ia pasti memergoki pelbagai konfrontasi sosial dan budaya sejak masa kecilnya. Dari sana, seorang bisa ringan hati dan berpandangan lunak, atau sebaliknya. Roem termasuk yang pertama. Ia memang tidak dibesarkan di bawah tangan seorang bapak yang kaku dan keras, yang sering menumbuhkan anak yang kaku dan keras pula. Suatu hari, Roem kecil dapat instruksi dari neneknya di meja makan: ia tak boleh makan ati, rempelo, brutu - bagian-bagian dari ayam yang disajikan. Ora ilok, kata nenek, itu pemali. Roem pun mencoba protes. Tapi ayahnya, yang juga hadir di meja makan, memberi isyarat agar ia tunduk. Roem pun tunduk. Namun, ayah yang baik itu tak cuma sckadar melarang. Ia menjelaskan, sembari ketawa, ati, rempelo, brutu itu bagian-bagian ayam yang enak, dan karena itu cuma hak khusus nenek, ayah, ibu. Tentang ora ilok? Itu takhayul, kata sang ayah. Tapi kita tak usah menyatakan hal itu di depan nenek. Kita harus menghormati kepercayaan nenek, meskipun kita tak setuju dan tak membenarkan. Lalu Roem kecilpun ditraktir ayahnya, di sebuah warung nasi, ati ayam. Dengan syarat: di rumah ia tak usah bercerita kepada nenek tentang pengalaman istimewanya itu . Anekdot seperti itu, dalam buku Mohamad Roem 70 Tahun, segar, hangat, dan juga membukakan pintu ke dunia Roem: sejak mula ia menyadari bagaimana orang harus hidup dengan orang yang berbeda pandangan, bahkan berbeda kepercayaan. Rumah Lurah Dulkarnen Djojosasmito, juga Desa Klewogan, Kota Parakan, dan pengalaman masa kecil itu, semuanya adalah miniatur dari Indonesia yang berubah dan sekaligus beragam. Di dalamnya, orang harus bijaksana tak mendesak-desak dan tak memaksa, tapi menolak didesak dan dipaksa. Karena itulah Roem mengecam keras para "pengkhabar Injil" yang dulu suka mengetuk pintu orang-orang Islam - bahkan, dengan humor khas Roem, mendatangi pula rumah Bapak Uskup agar mengubah agamanya. Karena itu, juga dalam sebuah tulisan pada 1973, tentang Piagam Jakarta, ia tak menganggap bahwa kewajiban menjalankan syari'at Islam punya arti yundis, "yang membawa akibat hukum yang dapat dipaksakan". Bila Roem bicara tentang toleransi, ia sebenarnya juga bicara tentang demokrasi. Dan ia hidup sehari-hari dengan pendirian itu. Kemudian ia meninggal. Kemudian orang, seperti biasa, segera melupakannya. Maka, ketika pada hari Proklamasi 1984 ia dinyatakan akan menerima Bintang Mahaputra kelas II, tiba-tiba saya pun teringat orang tua itu, yang lahir di sebuah rumah gebyok di Parakan. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini