TAMPAKNYA sudah menjadi semacam dalil: untuk menjadi modern, suatu masyarakat harus menguasai teknologi. Dan untuk menguasai teknologi, prasyarat utama adalah masyarakat tersebut harus pula menguasai ilmu pengetahuan (sains). Yang dimaksudkan dengan teknologi di sini bukan hanya yang berupa perangkat keras, melainkan suatu bentuk penyelesaian masalah yang dikembangkan atas dasar perhitungan ilmiah pendekatan yang rasional dan analitis, bukan yang emosional dan irasional. Maka, pemimpin negara yang mencoba menyelesaikan masalah dengan pendekatan ilmiah, atau rasional dan analitis, tak emosional atau irasional, dinamakan teknokrat. Mereka berbeda dengan politikus yang gemar menggunakan cara-cara yang emosional dan kalau perlu irasional demi memenangkan diri atau kelompoknya. Masuk akal atau tidak, segala sesuatu yang datang dari lawannya harus ditentang. Karena persepsi setiap masyarakat tentang kebutuhan dan masalah mereka berbeda-beda, teknologi pun akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tempat teknologi itu diciptakan dan karenanya teknologi tidak dapat bersifat bebas nilai. Berbeda dengan sains yang menurut sebagian pakar bersifat bebas nilai. Faktor nilai inilah yang kemudian selalu dicurigai oleh masyarakat negara berkembang jika hendak menyerap teknologi dari negara maju, khususnya Barat. Mereka ingin memisahkan teknologi dari nilai yang melekat di dalamnya, yang tidak selamanya berhasil. Yang muncul kemudian adalah sikap setengah- setengah, yang dikamuflase dengan slogan-slogan yang melayang, bagaikan pelangi yang tampak indah tapi sebenarnya hanya merupakan pembiasan dari cahaya yang semula lurus. Untuk menguasai teknologi diperlukan penguasaan ilmu, dan untuk menguasai ilmu diperlukan informasi. Proses modernisasi memang harus disertai dengan pembukaan jalur informasi yang selebar mungkin, karena itu masyarakat modern makin haus informasi. Maka, Barat pun lalu membanjiri dunia, termasuk negara berkembang, dengan berbagai informasi, disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan pemberi informasi. Informasi pun menjadi bagian dari teknologi, teknologi untuk mempengaruhi pikiran orang dan masyarakat lain, dan kalau perlu untuk menundukkan mereka. Informasi pun tidak bebas nilai. Maka, mereka yang menguasai informasi akan dapat menularkan nilai- nilai itu ke dalam pikiran dan budaya orang lain. Dalam hal ini, termasuk budaya ketergantungan kepada teknologi, terutama teknologi yang dikembangkan negara maju. Ketika budaya suatu masyarakat sudah tunduk kepada teknologi, tibalah zaman yang oleh Neil Postman (dosen ilmu komunikasi Universitas New York) disebut sebagai zaman teknopoli. ''Teknopoli adalah suatu sikap budaya, dan juga sikap berpikir yang ditandai dengan pendewaan teknologi. Ketika budaya meminta wewenang seeks its authorization dari teknologi, memperoleh kepuasan dalam teknologi, dan menunggu perintah dari teknologi,'' tulisnya. Jika informasi yang juga sudah menjadi teknologi kemudian membanjiri masyarakat yang sedang haus akan informasi karena ingin menjadi modern, akan terjadi ''kekacauan informasi''. Kekacauan informasi dapat menimbulkan dampak seperti halnya virus AIDS pada tubuh manusia. Ketahanan masyarakat yang terkena akan runtuh, dan masyarakat itu pun akan runtuh. Postman mengajukan resep agar masyarakat yang menjadi sasaran derasnya informasi yang kacau itu dapat bertahan, yaitu dengan memperkuat peranan lembaga masyarakat. Kuat dalam kaitan ini bukan secara fisik, tetapi kuat dalam arti mampu memberikan vaksinasi kepada masyarakat itu sendiri melalui penyaringan dan memberikan informasi pembanding. Institusi sosial yang mampu menyaring informasi mana yang boleh masuk dan mana yang tidak. Jika insitusi tersebut tak mampu menyaring, paling sedikit mampu menyediakan pembanding yang setidaknya sama kuat dengan yang dari luar. Bubarnya Uni Soviet, salah satu sebabnya adalah masuknya informasi deras dari luar yang tak terimbangi oleh informasi dari dalam. Dan Indonesia? Arus informasi dari luar secara terbuka masuk, tapi institusi sosial yang ada belum atau bahkan tidak menyediakan pembanding yang seimbang. Sebaliknya mereka justru ikut terjun dalam mengutip dan meniru atau bahkan memperbesar pola informasi yang dari luar itu, terutama dalam aspek kulitnya, karena mereka mengira bahwa itu adalah lambang masyarakat modern. Bahkan lembaga-lembaga sosial tradisional, yang oleh Postman dianggap mempunyai kekuatan untuk menjaga ketahanan budaya masyarakat, sering diubah atau dihapus disesuaikan dengan teknologi rekayasa sosial modern demi memudahkan kerja birokrasi (yang juga sebuah teknologi). ''The effort is mostly doomed to failure,'' kata Postman. Cara ini lebih banyak berakhir dengan kegagalan yang menjurus ke keruntuhan daya tahan. Maka, kekacauan pun makin bertambah, masyarakat tidak tahu lagi mana yang luar dan mana yang dari bangsanya sendiri, kecuali slogan-slogan. Akan terjadilah keadaan yang oleh Postman disebut sebagai broken defense, atau runtuhnya ketahanan kita? Audzubillahi mindzalik, mudah-mudahan tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini