Kita harus bersyukur bahwa pemerintah telah berupaya keras untuk memiliki satu sistem pendidikan nasional yang mantap dengan mengajukan RUU Pendidikan Nasional (TEMPO, 6 Agustus, Pendidikan). Namun, materinya masih harus banyak dibenahi. Bukan cuma soal tata bahasa atau teknis penyusunan perundang-undangannya. Ada hal-hal mendasar yang mungkin akan menjadi perdebatan seru diparlemen. Sudah menjadi asas bahwa tiap peraturan perundang-undangan harus jelas ruang lingkupnya. Yakni ke arah mana tujuan akan dicapai oleh RUU Pendidikan Nasional itu. Soal tujuannya, pengertian yang diperoleh dari RUU itu ialah bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, bukan pendidikan nasional. Untuk mengetahui pengertian pengajaran, tidak ada definisinya di Bab 1. Padahal, pengertian pendidikan dan pengajaran berbeda. Pengajaran nasional adalah berjenjang dari sekolah taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Sementara itu, pengertian pendidikan lebih bersifat umum dari Yang disebut pengajar adalah guru atau dosen. Namun, perlu dipahami bahwa pengajar atau dosen, di samping tugas utamanya sebagai pengajar, mereka juga pendidik. Sebab, tujuan utama pengajaran adalah menghasilkan anak didik yang intelektual dan spiritual. Anak didik itulah yang diingini sistem pendidikan nasional. Orangtua di rumah merupakan pendidik untuk anak-anak mereka, bukan pengajar. Dalam RUU ada istilah "peserta didikan". Yang dimaksud adalah murid atau mahasiswa. Tetapi betulkah istilah "peserta didikan" itu? Kalau mau konsekuen, tentunya ditulis "peserta didik". Sebab kata "didikan" menunjukkan arti "hasil mendidik". Kalau kita mau lebih konsisten, seharusnya istilah tersebut adalah "peserta ajar". Yakni murid yang mengikuti pelajaran di sekolah. Pada Bab Vll tertulis judul bab "Tenaga Kependidikan". Maksudnya, mungkin, mengenai tenaga pendidik. Kalau begitu maksudnya, mengapa tidak diistilahkan "Ketenaga pendidikan". Atau lebih konsisten "Ketenagapengajaran".... Dalam Bab XVII, Ketentuan Peralihan (pasal 58 RUU Pendidikan Nasional) disebutkan: "semua peraturan pelaksanaan" UU nomor 4/1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, UU nomor 12/ 1954 tentang pernyataan berlakunya UU nomor 4/1950 .... Ini, tentu, menyangkut kebijaksanaan pemerintah. Namun, apakah hal itu dibenarkan dalam teknis penyusunan peraturan perundang-undangan? Rasanya aneh bila peraturan pelaksanaan dipertahankan, sedangkan undang-undangnya, yang merupakan cantolannya, dinyatakan "tidak berlaku" lagi oleh undang-undang baru. Undang-undang tentang Pendidikan Nasional (kalau sudah disahkan) itu bukan hanya untuk kurun waktu satu atau dua tahun saja. Tetapi untuk kurun waktu panjang. Kalau ada peraturan pelaksanaan masih dipertahankan, yang dinyatakan dalam bab ketentuan peralihan, tidakkah ini akan mengganggu tujuan kebijaksanaan pemerintah yang berupa undang-undang tersebut? Jalan termudah memecahkan masalah di atas adalah dengan menyusun dan menerbitkan satu paket bersama-sama rancangan undang-undang dengan rancangan peraturan pelaksanaannya. Sehingga, tak ada aturan peralihan yang masih memberlakukan peraturan pelaksanaan sebagai anak yang ibunya sudah dimatikan. Kebijaksanaan pemerintah berupa perundang-undangan harus mempunyai ruang lingkup jelas. Sehingga, masyarakat tidak akan bertanya-tanya lagi, apakah pendidikan termasuk pula pengajaran atau sebaliknya. SUHARIYONO AR, S.H. Kompleks Mahkamah Agung Nomor S Jalan Kalibata Tengah Jakarta 12740
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini