Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebelum Jalan itu Akhirnya Terbuka

Akhir tahun 1988 diduga Timor Timur akan dinyatakan sebagai daerah terbuka. Banyak perubahan terjadi, mulai dari ekonomi, sosial dan politik. Carrascalao menyatakan aman, tapi masih ada kekacauan.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN panjang membentang dari Dili menuju ke kota-kota kecil lain. Rapi dan mengesankan. Bagi orang Timor Timur, bentangan ini mungkin simbolik. Jalan itu tanda sebuah perubahan besar: di wilayah itu kini panjangnya 683 km -- padahal delapan tahun yang lalu cuma 20 km. Tapi jalan itu juga sebuah kesempatan bergerak yang belum dilalui. Kesempatan dan keleluasaan itulah yang mungkin diharapkan oleh gubernur wilayah itu, Mario Viegas Carrascalao, ketika ia meminta agar provinsinya segera "dibuka". Selama ini, ketentuan "surat jalan" berlaku di wilayah yang dulu jajahan Portugis dan sejak 12 tahun yan lalu berintegrasi dengan Indonesia itu. Surat jalan ini berlaku bukan saja buat orang luar yang akan masuk Tim-Tim, tapi juga bagi warga Tim-Tim yang akan keluar. Bahkan warga Tim-Tim -- dari kawasan yang keamanannya masih rawan -- yang akan bepergian ke kabupaten lain juga memerlukan surat ini. Surat jalan untuk perjalanan antarkabupaten ini, menurut Carrascalao, memang diperlukan bukan hanya karena demi keamanan. "Sebagian besar penduduk Timor Timur tak punya kartu penduduk atau kartu identitas diri," katanya dua pekan lalu. Namun, ketentuan ini. tutur Carrascalao, telah membuat rakyat Timor Timur "tidak bahagia". Antara lain dalam hubungan itulah ia mengimbau agar Tim-Tim segera dinyatakan terbuka (TEMPO, 27 Agustus 1988). Harapan itu tampaknya akan terpenuhi. Insya Allah. Menurut sebuah sumber, belum lama ini telah tercapai kesepakatan di antara sejumlah pejabat -- antara lain Menteri Dalam Negeri Rudini, Menteri Luar Negeri Ali Alatas, dan Menhankam L.B. Moerdani -- untuk mengakhiri ketertutupan provinsi ke-27 RI itu. Tentu saja keputusan terakhir ada di tangan Presiden Soeharto. Namun, setidaknya buat pertimbangan ke luar, citra Timor Timur yang terbuka bisa punya arti penting. Indonesia sedang berusaha jadi tuan rumah Konperensi Non-Blok nanti. Para diplomatnya yang sibuk selama ini sering menyatakan bahwa mereka selalu menghadapi pertanyaan yang rutin itu: kalau Timor Timur memang sudah jadi provinsi Indonesia mengapa masih dinyatakan tertutup? Sebentar lagi, kabarnya akhir tahun ini pertanyaan macam itu bisa dijawab dengan mudah: persiapan ke arah pengumuman "keterbukaan" itu sudah mulai dilakukan. Kalau betul begitu, ini bakal jadi semacam hadiah Natal bagi masyarakat yang sebagian besar Katolik di Timor-Timur itu. Yang masih belum jelas, seberapa jauh Tim-Tim akan dibuka. Terbuka toh tak berarti strip tease, khususnya bagi sebuah wilayah yang bagaimanapun masih bisa dinilai rawan. Soalnya, meski Gubernur Carrascalao menyatakan 99% Tim-Tim sudah aman, di kawasan timur seperti Baucau, Viqueque, dan Los Palos masih ada masalah keamanan. Selain soal keamanan, ada faktor lain: Tim-Tim yang terbuka bisa menyebabkan daerah ini diserbu petualang dan bermacam penyakit sosial lain. Memang, sepintas penduduk sudah mulai siap. Buta aksara, yang pada zaman penjajahan Portugis mencapai sekitar 98%, kini tinggal sekitar 54%. Kesehatan masyarakat membaik, jika diukur dengan banyaknya dokter di sana: buat tiap 6 ribu penduduk ada satu orang dokter. Ini lebih tinggi ketimbang angka perbandingan rata-rata di Indonesia, dengan seorang dokter buat 15 ribu penduduk. Pendapatan per kapita penduduk Tim-Tim saat ini sekitar US$ 200 setahun, dibanding US$ 40 pada 1976. Di Dili juga telah ada Universitas Timor Timur, yang memasuki tahun kedua, dengan 600 mahasiswa. Selain itu sekarang ada sekitar 1.000 mahasiswa Tim-Tim yang belajar ke berbagai perguruan tinggi di luar Tim-Tim -- termasuk dua taruna di Akabri. Deretan angka-angka itu memang mengesankan. Namun, di balik itu tercatat juga hal lain. Sekitar 90% anggaran pembangunan Tim-Tim berasal dari bantuan pemerintah pusat. Pendapatan daerah pada 1987, misalnya, cuma Rp 1,7 milyar. Ini sebenarnya lumayan, karena selama lima tahun sebelumnya pendapatan daerah hanya Rp 150 juta dari ABPD yan Rp 52 milyar. Tapi belum memadai. Investasi dari luar provinsi praktis tidak ada. Satu-satunya rencana investasi -- kabarnya akan menelan biaya Rp 1 milyar -- yang telah disetujui pertengahan Agustus silam adalah pembangunan pabrik minyak cendana oleh PT Scent dari Jakarta. Ketimpangan lain juga ada. Dari 12 ribu pegawai pemda, tercatat ada seribu yang buta huruf. Ketentuan "mendahulukan putra daerah", meski tak tertulis, memang dipraktekkan. Saat ini mayoritas jabatan memang telah dipegang putra Tim-Tim sendiri. Dari 13 bupati, 8 orang dijabat putra Tim-Tim. Sedang dari 62 camat, cuma ada 4 atau 5 yang bukan putra daerah. Ketentuan itu tampaknya dilakukan mengingat Tim-Tim memang istimewa": mendapat sorotan dunia internasional. Dilihat dari sini bisa dimengerti mengapa pemerintah pusat sangat berhati-hati menangani Timor Timur. Maka, meski angka pengangguran di Tim-Tim -- akibat pesatnya pendidikan dan langkanya kesempatan kerja -- cuma berkisar 7 ribuan orang, yang menyebabkan Gubernur Carrascalao mengibarkan bendera kuning, tanggapan pemerintah pusat cukup hati-hati. Meski dipandang dari skala nasional hal itu kurang mengkhawatirkan, dilihat dari kaca mata Tim-Tim soal ini memang meresahkan. Pada gilirannya, keistimewaan dari pusat itu menyebabkan "cara berpikir" yang khas pada sebagian masyarakat Tim-Tim: mereka lebih mengharapkan uluran bantuan dari luar. Dalam kata-kata Carrascalao, ketertutupan itu menyebabkan rakyat Tim-Tim seperti hidup "dalam sangkar emas". Tapi apa mau dikata: sejarah memang menggariskan asal-usul yang berbeda. Perang panjang di Tim-Tim menjelang integrasi, yang menyebabkan lebih dari seratus ribu orang rakyat Tim-Tim tewas atau kelaparan, memang masih membekaskan trauma pada sebagian besar masyarakat, terutama yang berusia 20 tahun ke atas. Selain itu, perang juga menyebabkan pergolakan yang hingga kini belum mereda. "Setelah 1976, sekitar 90 persen penduduk Timor Timur pindah tempat. Perlu beberapa tahun untuk mengembalikan orang ke desa masing-masing," kata Carrascalao. Kini diperkirakan masih ada 30 sampai 40% warga Tim-Tim yang belum kembali ke desanya. Mereka ini, menurut Carrascalao tak akan menghasilkan, karena mereka tak memiliki tanah yang saat ini mereka mukimi. Soalnya, secara adat, tanah itu turun-temurun dimiliki oleh nenek moyang. "Pemilik tanah akan menghalangi bila tanah itu diusahakan oleh pemukim sekarang," kata Carrascalao. Sistem perdagangan yang diberlakukan di provinsi itu juga dikeluhkan. Khususnya buat hasil bumi yang pernah memperkaya banyak orang Timor dan bukan Timor itu selama bertahun-tahun: kopi. Harga terendah pembelian kopi oleh KUD yang ditetapkan, misalnya, dinilai timpang amat. Harga itu cuma Rp 1.200 per kilo untuk Robusta dan Rp 1.500 untuk Arabica. Sementara itu, kata seorang petani di Tim-Tim, di wilayah tetangganya, di Atambua (NTT), harga per kilo sampai Rp 4.000. Tapi rakyat tak bisa menjualnya ke sana. "Mereka harus menjual ke KUD," kata sumber itu. Karena itu, orang seperti Bupati Liquica, Jaime dos Remedios de Olliveira -- yang punya 7 hektar kebun kopi -- terus terang mengharapkan harga produk itu "dibebaskan". Ini, katanya, agar pendapatan masyarakat meningkat. Sejauh mana pembebasan itu akan terlaksana, berbareng dengan "keterbukaan", belum bisa diketahui. Banyak kepentingan harus dipertimbangkan: alasan kebutuhan ekonomi petani, eksportir, dan birokrasi yang tak selamanya cocok. Sejauh ini juga belum jelas adakah Tim-Tim akan juga terbuka buat orang asing. Ada dugaan, untuk sementara, Tim-Tim nantinya akan diperlakukan seperti Irian Jaya, yang tak terbuka 100% buat orang bukan Indonesia. Soalnya, Tim-Tim yang seperti daerah lain akan berarti Tim-Tim yang mungkin tanpa perlakukan istimewa. Tak seluruhnya bakal tanpa rasa sakit. Banyak kepentingan yang akan terpotong, banyak ancaman yang akan tak terkontrol lagi, dan mungkin banyak anasir baru yang akan mengusik keadaan yang selama ini berlangsung. Tapi jalan sudah terbentang. Segera atau pelan, orang Timor Timur ingin mulai menempuhnya. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus