SEBUAH koran, sebuah majalah, bukanlah musuh pemerintah. Apalagi di Indonesia. Ini soal "filsafat" dan soal praktis. Soal "filsafat" biasanya dikemukakan secara muluk dan dengan slogan-slogan. Tapi sebenarnya lumrah saja secara jurnalistik: mengambil sikap "memusuhi" adalah mengambil sikap apriori. Dengan kata lain, sikap sudah terbentuk mendahului kenyataan dan kemungkinan yang bagaimanapun nanti. Padahal, jurnalisme yang sehat harus rendah hati terhadap kenyataan, setidaknya terhadap fakta. Dia tak boleh apriori, dia tak boleh berprasangka. Soal praktis lebih sederhana lagi bisa dikemukakan: bagaimana pers bisa jadi musuh pemerintah, jika surat izin penerbitan bisa dicabut? Pers, menurut ketentuan resmi, adalah "partner" pemerintah. Ini menarik dan bagus. Tapi tentu saja tak selamanya gampang dilaksanakan Apakah "partner" yang satu harus selalu cocok dengan "partner" yang lain? Sulitnya, bila sebuah penerbitan -- karena dianggap"partner" -- harus 100% sesuai dengan apa maunya kalangan pemerintah, ada risikonya. Pertama, pers yang tak mandiri tak akan dipercayai orang. Bahkan kian lama pemerintah sendiri tak akan mempercayainya lagi. Peliputan dan pujian terhadap sebuah prestasi akan lebih bisa dipercaya bila dikemukakan oleh orang yang bebas. Kedua, betapapun halus dan terbatasnya pendapat yang lain, yang berbeda dari pendapat pemerintah ataupun pers sendiri tetap perlu diperdengarkan. Pepatah kita ini masih sangat relevan: "kepala sama berbulu pendapat berlainan". Bagaimana dalam keadaan itu pendapat yang berbeda tidak berakhir dengan sesuatu yang destruktif -- itulah seni hidup. Biasanya resepnya adalah: saling kenal, saling dialog. Ini berlaku buat Gorbachev dan Reagan -- apalagi buat instansi pemerintah dan instansi pers Indonesia, yang merupakan "partner" itu. Dengan dasar itulah kami sangat menghargai kunjngan Kepala Puspen Hankam ABRI, Kol. Nurhadi, beserta staf ke kantor TEMPO pekan lalu. Perwira yang rendah hati dan ramah ini -- yang menyediakan waktunya kapan saja buat menjawab pertanyaan pers sesuai dengan wewenangnya -- tak cuma berbicara tentang perlunya dialog. Kol. Nurhadi dan stafnya benar-benar berdialog. Pada kesempatan itu, kami menjelaskan secara ringkas bagaimana proses kerja kami. Juga kriteria yang kami terapkan buat pilihan berita kami. Sebaliknya, Kol. Nurhadi dan staf menawarkan bantuan informasi dan cara kerja sama yang lebih baik. Pers memang sering bertindak sebagai penonton bola: bisa mengomentari bagaimana orang harus bekerja sama di lapangan atau bagaimana menggiring bola ke sasaran, tapi sebenarnya dia tak tahu bagaimana sulitnya keadaan di pertandinan yang sebenarnya. Bahkan sebagai penonton pun terkadang pers melakukan hal-hal yang tak terpuji. Pendapat dari tamu seperti rombongan Puspen Hankam-ABRI ini akan membantu kami dalam bercermin kembali setiap kali. Bahkan, kami memutuskan akan mengundang kalangan lain mengetengahkan pendapat dan saran-sarannya kepada kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini