Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ruu perbankan

Pembahasan beberapa hal dalam rancangan undang-un- dang perbankan yang kini sedang dibahas oleh dpr.

31 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUU Perbankan R. RAMLI* RANCANGAN Undang-Undang Perbankan kini sedang dibahas DPR. Yang paling banyak dibicarakan adalah pasal 22. Yakni yang menyangkut ketentuan tentang jumlah saham bank umum yang dapat dimiliki oleh warga negara atau badan hukum Asing. Bahwa pembahasan terfokus pada satu pasal ini menunjukkan gejala yang menarik. Pertama, pemilikan saham bank oleh Asing adalah soal yang dinilai sensitif. Yang kontra berpendapat, pemilikan saham ini tidak bisa dibenarkan karena sektor perbankan adalah sektor strategis yang pengaruhnya terhadap ekonomi nasional sangat besar. Yang pro sebaliknya, saham bank sama saja dengan saham perusahaan biasa sehingga bisa diperjualbelikan, termasuk kepada Asing. Kedua, besarnya perhatian pada pasal 22 menunjukkan bahwa lobi kelompok interes, dalam kasus ini kalangan perbankan swasta, mulai menampakkan wujudnya. Ini merupakan gejala yang boleh dikatakan baru dalam perumusan kebijaksanaan ekonomi, walaupun di negara-negara maju, keterlibatan kelompok interes dalam pembahasan undang-undang merupakan kejadian sehari-hari. Yang lebih ironis adalah kelompok-kelompok interes lain terutama kelompok yang akan terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari RUU ini -- seperti pengusaha menengah dan kecil -- sama sekali tidak terwakili dalam pembahasan di DPR maupun di media massa. Ada dua kemungkinan mengapa kepentingan mereka tidak terwakili: pembahasan RUU itu dinilai terlalu teknis dan canggih atau memang dalam sistem politik dan media kita kelompok-kelompok tersebut tidak mempunyai wakil-wakil yang dapat menyuarakan kepentingan mereka. Di samping pasal 22 yang kontroversial itu, RUU Perbankan sebetulnya memuat banyak hal lain yang menarik. Misalnya, pasal-pasal yang melarang pejabat bank untuk melakukan hal-hal yang bisa mengakibatkan conflict of interest meminta atau menerima sogokan atau komisi mengatur jumlah pinjaman maksimum yang bisa diberikan kepada pemegang saham, direksi bank, dan grup perusahaan yang sama. Juga pasal yang melarang bank membuat laporan pembukuan dan keuangan palsu. Pelanggaran terhadap hal ini diancam hukuman pidana dalam bentuk denda yang besar dan hukuman badan beberapa tahun. Pasal ini memberikan kontribusi positif dan tradisi hukum yang baru dalam sistem perbankan kita. Pasal tersebut mendorong pelembagaan bank sebagai lembaga publik yang menyangkut kepentingan umum. Hal lain yang sangat penting tetapi tidak dinyatakan secara eksplisit dalam RUU Perbankan adalah asumsi bahwa sistem pasar akhirnya akan mengalokasikan kredit berdasarkan perbedaan antara risks dan return tanpa memandang perbedaan skala usaha. Asumsi tersebut tampak dari fakta bahwa RUU ini sama sekali tidak membahas kewajiban Bank Umum untuk menyalurkan sebagian pinjamannya kepada pengusaha kecil. Pembuat RUU, sekelompok Tim Asing sewaan yang immune terhadap aspirasi umum, menggunakan asumsi tersebut karena percaya bahwa sistem pasar akan bekerja secara sempurna. Asumsi itu tidak sepenuhnya benar. Karena, sampai saat ini, masih terdapat imperfeksi (ketidaksempurnaan fungsi) pasar modal maupun pasar uang di Indonesia, baik karena segmentasi pasar maupun imperfeksi informasi. Usaha skala besar, karena keunggulan organisasi, informasi dan aksesnya terhadap pinjaman luar negeri, bisa mendapatkan kredit dengan bunga relatif lebih murah. Sementara itu, usaha menengah dan kecil terpaksa harus meminjam dari lembaga keuangan dalam negeri, dan kebanyakan dari sumber informal dengan bunga relatif mahal. Di samping itu, alokasi kredit pada tahun 1970-an sampai awal 1980-an sangat timpang dan sebagian besar jatuh ke tangan sejumlah kecil kelompok usaha besar. Mekanisme alokasi kredit yang "seolah-olah netral" yang digunakan sebagai asumsi implisit dalam draft RUU tersebut hanya akan mempertahankan status quo dalam alokasi kredit selama ini dan tidak akan mengurangi akibat distortif dari bias yang terjadi sejak tahun 1970-an. Jika dibandingkan dengan preferential treatment kebijaksanaan Kredit Usaha Kecil (KUK), di mana Bank diwajibkan meminjamkan 20% kreditnya kepada usaha kecil, RUU ini merupakan suatu kemunduran. Sudah tentu, selalu bisa dikatakan bahwa alokasi kredit kepada pengusaha menengah dan kecil tidak perlu diatur oleh undang-undang -- cukup dengan Peraturan Pemerintah. Tetapi kadang-kadang di situlah persoalannya: Tim Asing pembuat RUU ini tidak cukup sensitif terhadap aspirasi publik. Contoh lain menyangkut pasal tentang larangan bagi Bank Umum dan bahkan Bank Perkreditan Rakyat untuk memberikan kredit tanpa jaminan (pasal 6a dan pasal 10c). Penjelasan pasal 6a menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan jaminan pemberian kredit adalah "keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit" yang harus dilakukan berdasarkan "penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari debitur". Dalam prakteknya, banyak bank menginterpretasikan "jaminan" sebagai kewajiban calon nasabah untuk menyediakan agunan fisik berupa tanah (biasanya harus dalam bentuk sertifikat) atau barang tidak bergerak. Sedikit sekali bank yang mengandalkan "credit history" dan prospek usaha dari calon debitur dalam evaluasi permohonan kredit. Larangan memberikan kredit tanpa jaminan sangat merugikan usaha skala kecil karena mereka biasanya tidak memiliki jaminan berupa tanah yang memadai. Jika lembaga keuangan formal dilarang memberikan kredit tanpa jaminan, usaha kecil akan terpaksa meminjam dari lembaga keuangan informal yang lebih fleksibel dalam persyaratan tetapi meminjamkan dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Dengan adanya sejumlah indikator yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk menilai kesehatan bank, sebetulnya tidak diperlukan lagi pasal undang-undang yang mengatur soal detail operasional seperti jaminan kredit. Keputusan menyangkut aspek operasional pemberian kredit seperti jaminan kredit seharusnya diserahkan kepada bank yang bersangkutan tanpa perlu pengaturan oleh undang-undang. Seandainya bank tidak hati-hati dalam menyalurkan kredit, bank bersangkutan akan memiliki kredit macet yang besar dan indikator kesehatannya akan merosot -- kecenderungan yang bisa segera dimonitor oleh Sistem Pengawasan Bank Indonesia. * Ekonom lulusan Boston University dan pengajar program MM FEUI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus