Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin ini pelajaran baik bagi yang bingung dan gugup: kritik-mengkritik dengan kata-kata antara orang pemerintah dan parlemen adalah hal yang tak terelakkan, bahkan menguntungkan, dalam manajemen sebuah republik. Siapa yang selama ini gemar berbicarabaik sebagai orang militer maupun aktivis jalanantentang ''konflik elite politik", ada baiknya merenung kembali. Perbantahan tidak sama dengan konflik. Indonesia tak akan bengkah hanya karena itu. Apalagi tampak, akhirnya para tokoh politik Indonesia tahu bahwa tak ada tuntutan yang mutlak; politik adalah usaha bersama mengurus dunia yang serba terbatas dan sementara, oleh orang-orang yang serba terbatas dan sementara. Bukan perang suci, dan tak ada perang. Maka, sudah pantas bila rupiah naik.
Ada memang alasan untuk sedikit optimistis dengan hasil sidang tahunan ini. MPR, dan dengan sendirinya juga DPR, akan menjadi sebuah lembaga yang tak boleh dianggap enteng. Presiden Abdurrahman Wahid, atau siapa pun presiden Indonesia kelak, akan harus membangun lobi yang lebih baik untuk menyusun dukungan di Senayan. Untuk melembagakan proses demokratisasi, hal itu penting: harus dicapai suatu taraf di mana para wakil rakyat dan partai politik menjadi kuat dan disegani. Taraf itu belum dicapai sekarang, tapi ''latihan" di bulan Agutus 2000 itu besar manfaatnya.
Salah satu buah ''latihan" itu adalah kompromi. Kompromi adalah sebuah kebajikan dalam demokrasi. Ia bisa disebut kebajikan karena kompromi lahir dari kemampuan mengenal posisi lemah kubu sendiri. Ia juga disebut kebajikan karena ia lahir dari keberanian melihat bahwa ada yang baik dan benar yang ditawarkan kubu yang lain. Kompromi mengandung pandangan bahwa bagaimanapun, pertaliandalam hal ini pertalian ke-Indonesia-anharus tetap dipelihara antara pihak-pihak yang bersaing.
Kebajikan itulah yang ditampakkan oleh banyak pihak, terutama oleh Gus Dur. Dengan menyatakan bahwa ia menyerahkan tugas teknis sehari-hari kepada Wakil Presiden Megawati, Gus Dur bukannya jadi seorang dermawan. Ia bersikap realistis. Ia membaca perubahan, dan bertindak menyesuaikan diri.
Aliansi itu Berubah
Salah satu perubahan yang berarti adalah susutnya aliansi PDI-P dengan PKB. Di masa lalu aliansi ini berdasarkan kepada pandangan pimpinan PDI-P, bahwa PKB adalah partner yang akan membawa Megawati ke Istana. Berdasarkan dugaan ini (yang menunjukkan lemahnya sistem informasi partai) PDI-P tak berusaha melebarkan dukungan lebih jauh. Apalagi partai ini juga memakai gaya berpolitik ''Orde Baru", yang dasarnya adalah curigadan dengan demikian menyempitkan basis dukungan. Semua itu terbukti salah. Gus Dur sejak sebelum Pemilu 1999 sebenarnya sudah berniat menjadi presiden. Ia menggandeng Megawati lebih sebagai pesaing ketimbang partner. Dan ia berhasil, sementara Mega terkecoh.
Kini PDI-P lebih dekat ke Golkaryang membuktikan benarya dalil bahwa dalam politik tak ada teman abadi, atau musuh yang kekal. Yang ada hanya kepentingan. PKB sebaliknya kesepian. Pada waktu MPR memenangkan Gus Dur sebagai presiden, PKB bekerja sama antara lain dengan Poros Tengah. Tapi kini kerja sama seperti itu tak ada lagi. Bahkan pelbagai legislator dari partai yang tergabung dalam Poros Tengah (misalnya PBB dan PPP, dan juga PAN) ingin agar Gus Dur diganti. Gerak ke arah itudan pola aliansi yang barujelas tampak sejak pengerahan dukungan untuk digunakannya hak interpelasi tempo hari.
Dalam posisi PKB yang kesepian itulah Gus Dur menawarkan kompromi. Patut diingat: kompromi hanya dilakukan dengan lawan politik. Maka, tampak bahwa hubungan Gus Dur dengan Megawati ternyata tidak semesra ''kakak-adik" lagi. Orang bisa berpanjang lebar menganalisis sebabnya, tapi yang penting ialah bahwa pada babak ini Megawati bukan saja mengambil jarak dari Gus Dur, tapi ia juga berada dalam posisi politik yang lebih kuat. Ia bukan saja dapat dukungan dari aliansi PDI-P dan Golkar (dua pemenang utama pemilu 1999), tapi bahkan mulai disokong Poros Tengah. Lebih khusus lagi partai-partai Islam, yang dalam masa pemilihan presiden dulu menolaknya.
Semua itu tentulah akibat salah langkah, salah ucap, dan salah urus Gus Dur sendiri selama ia jadi presiden. Tapi, bagaimanapun, ada yang bisa membuat suasana lebih cerah dalam konstelasi kekuatan di tingkat nasional sekarang. Satu hal: garis pemisah antara partai politik Islam dan yang tak berdasarkan agama tak setajam dulu lagi. Gagalnya usaha mengembalikan ''Piagam Jakarta"sebuah usaha yang berbahaya bagi hak asasi dan juga bagi kesepakatan dasar berdirinya Repubik Indonesiamenunjukkan bahwa masalah agama terbukti diperlakukan secara bijaksana dan proporsional oleh MPR yang sekarang.
Dengan demikian, ada kesempatan bagi Indonesia untuk tak terus-menerus rentan oleh perpecahan. Tapi tentu masih jadi pertanyaan, akankah keadaan yang dihasilkan kini bertahan lama. Ini bisa bergantung pada suksesnya aturan pembagian tugas antara Gus Dur dan Megawati.
Ada yang Belum Terjawab
Sebab ada soal-soal pokok yang belum terjawab dengan akan lebih aktifnya Megawati memimpin pemerintahan. Pertama, bagaimana pembagian tugas itu bisa dipisahkan dari pembagian kekuasaan.
Diutarakan secara lain, pertanyaan itu mengacu kepada masalah sejauh mana kabinet yang akan dibentuk nanti juga merupakan kabinet susunan Megawati. Apakah kompromi Gus Dur berarti juga kompromi untuk memberi hak bagi wakil presidennya untuk menentukan struktur dan personalia departemen-departemen? Bisakah Megawati mengalah saja? Kuatkah Gus Dur untuk menolak tawar-menawar, katakanlah dengan PDI-P dan Golkar, dalam proses menyusun pemerintahan?
Kedua, yang diberikan Gus Dur kepada Megawati adalah urusan ''teknis" sehari-hari. Pemerintahan Gus Dur dan Mega tak dikenal sebagai pemerintahan yang jelas agenda dan strateginya. Maka, kurang jelas pula mana yang urusan strategis dan mana yang teknis. Bisakah Megawati, misalnya, membatalkan kontrak yang sudah terjadi tapi dianggap kurang patut di tenaga listrik, atau mencabut larangan investasi asing dalam bisnis internet? Apakah hal-hal itu termasuk urusan teknis?
Ketiga, bagaimana menghindarkan tendensi ''kapal satu nakhoda dua"? Di mana nanti kantor pemerintahan: di kantor Wakil Presiden atau di kantor Presiden? Bagaimana posisi Sekretaris Kabinet yang sekarang? Bagaimana nanti Presiden dan Wakil Presidenyang berasal dari dua partai yang bersaing, dan kini dalam keadaan yang kurang mesra secara politistidak saling menyalahkan bila terjadi kegagalan, atau berebut jasa bila terjadi sukses?
Pertanyaan itu perlu mulai dipikirkan dan diantisipasi sejak dini. Membicarakan siapa yang akan duduk dalam kabinet memang mengasyikkan, tapi sebelum itu, duo Gus Dur-Mega harus disiapkan hingga tidak menjadi kacau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo