Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANDA-TANDA bahwa Soeharto akan diadili memang terlihat nyata belakangan ini. Masyarakat, yang penat melihat ulah para pejabat, curiga, jangan-jangan pengadilan itu cuma sekadar kosmetik untuk memperbaiki rapor pemerintahan Abdurrahman Wahid. Kecurigaan bertambah karena Soeharto diajukan bukan sebagai mantan Presiden Republik Indonesia, melainkan hanya sebagai ketua dari sejumlah yayasan yang dituduh merugikan negara sebesar Rp 1,4 triliun ditambah US$ 416 juta.
Jumlah itu tak seberapa dibandingkan dengan simpanan Soeharto—entah di mana—yang diperkirakan mencapai belasan miliar dolar AS. Orang pun lalu berspekulasi, apakah kalau kerugian negara lebih kecil, hukumannya lebih ringan? Semua itu masih sangat gelap bagi kita semua.
Yang pasti, untuk kasus yayasan saja, kita harus menunggu dua tahun—jangka waktu yang cukup lama untuk menguji kesabaran dan rasa keadilan masyarakat. Jika para jaksa penuntut umum memiliki kearifan yang tinggi, kesabaran dan rasa keadilan masyarakat itulah yang harus dijadikan pertimbangan utama. Patut diingat, di mata rakyat, Soeharto adalah Soeharto, tanpa dibedakan apakah dia mantan Presiden Republik Indonesia atau ketua dari sejumlah yayasan. Yang barangkali ingin mereka saksikan adalah realisasi dari sebuah proses pengadilan yang benar dan wujud dari kedaulatan hukum yang sesungguhnya. Jangan lagi ada konsesi dan utak-atik hukum yang melecehkan inteligensi bangsa ini.
Memang, di pengujung abad ke-20, ada kecenderungan untuk "memanusiakan bentuk hukuman", bahkan terhadap orang-orang yang zalim sekalipun. Idi Amin, misalnya, mendapat suaka. Kenyataan bahwa Soeharto diajukan dalam kapasitas sebagai ketua yayasan agaknya hanya satu cara untuk "memanusiakan bentuk hukuman" itu. Dan tindakan "memanusiakan" ini cenderung eksesif, seperti eksesifnya Abdurrahman Wahid yang berkali-kali mengatakan akan mengampuni Soeharto.
Yang juga dikhawatirkan adalah kemungkinan gagalnya proses peradilan karena Soeharto dinyatakan sakit. Kejaksaan berusaha meredam kekhawatiran itu dengan penjelasan bahwa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), keterangan terdakwa adalah alat bukti paling lemah dari lima alat bukti yang dinilai oleh pengadilan. Keterangan saksi merupakan alat bukti pertama; kedua, keterangan saksi ahli; ketiga, surat dokumen; keempat, petunjuk antara satu kejadian dan kejadian lain yang mengarah ke hal tertentu; dan terakhir, keterangan terdakwa, yang kekuatannya tentu berada di bawah kekuatan empat alat bukti di atasnya.
KUHAP mungkin sudah merumuskan yang terbaik. Namun, majalah ini berpendapat, sesakit apa pun Soeharto, kenyataan itu tak bisa membebaskan dia dari tindak pidana yang pernah dilakukannya ketika sehat. Selain itu, keterangan seharusnya dikorek dari anak, kerabat, dan kroni, yang pasti akan lebih menunjang usaha pengadilan untuk mengungkit kebenaran, ketimbang 140 saksi yang belum tentu bermanfaat. Dan berhubung masyarakat kecewa karena terdakwa Soeharto diajukan sebagai ketua yayasan, para hakim hendaknya bisa mengimbangi hal itu dengan proses peradilan yang benar serta senantiasa mengutamakan rasa keadilan masyarakat. Catatlah bahwa tempat keadilan bukan di istana atau di menara gading. Keadilan itu bisa berbau apak dan tumbuh liar di tengah masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo