Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA, Agustus 2010. Sebuah berita memilukan datang dari Wonogiri, Jawa Tengah: 15 penduduk tewas mengenaskan karena kelaparan. Pada hari yang sama, di Surabaya, 200 aktivis dikabarkan hilang usai menggelar demonstrasi besar.
Seorang penyiar televisi Malaysia mewawancarai Abdul Jabbar—salah satu pelarian politik Indonesia yang bermukim di negeri jiran tersebut. Sang penyiar bertanya, ”Betulkah berita itu?” Jabbar, yang bekas wartawan itu, tak bisa menjawab. Sejak ia meninggalkan tanah kelahirannya pada tahun 2005 karena krisis politik yang tak berkesudahan, Jabbar sulit menerima berita yang jelas tentang Indonesia. ”Pers Indonesia telah dibungkam pada tahun 2001 setelah gerakan reformasi gagal membentuk pemerintahan sipil,” katanya.
Tak ada yang menduga pemerintahan Abdurrahman Wahid yang terpilih secara demokratis melalui Sidang Umum MPR 1999 ter-nyata hanya bisa bertahan setahun. Sidang tahunan MPR yang diadakan tahun 2000 akhirnya merekomendasikan diadakannya sidang istimewa pada awal tahun 2001. Dalam sidang istimewa MPR itu, Abdurrahman jatuh. Ketidakmampuannya menyelesaikan krisis menjadikan kepercayaan rakyat yang dimilikinya melorot. Wakil Presiden Megawati naik menjadi presiden, dan Akbar Tandjung menggantikan Mega sebagai wakil presiden.
Tapi duet baru itu pun tak bertahan lama. Megawati setahun kemudian digoyang karena isu gender, sementara Akbar Tandjung dipersoalkan karena dianggap bagian dari rezim Orde Baru. Keduanya juga dijatuhkan parlemen.
Karena situasi tak menentu, kekuasaan kemudian diambil alih oleh rezim otoriter yang merupakan gabungan dari TNI, kalangan ultranasionalis, dan kelompok agamawan ortodoks. Kelompok ini kemudian menyatakan amendemen UUD yang telah disusun MPR tidak sah dan karenanya negara kembali memakai UUD 1945—konstitusi yang lama.
Kekerasan merebak. Gerakan reformasi diberangus dan pers diawasi. Perlawanan politik muncul di mana-mana, tapi selalu kandas karena rezim yang baru tak segan menggunakan bedil untuk menghentikan setiap pembangkangan. Partai-partai politik dibubarkan, kecuali yang mendukung pemerintah. DPR dan MPR diganti dengan Dewan Pimpinan Nasional Indonesia, sebuah lembaga kolektif yang berisi orang-orang yang mendukung kekuasaan.
Utang luar negeri yang membengkak akibat krisis dikemplang pemerintah. Akibatnya, negara kreditor menjatuhkan embargo ekonomi. Krisis pangan melanda masyarakat. Pada awalnya, kebijakan tak mau membayar utang ini melahirkan semangat nasionalis-me rakyat. Tapi, ketika kelangka-an pangan semakin menjadi-jadi, gerutulah yang muncul. Pemerintah mengajak rakyat mengencang-kan ikat pinggang—dengan cara mengganti beras dengan gaplek sebagai makanan pokok. Sendi-sendi ekonomi dan politik bangsa remuk-redam.
Situasi Indonesia yang sangat pesimistis ini bukan ramalan Jayabaya untuk Indonesia pasca-sidang umum MPR tahun ini. Skenario ”mengerikan” ini dirumuskan kelompok Indonesia Masa Depan, yang bernaung di bawah Komisi Nasional Hak Asasi Manu-sia (Komnas HAM).
Sejak Januari 1999, kelompok ini secara intensif melakukan diskusi reguler di 14 kota dengan melibatkan tidak kurang dari 700 orang dari berbagai lapisan. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan masukan dari masyarakat tentang apa yang mereka pikirkan tentang Indonesia mendatang. Peserta diskusi beragam, mulai dari Kepala Staf Teritorial TNI Letnan Jenderal Agus Widjojo, Sumarsih—ibu mahasiswa korban peristiwa Semanggi I—sampai Hardoyo, seorang bekas tahanan PKI.
Ini memang bukan proyek ilmiah, melainkan hanya semacam jajak pendapat. Rumusan ini nantinya akan disosialkan kepada masyakat luas. Pilihan skenarionya pun menarik. Selain skenario terburuk tadi—kemudian diberi nama skenario ”Di Tubir Jurang”—ada lagi skenario yang tak kalah buruknya, yang diberi judul ”Menggapai Tebing”.
Dalam ”Menggapai Tebing”, diperkirakan pemerintahan yang bakal muncul—karena tidak kompaknya barisan proreformasi—adalah rezim otoriter. Komposisinya tetap: militer, kelompok ultranasionalis, dan kalangan agamawan ortodoks.
Karena otoriter, rezim ini pun memberangus gerakan sipil. Tapi, berbeda dengan skenario pertama yang mengajak rakyat melarat bersama, dalam skenario kedua pemerintah menjalankan kebijakan ekonomi yang propertumbuhan. Artinya, pemerintah menciptakan kesenjangan di dalam masyarakat. Tangan besi otokrasi dipakai untuk membesarkan kue pembangunan, di antaranya dengan cara memberi proteksi kepada konglomerat. Sebaliknya, setiap upaya untuk membagi rejeki kepada rakyat banyak dihalang-halangi. Gerakan buruh dibungkam, mekanisme kontrol macet.
Pada tahun 2007 diperkirakan pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, tapi pemerataan minim. Kemiskinan tak terhindari dan pertumbuhan ekonomi dibayar dengan eksploitasi alam, kerusakan lingkungan, dan kebakaran hutan yang hebat.
Otonomi daerah ditunda karena dianggap bisa mengurangi kecepatan pertumbuhan. Desentralisasi dianggap hanya menjadikan munculnya lebih banyak pemain ekonomi yang bisa mengerem laju pertumbuhan.
Semua suram? Tidak juga. Ada skenario yang lebih optimistis, diberi tajuk ”Bergegas Menuju Puncak”. Dalam skenario ini pemerintahan yang terbentuk demokratis tapi kebijakan ekonomi tetap didasarkan pada pertumbuhan. Pemerintahan Abdurrahman Wahid dapat dipertahankan sampai tahun 2004 dan sesudahnya dipilih presiden berikutnya secara demokratis.
Pertentangan politik selalu dapat diselesaikan dengan cara dialog. Pemerintah juga memberi ruang yang lebih besar kepada daerah untuk maju dan mandiri. Itulah sebabnya Undang-Undang Otonomi Daerah dengan cepat segera diterapkan.
Pergolakan daerah seperti di Aceh dan Irian meredup karena hak-hak daerah dijamin. Hukum Islam, misalnya, dilaksanakan di Aceh. Gubernur, bupati, dan jabatan birokrasi lainnya di Irian segera diisi oleh putra daerah.
Gagasan pertumbuhan ekonomi menjadi arus modal berputar cepat. Kebijakan propertumbuhan mendorong orang untuk berlomba dalam berusaha. Fungsi pemerintah hanya menjadi fasilitator bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu agar bisa bersaing dengan yang mampu. Kecemburuan sosial tetap tak bisa dihindari, tapi jurang antara si kaya dan si miskin bisa dipersempit.
Skenario keempat, ”Tabah dalam Pendakian”, adalah gabungan antara pemerintahan yang demokratis dan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pemerataan.
Dalam skenario ini, sistem politik multipartai dipertahankan dan pemilihan langsung terhadap eksekutif (calon presiden sampai calon bupati) dijalankan. Pada mulanya terjadi kebingungan karena setiap partai belum memiliki alternatif calon yang cakap. Kepemimpinan masih diandalkan pada popularitas dan kultus individu. Tapi perlahan-lahan kepemimpinan berdasarkan kemampuan dan platform organisasi terbentuk.
Otonomi daerah yang diterapkan pemerintah mula-mula melahirkan ”raja-raja” kecil di daerah dan mulailah muncul kolusi antara pejabat daerah dan anggota DPRD. Tapi, ketika kue pembangunan untuk daerah meningkat, pengawasan diperketat, pejabat daerah tidak bisa lagi menerapkan praktek kolusi. Kemerdekaan pers, tumbuhnya LSM, dan adanya kepastian hukum menjadikan pelaku korupsi menjadi jera mempermainkan sistem yang baru.
Otonomi juga melahirkan berkembangnya sentra ekonomi di daerah. Akibatnya, terjadilah arus balik penduduk dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya ke desa. Pergolakan daerah menjadi berkurang karena dominasi pusat diminimalkan. Hubungan daerah bergolak—seperti Aceh, Irian, atau Riau—dengan Jakarta hanyalah merupakan relasi ”federalistik” karena daerah telah menjadi dirinya sendiri tanpa ketergantungan pada pusat.
Secara ekonomi, fungsi pemerintah adalah wasit. Proteksi diberikan sekadar menjaga agar persaingan antara pengusaha kecil dan besar menjadi adil dan tidak berat sebelah.
Dilihat dari rinciannya, pilihan keempatlah yang paling ideal. Modal utama yang dibutuhkan untuk mencapai skenario ini adalah kesabaran. Soalnya, dalam perjalanan menuju kondisi ideal tadi, pelbagai penyimpangan bisa saja terjadi. Sistem politik multipartai, misalnya, pada awalnya akan menghasilkan fraksinasi yang kuat dalam masyarakat. Jika kurang tabah, perbedaan itu bisa dianggap sebagai biang konflik.
Tapi semua itu tetap harus dilakukan. Bagaimanapun, kerusakan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru telah memakan waktu lebih dari tiga dasawarsa. Karena itu, perbaikannya pun mesti memakan waktu yang panjang. Target 2010 seperti yang dicanangkan oleh kelompok IMD barangkali juga masih terlalu cepat. Mungkin saja generasi 2000-an inilah yang kelak membangun ”rumah Indonesia” yang lebih baik. Itu artinya, kita berada di tahun 2040, atau bahkan 2050.
Arif Zulkifli, Gita Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo