Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SPANDUK yang terbentang di jalanan dan stiker yang tertempel di warung-warung rokok belakangan ini bisa melukiskan salah satu kerinduan kita yang klasik. ”Para elite politik jangan bertengkar. Rakyat lapar.” Lebih dari sekadar harapan agar elite-elite politik bersatu, pesan itu sesungguhnya menggambarkan kerinduan besar kepada kepemimpinan, kepada kenegarawanan.
Negeri ini tengah menghadapi salah satu krisis ekonomi dan sosial yang terhebat. Dan dalam diskusi, talk show, serta seminar, orang ramai membicarakan krisis lain: tiadanya visi yang baik di kalangan pemimpin. Kita bahkan tidak mempunyai pemimpin, kata mereka. Kita tidak punya negarawan sejati.
Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Amien Rais, Akbar Tandjung? Jika mereka pemimpin dan negarawan sejati, menurut logika diskusi atau seminar itu, krisis kita sudah segera terselesaikan.
Ada dua problem dalam harapan itu. Pertama, orang terlalu berharap kepada elite politik. Setelah melalui proses demokratis, para pemimpin sebenarnya tak lebih merupakan manifestasi dari publik, dari rakyat. Masyarakat sulit bisa mendapatkan pemimpin lebih dari yang bisa diharapkannya.
Kedua, orang mencampuradukkan persatuan dengan kualitas kenegarawanan. Persatuan menuntut kompromi, padahal sikap kompromistis bukan selalu merupakan kualitas kepemimpinan yang baik. Dalam masyarakat demokratis dan plural, pemimpin harus mewakili kepentingan publik pemilih dengan beragam kepentingan. ”Pertengkaran” para politisi, betapapun mungkin memuakkan, adalah bagian dari realitas masyarakat, tempat tiap-tiap elemennya memperjuangkan agenda yang berlain-lainan. Persatuan saja bahkan belum tentu mengenyangkan rakyat yang lapar diimpit krisis.
Bagaimanapun, kerinduan terhadap seorang pemimpin, terhadap sebuah obor yang bisa menerangi massa di tengah kegelapan, barangkali merupakan tuntutan manusiawi di mana-mana—terlebih dalam masyarakat yang cenderung paternalistik seperti Indonesia. Kerinduan semacam itu juga bukan omong kosong belaka.
Pandangan bahwa tokoh dan para pahlawanlah yang menggerakkan sejarah mungkin lebih merupakan mitos. Namun, harus diakui pula bahwa setiap masyarakat memiliki mekanismenya sendiri untuk melahirkan tokoh-tokoh yang memiliki bentangan sayap besar sehingga mampu terbang cukup tinggi, memiliki cakrawala yang luas, untuk memandu anggota masyarakat selebihnya.
Terbang tinggi, dan cakrawala yang luas. Mungkin itu adalah salah satu karakter negarawan yang terpenting. Mereka mampu menyisihkan kepentingan jangka pendek, demi mencapai tujuan yang jauh ke depan, melampaui zamannya. Mereka juga mampu menyisihkan kepentingan sempit kelompoknya, demi tujuan besar dalam kehidupan bersama.
Tidak selalu mudah menjadi pemimpin, apalagi negarawan. Karakter-karakter tadi tidak cuma menuntut pengetahuan dan pendidikan, tapi juga keberanian. Banyak orang mengecam Amien Rais tidak sopan ketika pada 1993 dia menyuarakan pentingnya ”suksesi kepemimpinan”—dalam bahasa yang lugas, dia meminta Soeharto turun. Banyak orang, terutama di kalangan Islam sendiri, juga mengecam Abdurrahman Wahid untuk gagasannya tentang toleransi beragama—untuk pentingnya melebur sekat-sekat.
Dengan kekurangannya masing-masing, Presiden Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR Amien Rais, bagaimanapun, lebih negarawan dari Soeharto dan Harmoko. Keduanya tak canggung bergaul dengan wacana internasional yang luas, yang semestinya juga membuat kita bangga. Bahkan, sementara kita mulai membenci para politisi, anggota kabinet dan anggota MPR/DPR sekarang, dalam totalitasnya, juga lebih bermutu dari era Soeharto.
Kita barangkali kecewa terhadap mereka, yang telah membuka momentum besar reformasi tapi kurang cakap mengisinya. Tapi, di samping kelemahan-kelemahan yang mereka miliki, patut pula kita tuding sistem, setidaknya karena sistemlah yang membuat kita tak punya banyak pilihan pemimpin di luar Abdurrahman atau Amien.
Negarawan dibentuk oleh sistem politik. Depolitisasi masif di zaman Orde Baru telah demikian merasuk, bahkan masih kita rasakan bekasnya hingga kini. Banyak orang pintar menganggap politik sebagai barang najis dan menghindarinya. Tak aneh jika partai politik dan parlemen kemudian diisi oleh ”negarawan” sekelas Harmoko, Siti Hardijanti Rukmana, atau Yorrys Raweyai.
Orang pintar yang mencoba masuk dalam politik, seperti Sri Bintang Pamungkas atau Budiman Sudjatmiko, harus terlempar atau masuk bui karena sistem otoriter dan monolitik yang akhirnya hanya melahirkan bebek-bebek di parlemen. Sistem pemilihan proporsional, bukan distrik, juga tidak banyak membantu munculnya kader-kader pemimpin baru. Yang ada hanya petualang yang bersembunyi di balik popularitas partai, bukannya politisi yang teruji mempertanggungjawabkan mandatnya kepada publik pemilih.
Tak terlalu mengherankan, ketika Soeharto jatuh, kita tergopoh-gopoh mencoba mencari pemimpin. Dan kecewa. Bahkan, hanya beberapa bulan sebelum Soeharto turun, banyak orang tak percaya ada pemimpin lain yang bisa menggantikannya.
Para pemimpin juga tidak mesti bersatu. Kualitas kenegarawanan Bung Karno, Hatta, dan Sjahrir tidak serta-merta dipertanyakan hanya karena triumvirat itu akhirnya pecah berkeping-keping. Tidak selalu mudah menemukan resep krisis yang sama, bahkan jika tujuan mereka sama-sama baik. Namun, seperti sejarah selalu membuktikan, kualitas kenegarawanan yang tinggi umumnya dicirikan oleh pengabdian terhadap gagasan-gagasan kemanusiaan yang lebih kekal, lebih universal.
Abraham Lincoln menunjukkan kenegarawanannya bahkan ketika dia mengobarkan perang saudara di Amerika Serikat. Dia mengerahkan pasukan dari utara untuk memerangi negara-negara bagian selatan yang ingin mengesahkan diskriminasi rasial dan melegalkan perbudakan.
Patung Bung Hatta dibakar karena kecamannya yang tajam terhadap Demokrasi Terpimpin Bung Karno, yang menurut dia justru antidemokrasi. ”Kedaulatan rakyatlah, bukan kedaulatan bangsawan ningrat, yang harus menjadi konsep demokrasi.”
Sjahrir masuk bui antara lain karena mengecam konsepsi nasionalisme Bung Karno sebagai ”sebuah nasionalisme yang dibangun atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya atas dasar fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita.” Nasionalisme, bagi Sjahrir, adalah kendaraan belaka untuk menuju cita-cita kemanusiaan luas yang tidak mengenal Timur atau Barat.
Sejak zaman pergerakan, kita menemukan ”konflik” di antara para elite. Apa yang ada sekarang tidak lebih baik, atau lebih buruk dari itu. Dalam sistem yang demokratis juga kian sulit seorang pemimpin untuk ”membuang sekat-sekat”, untuk tidak terikat pada konstituennya, orang-orang yang memilihnya. Mudah dipahami jika Amien Rais tak mungkin bisa lepas sama sekali dari ikatan Islam atau, lebih sempit lagi, Muhammadiyah. Idem dito Abdurrahman Wahid—yang sulit dipisahkan identifikasinya dari Nahdlatul Ulama, betapapun PKB memproklamasikan diri sebagai partai terbuka.
Dilema seperti itu bahkan dialami oleh Hatta, seorang nasionalis-Marxis yang berpikiran terbuka dan menolak masuknya Piagam Jakarta dalam konstitusi. Pada awal Orde Baru, dia tak bisa menahan keinginannya untuk membentuk Partai Demokrasi Islam Indonesia.
”Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan oleh karena itu insidental,” kata Sjahrir, ”Usaha untuk menyatukan bagian-bagian secara paksa hanya akan menghasilkan anak banci.” Persatuan seperti itu, katanya, hanya akan menjadi ”sakit, tersesat, dan merusak pergerakan.”
Karena perbedaan merupakan realitas dalam masyarakat, dan kebutuhan akan persatuan mustahil senantiasa terpenuhi, yang paling bisa diharapkan dari seorang pemimpin atau politisi adalah kesediaan untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya dan melakukan tawar-menawar dengan kelompok lain secara beradab.
Lebih dari itu, ketika sebuah partai mampu menjunjung substansi di atas agitasi, perbedaan sering tidak patut dikhawatirkan. Natsir dari Masyumi dan Kasimo dari Partai Katolik bahkan terkadang beraliansi untuk isu tertentu di parlemen. Mereka juga teman yang saling menghormati.
Hal yang seperti itu hanya mungkin melalui proses politik yang panjang. Tujuan pendidikan politik, menurut Sjahrir, bukanlah ”untuk menciptakan agitasi,” melainkan ”untuk membawakan kejernihan.” Jauh sebelum kemerdekaan, Hatta dan Sjahrir menamakan gerakan mereka dengan Pendidikan Nasional Indonesia—bukan partai. Meski anggotanya kecil dibandingkan dengan partai-partai Islam ataupun nasionalis kala itu, gerakan ini jauh membuat risau kolonial Belanda. Hatta dan Sjahrirlah, bukan Sukarno, yang dibuang ke Boven Digul.
Bagaimanapun, seperti ekonomi tak bisa menjadi panglima, begitu pula politik. Politik pada akhirnya cuma satu aspek dari kehidupan. Hatta dan Sukarno telah menunjukkan bahwa persahabatan dan empati terhadap sesama manusia tidak layak dikalahkan oleh perbedaan politik. Untuk banyak hal, dalam gaya dan konsepsi, mereka berseberangan. Dan Hatta bisa saja menyerang atau mencaci-maki Sukarno karena kebijakan dan tingkah laku politiknya. Tapi, dalam kehidupan pribadi, keduanya sudah seperti saudara kandung.
Abdurrahman, Amien, dan Mega tak perlu bersatu dan sama isi kepalanya. Cukup mereka menjadi saudara. Soal mereka negarawan sejati atau bukan, biarlah sejarah yang menghakiminya.
Farid Gaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo