Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Intervensi di Musim Kampanye

Diminta menunda kasus kepala daerah, Komisi Pemberantasan Korupsi malah makin giat mengusut perkara. Masih ada tersangka berikutnya.

25 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIPERIKSA sebagai saksi oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di Markas Kepolisian Resor Malang Kota pada Jumat pekan lalu, Sutiaji mengaku ditanyai soal "sampah". Menurut Wakil Wali Kota Malang itu, ia tak memahami maksud penyidik. "Saya tidak tahu. Mungkin itu istilah untuk suap," kata Sutiaji pada saat rehat pemeriksaan.

"Sampah" adalah kode untuk uang semir yang jumlahnya kecil. Besarnya Rp 500 ribu. Duit itu bagian dari suap Rp 700 juta untuk melicinkan anggaran pembangunan jembatan Kedungkandang, yang nilai proyeknya Rp 98 miliar.

Uang tersebut berasal dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Pengawasan Bangunan Kota Malang Jarot Edy Sulistiyono. Duit itu lalu dibagikan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang yang sedang membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan 2015.

Sutiaji mengklaim tak pernah datang pada pembahasan APBD-P. Ia hanya datang ke sidang paripurna pada 6 Juli 2015 saat pengesahan APBD-P dan membacakan pidato Wali Kota Malang Mochamad Anton. "Saya hadir mewakili Wali Kota yang berhalangan hadir," ujarnya.

Dua hari sebelum pemeriksaan Sutiaji, KPK mengumumkan Anton dan 18 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka suap pembahasan APBD-P. Anton diduga memerintahkan Jarot menebarkan uang tersebut ke DPRD lewat Ketua DRPD Kota Malang Arief Wicaksono. KPK menyebutkan Jarot dan Arief telah buka-bukaan di depan penyidik dan mengakui perbuatannya.

Di luar kasus hukumnya, penetapan tersangka secara massal itu membuat suhu politik di Malang menghangat. Pada pemilihan kepala daerah Juni nanti, Anton maju lagi sebagai calon wali kota dengan menggandeng Syamsul Mahmud untuk calon wakilnya. Lawannya Ya’qud Ananda Gudban, yang berpasangan dengan Wanedi. Ya’qud termasuk anggota DPRD yang diduga menerima suap. Satu calon lagi adalah Sutiaji, Wakil Wali Kota Malang saat ini, yang maju bersama Sofyan Edi Jarwoko.

Hanya Sutiaji calon Wali Kota Malang yang tak menyandang status tersangka. Tapi ia berulang kali diperiksa sebagai saksi suap massal tersebut. Situasi inilah yang memunculkan isu di Malang bahwa perkara tersebut juga bakal menyeret calon dari Partai Demokrat itu.

Tiga pekan lalu, Ketua KPK Agus Rahardjo memberikan isyarat bahwa sejumlah calon kepala daerah "sudah 90 persen akan menjadi tersangka". Agus mengatakan KPK akan mengumumkannya sebelum pemilihan berlangsung. "Supaya masyarakat mengerti bahwa dia terkena kasus korupsi sehingga tidak perlu dipilih dan masyarakat tidak kecewa atas pilihannya nanti," ujarnya.

Ucapan Agus memicu reaksi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Setelah rapat bersama Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum, Wiranto meminta secara terbuka agar KPK menunda pengusutan korupsi calon kepala daerah. "Kami dari penyelenggara minta ditunda dulu penyelidikan, penyidikan, dan pengajuannya sebagai saksi atau tersangka," tutur Wiranto dalam konferensi pers seusai rapat.

Wiranto mengatakan penetapan calon kepala daerah sebagai tersangka oleh KPK bisa mengganggu proses pemilihan yang segera memasuki tahap kampanye. Ia menyebutkan hal itu juga berdasarkan permintaan penyelenggara pemilihan umum. "Mendagri sudah berbicara dengan KPK, dari penyelenggara juga sudah berbicara dengan KPK," ujarnya. "Jangan sampai ada langkah-langkah tertentu yang justru mengganggu jalannya pemilu."

Agenda rapat sebenarnya membahas perkembangan tahap pemilihan kepala daerah. Pembicaraan sedikit berbelok karena Wiranto menyinggung ucapan Agus. Kepada peserta pertemuan, Wiranto menyampaikan kerisauannya seandainya banyak calon kepala daerah dijerat KPK sebelum pencoblosan. Wiranto kemudian berkata bahwa KPK sebaiknya menunda penyidikan kasus mereka.

Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, yang hadir dalam pertemuan, mengatakan baik KPU maupun Badan Pengawas Pemilu tak pernah menyetujui usul Wiranto. Mereka justru kaget ketika Wiranto mengklaim permintaan itu datang dari penyelenggara pemilu. "Pada saat rapat, Pak Wiranto mengatakan proses hukum sebaiknya ditunda dulu," ujar Wahyu.

Salah satu alasan yang dikemukakan Wiranto, tak ada instrumen dalam undang-undang untuk mengganti calon di tengah jalan. Mereka yang terjerat tak bisa mundur atau diganti setelah ditetapkan sebagai calon.

Dalam rapat tersebut, KPU tak menanggapi usul Wiranto. Menurut Wahyu, KPU justru mendukung kasus calon kepala daerah jalan terus. Dengan begitu, pemilih mengetahui dengan terang latar belakang para kandidat.

Di KPK, permintaan Wiranto rupanya menjadi pembahasan pemimpin lembaga itu. Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, mereka sempat membicarakan hal tersebut di grup percakapan pesan instan. "Ada yang setuju pengumumannya ditunda, ada yang bilang jalan terus," katanya.

Seorang pejabat KPK yang setuju dengan usul Wiranto berargumen bahwa hukum merupakan alat untuk stabilitas keamanan. Maka, menurut dia, tak ada salahnya KPK menundanya sebentar agar tak terjadi keriuhan di publik.

Dalam urun rembuk tersebut, diskusi tetap adem. Usul pejabat itu juga hanya dibahas sepintas. Menurut Saut, pada akhirnya KPK memutuskan semua kasus harus jalan tanpa pandang bulu. "KPK itu lembaga independen," ujarnya.

Sikap pemerintah mengenai status hukum calon kepala daerah juga terbaca dari keputusan Polri dan Kejaksaan Agung. Kedua lembaga itu sepakat menunda pengusutan kasus para kandidat kepala daerah. "Karena ada kekhawatiran menjatuhkan elektabilitas, kami keluarkan surat edaran kepada seluruh jajaran untuk menunda proses hukum calon yang ditetapkan," kata Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian di DPR, dua pekan lalu.

Menurut Tito, polisi hanya akan menjalankan proses hukum bagi calon yang terkena operasi tangkap tangan dan pidana pemilihan umum. "Karena Undang-Undang Pemilu dijalankan saat pemilu dan memiliki hukum acara sendiri," ujarnya.

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo berpendapat penundaan proses hukum lebih banyak manfaatnya. Menurut dia, pengumuman tersangka atau pemanggilan paksa berpotensi mengganggu pemilihan kepala daerah. "Setelah pilkada, KPK masih bisa memproses hukum tersangka," katanya.

Permintaan Polri dan Kejaksaan Agung sebenarnya disampaikan juga saat bertemu dengan KPK dalam rapat untuk merumuskan perjanjian kerja sama penanganan kasus oleh ketiga lembaga pada Januari lalu. Menurut Saut, pembicaraan memang tak secara khusus mengarah pada permintaan terhadap KPK. "Hanya obrolan sambil lalu. Pak Tito bilang, kalau kasusnya terus berjalan, KPK bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu," ujarnya.

KPK bergeming. Permintaan pemerintah lewat Wiranto, Prasetyo, dan Tito tak diacuhkan. Sepekan setelah permintaan Wiranto, sebelum menjerat dua calon kepala daerah dari Malang, KPK mengumumkan calon Gubernur Maluku Utara, Ahmad Hidayat Mus, sebagai tersangka korupsi pembebasan lahan Bandar Udara Bobong di Sula, Maluku Utara.

Bupati Sula periode 2005-2015 itu dituduh membuat uang negara amblas sekitar Rp 3,4 miliar. Dari jumlah itu, Rp 850 juta ditengarai masuk ke kantong pribadi politikus Golkar ini.

Belakangan, Wiranto meralat ucapannya. Menurut dia, permintaannya hanya imbauan. "Imbauan itu sesuatu yang bisa dilakukan, tidak juga enggak apa-apa. Tapi kewajiban kita saling mengingatkan," tuturnya. Wiranto mengatakan pernyataannya bukan instruksi dari Istana Presiden, melainkan dari rapat koordinasi antarlembaga, termasuk KPU dan Badan Pengawas Pemilu. "Tak ada intervensi. Kami sadar KPK itu independen," ujarnya.

KPK menyebutkan penetapan tersangka dua calon Wali Kota Malang dan calon Gubernur Maluku Utara semata-mata berdasarkan bukti, bukan pilih-pilih kasus. "Buktinya sudah kuat," kata Saut. Ia tak memungkiri KPK bakal dituduh berpolitik. "Kerja di KPK, ya, risikonya begini."

Menurut Saut, ucapan Agus sebenarnya peringatan agar calon kepala daerah tak mencari dana kampanye dari korupsi. Sebelum menjerat calon Wali Kota Malang dan calon Gubernur Maluku Utara, KPK menangkap sedikitnya empat kepala daerah saat mereka menerima suap. Sogokan itu diduga untuk mendanai kampanye dalam pemilihan kepala daerah yang diikuti.

Mantan direktur di Badan Intelijen Negara itu tak menampik bakal ada lagi calon kepala daerah yang menjadi tersangka. "Tergantung alat buktinya," ujarnya. Ia menyebutkan, dalam setahun, KPK menerima sekurang-kurangnya 7.000 pengaduan masyarakat, yang lalu ditelaah satu demi satu. "Bisa saja yang lapor teman dekatnya."

Di Malang, anggota tim pemenangan menabah-nabahkan diri. Setelah Mochamad Anton menjadi tersangka, tim pemenangannya mengklaim tetap solid dan menjalankan rutinitas sebagaimana biasa. "Pimpinan partai telah berdialog dan berkomitmen untuk memenangkan Anton serta menggerakkan akar rumput dalam pemungutan suara mendatang," kata Nirianto Adnan, sekretaris tim pemenangan Anton-Syamsul. Tim pemenangan Ya’qud-Wanedi juga menyatakan kampanye tak terganggu.

Calon Gubernur Maluku Utara, Ahmad Hidayat Mus, enggan menanggapi predikat tersangka yang baru disandangnya. Ia mengatakan hanya ingin berfokus pada kampanyenya. "Saya pulang untuk kampanye, kampanye, dan kampanye," ujarnya sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka. "Pokoknya, saya berkampanye untuk menang."

Anton Septian, Aji Nugroho, Hendartyo Hanggi, Eko Widianto (Malang), Budhy Nurgianto (Ternate)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus