Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langit sudah gelap ketika Fajar Harry Sampurno datang ke Gedung Merah Putih, kantor Komisi Pemberantasan Korupsi di Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan. Malam itu, 30 April lalu, Harry datang memenuhi undangan Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan. Tidak banyak yang mengetahui kedatangan Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara tersebut.
Harry datang sendiri. Kepada Pahala, ia menjelaskan alasan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno menolak membubuhkan paraf pada naskah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Keenam atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. “Saya tidak memaparkan apa pun. Cuma menjelaskan surat Ibu Rini,” ucap Harry mengingat kejadian dua bulan silam itu saat dihubungi, Jumat, 28 Juni lalu.
Dalam pertemuan tersebut, Harry memberikan salinan surat Rini yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Surat itu menerangkan alasan Rini enggan meneken revisi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dari surat dan penjelasan Harry itulah, kata Pahala, tim KPK mendalami kisruh perpanjangan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) generasi pertama menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Tarik-ulur perpanjangan kontrak batu bara generasi pertama ini memanas sejak Maret lalu. “Setelah kami analisis masalahnya, akhirnya kami putuskan menulis surat kepada Presiden Joko Widodo,” tutur Pahala, Kamis, 27 Juni lalu.
Jonan/TEMPO/Tony Hartawan
Surat komisi antirasuah melayang ke Istana sebelum Lebaran, tepatnya pada 31 Mei lalu. Ketua KPK Agus Rahardjo menyarankan, dalam merevisi peraturan tentang perpanjangan izin kegiatan usaha pertambangan, pemerintah merujuk pada Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, terutama ihwal luas wilayah produksi maksimal yang tidak boleh melebihi 15 ribu hektare.
Itu sebabnya Agus menganjurkan pemerintah membatalkan perpanjangan izin operasi PT Tanito Harum. Sebelumnya, pada 11 Januari lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan memperpanjang izin operasi Tanito, perusahaan tambang batu bara milik taipan Kiki Barki Makmur. Menurut KPK, perpanjangan izin Tanito dari bentuk PKP2B menjadi IUPK tidak bisa dilakukan di tengah revisi peraturan pemerintah yang belum selesai tersebut. Atas saran itulah Jonan lantas membatalkan izin Tanito pada 12 Juni lalu.
Kabar tentang surat KPK dan pembatalan izin Tanito itu baru menggema dua pekan lalu. Dalam rapat kerja dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, yang antara lain membidangi energi, Kamis, 20 Juni lalu, Jonan menyatakan telah membatalkan perpanjangan izin Tanito. Izin operasi Tanito dalam bentuk PKP2B sebelumnya berakhir pada 15 Januari 2019. “Memang kami terbitkan, tapi kami batalkan atas permintaan KPK karena amendemen peraturannya belum ada,” ucapnya dalam rapat kerja tersebut. Pengakuan Jonan menjadi babak baru proses panjang perubahan keenam peraturan pemerintah tersebut.
Rencana perubahan peraturan pemerintah itu memanas sejak Rini Soemarno menolak memaraf naskah rancangan revisi. Dalam surat tertanggal 1 Maret 2019, Rini menandai pasal 112 ayat 1 huruf a naskah tersebut. Dalam pasal itu tertulis pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara dapat memiliki luas wilayah sesuai dengan rencana kegiatan yang telah disetujui Menteri Energi.
Menurut Rini, pasal tersebut membuat luas wilayah perusahaan pemilik PKP2B yang nantinya beralih menjadi IUPK operasi produksi bisa lebih dari 15 ribu hektare. Padahal angka itu melebihi batas yang diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Mineral dan Batu Bara.
Surat Rini bocor ke perusahaan pemegang PKP2B, di antaranya PT Tanito Harum (Harum Energy), PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal (Bumi Resources), PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung (Indika Energy), serta PT Berau Coal (Sinar Mas Group). Mereka adalah perusahaan yang paling awal menambang batu bara dan kini menguasai 70 persen produksi nasional. Luas wilayah tambang perusahaan itu berkisar 31 ribu-108 ribu hektare.
Para pengusaha batu bara lalu mengadu ke Jonan. Pertemuan berlangsung di rumah dinas Jonan, Jalan Denpasar Raya Blok C3 Nomor 16, Kuningan, Jakarta, Sabtu pagi, 16 Maret lalu. Mereka mempertanyakan surat Rini. “Sebagai kontraktor pemerintah, kami meminta masukan kepada yang berwenang, yaitu Kementerian ESDM,” kata Presiden Direktur Adaro Garibaldi “Boy” Thohir, yang hadir dalam pertemuan tersebut, beberapa waktu lalu.
Kantor PT Tanito Harum di lokasi tambang di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 27 Juni 2019. /Annual Report Harum Energy
SEBELUM Agus Rahardjo mengirim surat rekomendasi ke Istana, Komisi Pemberantasan Korupsi tengah mengkaji tata industri tambang batu bara secara umum. Program yang berjalan sejak 2011 ini berada di bawah Tim Sumber Daya Alam dan Pangan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Pencegahan KPK. Pada awal April lalu, tim ini meminta data perizinan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara generasi pertama.
Tapi Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot Ariyono mengatakan tidak bisa memberikannya. Ia berjanji datang langsung ke KPK. “Saya bingung. Cuma minta data kok pakai paparan segala,” ujar Pahala Nainggolan.
Gatot datang ke KPK pada 23 April, lengkap dengan paparan data yang sudah ia siapkan. Di antaranya data tentang daftar perusahaan PKP2B generasi pertama yang akan habis izin operasinya mulai 2019, naskah revisi rancangan peraturan pemerintah tentang batu bara lengkap dengan penjelasan versi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta perkembangan revisi rancangan peraturan pemerintah yang ditolak Menteri Rini Soemarno sehingga prosesnya mandek. “Ternyata pembahasan rancangan peraturan pemerintah itu sudah jauh,” kata Pahala.
Gatot mengakui kedatangannya ke KPK pada akhir April lalu. Menurut dia, kunjungan itu bertujuan melaporkan perkembangan rancangan peraturan pemerintah yang baru, termasuk menjelaskan alasan di balik pasal-pasal naskah revisi. “Minta supervisi dalam rangka kehati-hatian,” tutur Gatot di kantornya di Jakarta, Kamis, 27 Juni lalu. Sepekan setelah kedatangan Gatot, giliran KPK memanggil Fajar Harry Sampurno.
Steven Scott Barki/Tempo/SG Wibisono
Pekan-pekan selanjutnya, KPK mulai mendalami semua informasi tersebut. Dari penelisikan itulah KPK menemukan aneka keganjilan dalam naskah revisi rancangan peraturan pemerintah tentang batu bara tersebut. Salah satu yang mencolok soal luas wilayah, persis seperti catatan Rini. Pasal 62 dan 83 huruf d Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara menyatakan luas izin usaha pertambangan operasi produksi batu bara maksimal 15 ribu hektare. Pasal itu dipertegas dalam penjelasan Pasal 112 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dalam naskah revisi yang baru, Kementerian Energi menambahkan beberapa ketentuan. Di antaranya kontrak karya dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan pertama atau kedua dapat diperpanjang menjadi izin usaha pertambangan tanpa lelang dengan mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara.
Peningkatan penerimaan negara untuk izin usaha pertambangan khusus itu dilakukan dengan memberikan luas area yang sesuai dengan rencana kegiatan pada seluruh wilayah yang telah disetujui menteri sebelum peraturan pemerintah yang baru berlaku. “Padahal penjelasan pasal 112 pada peraturan pemerintah sebelumnya menyebutkan luas wilayah harus merujuk pada undang-undang,” ucap Pahala.
Ternyata, Pahala melanjutkan, penjelasan pasal 112 dalam rancangan peraturan yang baru dihapus, lalu ditambahkan frasa “cukup jelas”.
SETELAH izin kegiatan tambang Tanito Harum dicabut, Bambang Gatot Ariyono mengumpulkan delapan perwakilan perusahaan batu bara pemegang kontrak generasi pertama di kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Jalan Soepomo, Jakarta Selatan. Pertemuan pada 20 Juni lalu itu berlangsung beberapa jam sebelum Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan membeberkan status izin Tanito pada Kamis sore dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR.
Seseorang yang mengetahui isi rapat di Tebet itu mengungkapkan, Gatot menganjurkan Tanito mengajukan gugatan bila ingin memperjelas nasib operasinya. Perusahaan batu bara pemilik kontrak generasi pertama lain mendukung gagasan tersebut. Namun Gatot membantah kabar bahwa dia yang menyarankan gugatan itu. “Itu terserah Tanito. Kami terbuka bila mereka mau ke PTUN,” kata Gatot.
Rapat itu juga membicarakan kelanjutan rancangan peraturan pemerintah. Gatot menerangkan, pembahasan rancangan tersebut menunggu perkembangan situasi lebih lanjut setelah Komisi Pemberantasan Korupsi mengirim rekomendasi ke Presiden. Salah satu peserta rapat, Chief Executive Officer PT Arutmin Indonesia Ido Hotna Hutabarat, menyesalkan tertundanya penerbitan peraturan pemerintah yang baru. “Ini media yang buat rusuh. Urusan miliaran dolar jadi begini. Ini urusan perut orang,” tutur Ido saat dihubungi, Jumat, 28 Juni lalu.
Adapun Steven Scott Barki, Komisioner PT Harum Energy—induk Tanito Harum—yang juga anak Kiki Barki, enggan memberikan banyak penjelasan saat ditanyai tentang sikap perusahaannya. “Saya lagi di Amerika. Tidak ada urusan sama saya,” ujarnya, Kamis, 27 Juni lalu, sambil buru-buru menutup sambungan telepon.
Sehari setelah rapat di Tebet yang melibatkan para pengusaha batu bara, Deputi Bidang Kemaritiman Sekretariat Kabinet Agustina Murbaningsih mengumpulkan pejabat eselon I kementerian di kantor Sekretariat Kabinet, Jumat, 21 Juni lalu. Rapat membahas tindak lanjut pemerintah terhadap rekomendasi KPK atas masalah pertambangan batu bara.
Bambang Gatot menghadiri rapat itu. Dalam salinan paparan yang diterima Tempo, Gatot menyandingkan poin rekomendasi KPK dengan tindak lanjut Kementerian Energi. “Persetujuan rencana kegiatan sesuai dengan luas wilayah perjanjian kontrak batu bara yang existing sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara dan menjaga keberlanjutan usaha pertambangan,” kata Gatot dalam paparannya.
Fajar Harry Sampurno sebetulnya juga diundang ke pertemuan tersebut. Namun dia sedang bertugas ke Laos dan Kamboja, menemani Rini Soemarno. Harry mengutus asisten deputinya untuk datang. “Tapi kami pasif saja, tidak memberikan paparan,” ucapnya. Gatot tidak menjawab pertanyaan tentang hasil pertemuan di Sekretariat Kabinet.
KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo