Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LOL!
Saya bingung.
Dengan telepon genggam, sebuah teks berisi lelucon dikirim. Sebagai jawaban, tiga huruf itu yang muncul.
LOL? Baru kemudian seorang teman menjelaskan bahwa huruf-huruf itu berarti ”laugh out loud”. Artinya: si pengirim pesan ketawa terpingkal-pingkal.
Pelan-pelan saya belajar. Begitu banyak singkatan. Begitu banyak penanda yang direduksi dan lambang yang ganjil. Dengan setengah gagap saya memasuki samudra ”short messages services”, SMS, atau, dalam bahasa Indonesia, ”san-dek” (ringkasan dari kata ”pesan pendek”). Artinya saya jadi salah seorang dari tiga miliar manusia yang mengirim lebih dari satu triliun san-dek tiap tahun, dengan bahasa tersendiri.
Sekitar dua tahun lalu ada sebuah buku yang ditulis David Crystal, Texting: The Gr8 Db8. Ia mencoba menjawab kenapa orang gemar mengirim san-dek, yang sebenarnya tak lebih ringkas ketimbang tanda morse (yang mengganti huruf ”s” dengan tiga pijitan tombol saja). Menurut Crystal, orang mengirim san-dek sebagai sukan, game. Orang mengirim SMS sebagaimana orang membuat gurindam: dalam sebuah bentuk yang ringkas—tak boleh lebih dari 140 bytes atau 160 huruf—harus disampaikan sebuah isi yang kena. Ini tantangan keterampilan yang memikat.
Mungkin itu sebabnya san-dek jadi kaya dengan singkatan atau inisial. ”LOL” hanya salah satunya. Ada ”GBU” (God bless you) atau ”OMG” (Oh, my God). Ada juga ”IMHO”: in my humble opinion. Lebih pintar lagi piktogram, dan tak boleh dilupakan: ”emotikon”, gambar-gambar yang menandai perasaan tertentu.
Tentu, seperti kata Crystal pula, menggunakan singkatan bukan hanya gejala zaman telepon genggam. Dalam surat resmi pun dari dulu sudah ada inisial ”A.S.A.P.” (sesegera mungkin), ”R.S.V.P.” (mohon jawaban), atau ”cc” (tembusan). Dan dalam kata-kata bersuku banyak, peringkasan sering terjadi—sebuah gejala yang sulit dielakkan dalam bahasa Indonesia yang silabelnya berenteng itu: ”se-a-kan-a-kan”, ”ter-go-poh-go-poh”….
Tapi berbeda dari zaman lampau, inilah zaman bermain-main kata dengan cara agak saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hanya dalam beberapa detik orang bisa saling menulis dan sampai serentak ke lima benua.
Dalam hal kecepatan ini bahasa Inggris memang punya kelebihan: rata-rata kata Inggris cuma terdiri atas empat huruf. Bahasa Indonesia lebih dari itu. Tapi seperti bahasa Inggris, bahasa kita punya keuntungan: hampir tak memakai tanda diakritik seperti misalnya bahasa Prancis, Portugis, atau, paling repot, bahasa Cek. Bahasa Cek hampir mustahil ditulis di SMS dengan telepon genggam yang kita kenal.
Tapi tiap bahasa punya ringkasannya, demi kecepatan. Dalam bahasa Cek, ”hosipa” berarti ”Hovno si pamatuju” atau ”aku tak ingat apa pun”. Dalam bahasa Prancis, ”ght2v1” berarti ”J’ai acheté du vin”, ”aku sudah beli anggurnya”.
Yang menarik kita dengar dari Crystal—ia seorang linguis profesional yang telah menulis sekitar 100 judul buku—ialah bahwa ia tak cemas. Ia tak waswas bahwa akan terjadi perubahan bahasa yang merasa harus makin pendek dan tergesa-gesa. Sebab, kata Crystal, satu triliun pesan pendek ”tak lebih dari beberapa percik buih dalam samudra bahasa”. Lagi pula, manusia bermain-main dengan bahasa sejak dulu, di era pra-HP, dan sampai sekarang kita masih saling bicara dengan enak.
Yang bagi saya tak kalah penting adalah kembalinya kesadaran dan keterampilan akan bahasa tulis dalam masa surat elektronik dan san-dek ini. Generasi kini hidup dikepung oleh gambar dan suara (dan di Indonesia, sembilan dari 10 rumah mempunyai pesawat TV) dan diberondong khotbah di rumah, di tempat ibadah, atau di televisi. Bahasa lisan menguasai ruang. Tapi untunglah tak selama-lamanya. Kini, seraya memegang erat telepon genggam yang dimiliki berjuta-juta orang Indonesia dari pelbagai kelas sosial, rakyat di seluruh penjuru tanah air melatih keterampilan menulis tiap jam, mungkin tiap menit. Lebih dahsyat ketimbang kursus pemberantasan buta huruf. Insya Allah, kemampuan baca tulis, biarpun sangat sederhana, akan meningkat di negeri ini.
Meskipun dalam san-dek, bahasa lisan praktis berbaur dengan bahasa tulis, masih ada ruang tempat kita mampu bersikap lebih analitis biarpun sejenak. Dengan tradisi bahasa tulis yang kuat, orang seakan-akan bisa meletakkan bahasa di atas meja, mencermatinya, dan mengurainya.
Bahkan sejak seseorang membubuhkan kata-katanya dalam huruf dan angka, ia harus cukup teliti. Satu hal yang agaknya dilupakan ialah bahwa di tengah kekacauan ejaan dalam bahasa kita, anak-anak muda memperkenalkan bahasa tulis yang justru mengharuskan mereka memperhatikan baik-baik tiap huruf; mereka menyebutnya ”bahasa Alay”. Bahasa ini juga ibarat sebuah sukan. Dari main-main ini kreativitas berkembang ke mana-mana. Bahkan di Internet saya temukan ada yang mampu menyusun program penyalin teks ke dalam ”bahasa” yang mirip huruf paku itu: gabungan antara huruf dan angka yang harus pas. Agaknya ada konsensus: di kalangan Alay, salah eja bikin bengong. 54l4h 3j4, b1kin b3n60n6.
Setidaknya, bahasa tulis yang hidup dari pertukaran kata dengan tangkas dan cepat itu punya semacam dorongan demokratisasi dalam berkomunikasi. Saling berhubungan tanpa saling hadir, tiap ”aku” hanya muncul di layar karena satu atau beberapa ”kamu” juga muncul di layar yang sama. Tiap ”aku” tak bisa mendorongkan dirinya sebagai pemberi makna yang tunggal. Tak ada pusat yang akan berdiri lebih dari beberapa jam.
Yang ada hanya teks yang berseliweran, mengalir, bercampur, tak permanen. D4l4m k34n3ka-r464m4n.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo